Menurut adat Aceh, tanah semacam ini dikenal sebagai tanah mukim atau tanah kullah dan pemindahan hak atasnya tunduk pada kontrol masyarakat yang ketat.
Para pemimpin desa lokal Lhoknga memperdebatkan sebuah perusahaan semen internasional, Lafarge, (didirikan pada awal 1980-an) atas berbagai masalah termasuk pencemaran lingkungan dan hak-hak sosial ekonomi penduduk desa.
 Mereka juga menuntut lebih banyak kompensasi termasuk membuat aturan yang memprioritaskan penduduk desa setempat dalam perencanaan perekrutan personel perusahaan dan membagi satu persen keuntungan tahunan perusahaan dengan penduduk desa.
Meskipun liputan berita tampaknya entah bagaimana mendorong kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan, banyak yang curiga bahwa surat kabar lokal dan pemerintah provinsi berada di posisi yang sama dengan perusahaan.
Perselisihan itu akhirnya diselesaikan pada tahun 2009 ketika para pihak berhasil merundingkan kesepakatan tertulis bahwa sejumlah kompensasi harus dibayarkan setiap tahun kepada penduduk desa melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Keberhasilan penyelesaian sengketa ini tak lepas dari bantuan seorang mediator informal, Anwar Ahmad, yang menjabat sebagai Wakil Bupati Aceh Besar dan juga pernah menjadi staf kerja perusahaan tersebut.
Proses penyelesaian sengketa mungkin akan menemui jalan buntu jika Anwar Ahmad dalam berbagai peran resmi dan sosialnya tidak terlibat dalam membantu dan memfasilitasi semua pihak yang terlibat untuk mencapai kesepakatan bersama. Apakah penyelesaian sengketa ini akan tetap berkelanjutan sangat tergantung pada manfaat yang diterima oleh penduduk desa dari pembayaran kompensasi tahunan perusahaan.
Namun demikian, cara penyelesaian kasus ini sebagian besar melalui bantuan pemerintah kabupaten menegaskan fakta bahwa mekanisme adat tetap berada di bawah struktur formal negara, sehingga memperkuat klaim tentang status entitas adat yang relatif lemah dalam ruang publik kontemporer di Aceh.
Keadilan Adat
Sejauh menyangkut legitimasi peradilan adat atau penyelesaian hukum berbasis masyarakat, landasan sosial dan hukum yang kuat menopang keberadaannya di Aceh kontemporer. 10/2008 merupakan dasar yang paling mendasar dari pengakuan peradilan adat sebagai bagian dari sistem hukum formal di Aceh.46Â
Sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (1) Qanun Aceh no.9/2008, peradilan adat ditegakkan oleh tiga lembaga lokal yaitu (1) gampong atau desa; 2) mukim atau satuan jumlah gampong; dan (3) panglima laot atau 'panglima laut' yang mengatur masalah maritim adat.
Dengan kata lain, meskipun para pihak yang bersengketa memiliki kesempatan untuk memilih proses hukum sesuai keinginan mereka sendiri, sistem hukum Aceh lebih memilih penyelesaian sengketa secara adat. Selain itu, meskipun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991 telah menjadi acuan resmi untuk menyelesaikan perselisihan keluarga Islam di pengadilan negara Islam di seluruh Indonesia49,Â