Konteks Sejarah
Sebagai wilayah yang berakar kuat dalam tradisi Islam sejak beberapa abad yang lalu, Aceh memiliki silsilah yang panjang dan sejarah yang lebih jelas tentang penerapan hukum Islam dibandingkan dengan Muslim berpenduduk dominan lainnya di Nusantara. Dalam kasus hukum Islam dan adat di Aceh, banyak pemimpinÂ
Aceh percaya bahwa keduanya saling melengkapi; bagian tak terpisahkan dari identitas budaya tunggal. Sebuah pepatah Aceh (hadih maja) yang sangat populer sering dikenang dalam berbagai acara formal (akademik) dan acara keagamaan informal:Â
"agama ngon adat han jeut cre, lagee zat ngon sifeut" (agama dan adat tidak dapat dipisahkan, keduanya seperti substansi). sesuatu dan atributnya). Sejumlah penulis Aceh berusaha mendamaikan kedua entitasÂ
tersebut dan menyajikan contoh sintesis antara hukum adat dan hukum Islam dalam sistem sosial Aceh. Bahkan, sebagaimana dikemukakan oleh Kurdi, adat telah diislamkan dari waktu ke waktu melalui banyak cara sepanjang sejarah Aceh.
Sejak lama, pepatah populer tentang hubungan kompleks antara berbagai elemen dalam masyarakat Aceh masa lalu telah ditekankan oleh para pemimpin Aceh. Mengenai elit Aceh dalam sejarah pra-modern Aceh, setidaknya ada tiga kepemimpinan utama:
- Sultan di istananya di Kutaraja;
- Para uleebalang (bangsawan), yang merupakan penguasa yang memerintah sendiri dan menguasai sebagian besar perdagangan dan memungut pajak di otoritas masing-masing;
- Para ulama (pemuka agama/ulama), yang sebagian besar berbasis di dayah Islam (lembaga pembelajaran).
Sementara para ulama memimpin perjuangan melawan Belanda, para uleebalang ikut serta di pihak Belanda dalam pertempuran melawan para ulama.
(Re)integrasi Adat dan AgamaÂ
Upaya kuat untuk membawa (re)integrasi adat dan agama terjadi pada masa Orde Baru (1966-1998).Sebuah organisasi bernama Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) atau Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh didirikan pada tahun 1986. Di bawah kepemimpinan baru Badruzzaman Ismail pasca Orde Baru (1998-2002),Â
LAKA bertekad menjadi sarana penyatuan adat dan agama. Segera setelah runtuhnya rezim Orde Baru, berdasarkan UU 44/1999, Aceh diberikan otonomi khusus di tiga bidang: pendidikan, adat dan agama termasuk penguatan peran ulama dalam merumuskan kebijakan daerah.