Pertama, peradilan adat telah menciptakan teka-teki di mana ia berusaha untuk menawarkan sanksi alternatif yang lebih fleksibel dan manusiawi terhadap hukum Islam, atau justru membuka jalan bagi hukuman adat yang diduga tidak benar dan keras yang dijatuhkan kepada para pelanggarnya.Â
Meskipun para pemimpin desa telah diberi wewenang untuk menerapkan aturan-aturan ini di wilayah mereka, agak samar apakah mereka melakukannya secara mandiri dan independen dari pengadilan negara atau mekanisme tingkat desa semacam itu merupakan bagian instrumental dari administrasi hukum Islam Aceh pada umumnya.
Sementara norma dan lembaga adat secara hukum disahkan untuk memainkan peran yang lebih besar dalam masyarakat, pengakuan dan yurisdiksi mereka cukup terbatas karena fakta bahwa adat umumnya hanya berlaku untuk wilayah tertentu dan seringkali kurang memiliki kepastian hukum.Â
Sebaliknya, hukum Islam (lembaga dan peraturan) memiliki status yang lebih kuat dan jangkauan yang lebih luas di semua kabupaten di provinsi Aceh. Membuat adat adaptif terhadap perubahan dengan cara dibirokratisasi ternyata justru mengakibatkan terpinggirkannya adat itu sendiri.Â
Meskipun status resminya dalam peraturan Aceh saat ini, adat dianggap memiliki posisi yang lebih rendah dari hukum Islam. Subordinasi adat terhadap hukum Islam di Aceh pasca-Orde Baru menjadiÂ
lebih terlihat daripada klaim yang terus berlanjut tentang hubungan yang selaras antara adat dan hukum Islam di Aceh. Rupanya, sebuah adat otonom yang lepas dari penerapan syariat Islam bukanlah sesuatu yang diproyeksikan oleh banyak pemimpin Muslim di Aceh kontemporer.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI