Mohon tunggu...
Sharima Umaya
Sharima Umaya Mohon Tunggu... -

Hanya seorang pelajar biasa yang memiliki impian untuk menjadi entrepreneur serta aktivis di bidang pangan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mempertanyakan Ketidakadilan di Dunia Pendidikan Indonesia

7 Januari 2012   09:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:12 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan berikut disadur dari WordPress saya yang beralamatkan di: http://sharimaumaya.wordpress.com dan sudah mengalami beberapa perubahan sana-sininya.

Apakah wajar sekolah yang menduduki peringkat ke-2 UN se-DKI Jakarta untuk program studi IPA serta program studi IPS pun juga memiliki prestasi yang baik, bahkan kabarnya nilai SNMPTN Tulis angkatan 2011 meraih peringkat 3 se-Indonesia hanya mendapatkan 4 undangan dari PTN?

Apakah wajar, nilai rapor kami yang berdasarkan soal yang memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi dibandingkan dengan nilai rapor mereka yang diberikan soal dengan tingkat kesulitan mudah?

Apalah arti akreditasi sama-sama A jika kenyataannya bobot soal yang diberikan untuk menguji siswa jauh berbeda?

Masih belum puas?

Lalu, apakah wajar soal ulangan SMA negeri favorit di Jakarta dijadikan soal Remedial di sekolah kami?

Apakah hasil kerja keras dari kami tidak dilihat melainkan disamakan dengan (maaf) mereka yang meraih nilai di rapor dengan mudah?

Apalah arti goresan pena kami, hentakan sepatu kami tiap menginjakkan kaki di sekolah, peluh keringat usaha keras yang kami lakukan untuk memahami materi yang tingkat kesulitannya tinggi jika usaha kami, dari pagi hingga malam untuk menimba ilmu?

Apalah arti sebuah angka, nilai yang kami dapatkan dengan penuh kerja keras apabila disamakan dengan mereka yang soal ulangannya hanya menanyakan hal mendasar dibandingkan kami yang harus memeras otak untuk menjawab soal-soal yang diberikan?

Tidak hanya itu saja.

Apakah kami yang selain dirugikan dengan adanya sistem SNMPTN Undangan dimana di mata saya dan teman-teman saya SANGAT tidak komprehensif dalam menjaring mahasiswa baru sekarang menjadi korban keegoisan orang dewasa yang berlabelkan Diknas dan BNSP yang seenaknya membuat wacana tanpa memikirkan kami?

Apakah wacana untuk menjadikan nilai UN sebagai syarat masuk PTN dan menghapus pelajaran dasar & kemampuan IPA/IPS harus kembali “dipaksakan” untuk diterapkan tanpa observasi terlebih dahulu?

Apakah raungan media yang menjabarkan kecurangan dalam UN kurang keras untuk menyadarkan pihak Diknas dan BNSP?

Apakah mutu dari soal UN yang sebatas untuk menentukan lulus atau tidak lulus SMA pantas dipakai untuk memasuki rimba PTN?

Apakah PANTAS dalam menjaring mahasiswa baru hanya mengandalkan 75 nomor yang berisikan sinonim, antonim, urutan duduk, deret angka, kemampuan numerik dasar, memilih gambar dengan dalih PRAKTIS dan MURAH dengan hanya membayar 25.000 saja?

Bagaimana dengan kami yang sudah belajar mati-matian, ikut bimbel, pulang malam bahkan mungkin lebih malam dari Bapak-Ibu sekalian yang dengan enaknya membuat kebijakan tanpa pikir panjang?

Ya, saya menulis ini memang dengan emosi. Namun, saya masih memiliki akal sehat dimana saya dan teman-teman saya yang berusaha keras kesannya tidak dianggap (terutama mengoreksi sistem Undangan tahun ini, yang sudah diinfokan melalui guru BK saya. Kurang lebih sama hanya kuota dikurangkan. Yang masalah akreditasi tetap sama) serta kesal karena kesannya pemerintah menganggap remeh kami yang mungkin di mata kalian hanya remaja-remaja ingusan?

Kalau ada yang berpikiran berarti kami belajar hanya untuk mengejar nilai, tidak belajar maaf. Karena keadaan menuntut kami untuk demikian. Saya rasa sangat munafik kalau saya bilang belajar untuk sekedar agar paham. Ya, saya ingin agar memahami pelajaran tersebut… Dengan maksud agar bisa lulus UN dan masuk PTN dan meraih cita-cita. Saya rasa itu yang ada di pikiran anak-anak kelas 12 sekarang.

Tolong, janganlah permainkan kami, wahai orang dewasa. Kami bukanlah kelinci percobaan. Kebijakan yang kalian susun merupakan langkah bagi kami. Pikirkanlah secara matang-matang apabila hendak membuat suatu sistem, karena sesungguhnya apapun yang Bapak dan Ibu sekalian canangkan, kamilah yang merasakan dampaknya. Saat ini, kami hanya bisa belajar dan berdoa agar sistem pendidikan di Indonesia menjadi jauh lebih baik dari sekarang.

Saya cukup mengerti, mungkin tulisan ini cukup radikal dan bakalan berakhir jadi unek-unek saya. Ujung-ujungnya saya tetap belajar kan apapun keputusannya? Tetapi setidaknya, apapun yang saya tulis disini saya harap dapat membuka mata orang yang membaca post ini: Masih banyak siswa yang merasakan ketidakadilan.

Namun, Insya Allah, setembok apapun halangan yang kalian buat, dengan Bismillah kami, dengan peluh keringat kami, kami akan menembusnya. Apapun kebijakannya, kami akan belajar giat, menembus halangan tersebut dan diterima di Universitas serta jurusan yang kami idam-idamkan. Amin.

Tertanda,
Pelajar yang akan terus berusaha meraih cita-citanya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun