Mohon tunggu...
Sharfina
Sharfina Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Writer

Suka jalan-jalan ke tempat baru sambil motret tidak asal jepret 📸

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Talijiwo, Kritik Sosial, dan Renungan yang Tidak Hanya untuk Sesaat

19 Agustus 2019   17:33 Diperbarui: 20 Agustus 2019   03:00 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada akhirnya, dari cerita "Sampah", di dunia ini terdapat dua tipe ibu-ibu di kehidupan bermasyakat. Pertama,ngedumel dan yang kedua, mengelus dada (karena tak bisa ikutan ngedumel) saat tetangganya bilang "Duh bahagianya punya anak. Punya teman. Ada yang membantu-bantu untuk berberes."

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari cerita-cerita dalam novel "Talijiwo", entah itu mengenai kehidupan dengan keluarga, dengan kekasih bahkan hingga masalah politik. Seperti dalam kisah "karaoke" yang menceritakakan kisah bu Jendro dan anak-anaknya yang baru saja mengajak Pak Jujur ke tempat karaoke.

Saat menjelang tidur, Pak Sastro mengulang-ngulang rasa terima kasihnya atas karaokeannya tadi. Bu Jendro senang bukan main dipuji oleh suaminya.

Obrolan di karaoke menjadi obrolan pengantar tidur mereka. Namun, saat mereka sudah kehabisan cerita, mereka pun tak dapat tidur.  

Pak Sastro pun akhirnya memulai topik baru terkait Pilkada. Dalam pembahasan malam itu, Pak Sastro mengutuk siapa saja yang menerima serangan fajar.

Bu Jendro pun tak jadi tidur, resah, terngiang-ngiang kata kata suaminya. Sebab, duit yang dipakai untuk membayar karaoke tadi siang adalah duit dari hasil serangan fajar.

Sebagai penutup yang manis tapi tidak seratus persen manis. Saya juga suka dengan cerita berjudul "Calon", mungkin pernah dirasakan juga oleh sebagian pembaca. 

Kini kita ketahui bahwa urusan pasangan itu cocok atau tidak buat kita, bukan hanya datang dari restu orangtua, namun sekarang melibatkan restu "bulek atau bule", bukan begitu?

"Bapak dan Ibumu ndak setuju ama calonmu? Tenang! Selama bulek atau budekmu setuju, jalan terus. Percayalah pada the power of Bulek atau bude." (Hal.114)

Bagi pasangan yang sudah menjalani hubungan atau baru menemukan tambatan hati dan ingin menikahi mereka, tentu meminta izin hanya kepada orangtua tidaklah cukup. 

Terkadang, perlu juga meminta restu dari orang luar (keluarga layaknya tante atau om). Namun, apa jadinya, jika keputusan dari bulek dan bude sudah melebihi batasnya restu orangtuamu? Alih-alih, mengharapkan dukungan eh malah berakhir konflik batin? Hadeuh....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun