Nah, permasalahan tersebut diceritakan secara gamblang melalui hubungan Sastro dan kekasihnya yang bernama Jendro Wardhani. Mereka dipertemukan Tuhan secara tak sengaja, saat Sastro sedang mancing ikan di Rawa Pening.
Dari tempat pemancingan, akhirnya benih-benih cinta tumbuh di antara mereka berdua. Bahkan, diceritakan hubungan mereka disenangi oleh bulek dan budenya Sastro. Namun, rasa senangnya  mereka kepada Jendro hanya sebatas pacar, tidak lebih alias jangan harap untuk menjadi pendamping hidup.
Maka, dari situ, terjadilah perang batin di dada Sastro, dia sedih. Mengapa Negara demokrasi namun manusianya tidak demokratif? Mengapa perihal pendamping hidup masih dihubung-hubungkan dengan status orangtuanya? Ah cinta memang complicated.
".....Bagaimanapun kamu masih beruntung. Keluarga besarmu ndak setuju ma calonmu. Orang-orang lain itu...coba lihat. Mereka nasibnya lebih sial. Keluarga besar semua setuju. Yang tak setuju malah calonnya." (Hal.117)
Begitulah Sujiwo Tejo mengambarkan fenomena dan kondisi sosial masyarakat saat ini melalui "Talijiwo".
Bagi saya, kumpulan cerita dalam "Talijiwo", mampu menggelitik dan menyindir pembaca agar lebih peka dalam menjalani hidup bermasyarakat.
Terakhir, yang membuat kumpulan cerpen ini menjadi manis dan membawa pada perenungan ialah quote yang sederhana namun mampu memikat hati para pembaca.
"Berbahagialah para penempuh jalan baru yang belum pernah mereka lakoni sebelumnya, Kekasih. Karena setiap jengkal di jalan itu, mereka tak terikat pada kenangan...."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H