Semilir angin di sore hari membuat pohon besar itu menggugurkan daunnya. Sejak jam 4 sore aku belum beranjak dari  bangku yang ada di stasiun ini.
Seperti biasa, seperti hari minggu biasanya, aku lebih memilih me time dengan duduk di stasiun ketimbang menghabiskan waktu di mal seperti kebanyaknya wanita pada umumnya. Kegiatan ini mulai aku lakukan sejak dua bulan yang lalu, saat aku mengenal dirinya.
***
Waktu itu hari minggu minggu di bulan November, ku habiskan penghujung hari libur ini untuk bersantai. Namun diriku malas untuk pergi ke luar kota, maka aku putuskan untuk mengasingkan diri sejenak ke suatu tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya.
Berbekal niat, chargeran handphone, air putih serta sedikit makanan ringan, aku memulai perjalanan dengan seorang diri. Aku terpaksa tidak bilang ibuku mau ke mana, sebab jikalau diriku bilang aku akan ke tempat itu, pasti ia tak mengizinkanku. Maklum, aku anak gadis satu-satunya di keluargaku, kedua abangku kuliah di luar negeri.
Matahari hari minggu saat itu terik sekali, napasku terpenggal penggal setiap naik tangga menuju ke peron I yang mana kereta itu akan membawaku ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya.
20 Menit aku menunggu dengan sabar sambil memotret suasana stasiun dengan kamera handphoneku, akhirnya kereta itu datang. Aku langsung naik saat kereta itu berhenti di hadapanku, tidak peduli aku akan duduk di gerbong mana. Sebab hari itu rasa senang sudah terlanjur menggerogoti hatiku.
Pemnadangan hamparan sawah sepanjang perjalanan, membuat tanganku gemas untuk merekamnya di Instastory Instagram. Satu jam perjalanan, akhirnya aku tiba di stasiun tersebut. Aku merasa asing dan aku tak menyangka jikalau stasiun ini akan ramai.
Ku lihat jam di pergelangan tanganku, masih jam 2. Setidaknya aku bisa mengecek di google tempat apa yang bisa aku kunjungi dari stasiun ini. Jari-jariku mulai menggeser layar dari atas ke bawah hingga kemudian aku memilih museum sebagai destinasiku saat ini.
Berhubung jarak antara dari museum ke stasiun tidak telalu jauh, maka ku putuskan jalan kaki. Cuaca panas hari itu membuat keringat bercucuran, mungkin saat itu make up ku terlihat sudah luntur. Mungkin pikirku.
Di sepanjang jalan, banyak pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya, kaki menuju ke pedagang es kelapa. Aku haus dan aku butuh istirahat sebnetar untuk minum.
Setelah istirahat dan minum sebentar, aku pun melanjutkan perjalanannku, hingga 5 menit kemudian, diriku tiba di museum. Beruntung museum tersebut belum tutup, namun sayangnya brosur mengenai museum itu habis, sebab tadi pagi ada rombongan pelajar yang mampir ke museum tersebut.
Aku masuk dan melihat setiap diorama yang terpajang di museum tersebut, aku baca pelan-pelan sembari mengeluarkan buku kecil dan juga ponselku untuk ku dokumentasikan.
Kakiku berhenti di salah satu ruangan, tiba-tiba seorang lelaki yang sepertinya seumuran denganku berdiri persis di sampingku. Wajahnya begitu teduh, takut ketahuan aku memperhatikannya diam-diam, sesegera aku beralih pergi ke ruangan yang lain.
"Sudah sering ke sini?"
Aku kaget, lelaki itu sudah berdiri di sampingku
"Belum...", jawabku dengan tenang sambil mengontrol rasa gugupku. "Ini pertama kalinya aku ke sini," tambahku.
"Oh... saya kira kamu sudah sering ke sini." Ujarnya.
Siang itu di dalam museum,akhirnya kita berdua ngobrol. Tak disangka sekarang aku sudah duduk di sampingnya dan kami berdua berbicara sambil menatap diorama yang berada di hadapan kita. Sesekali diriku memberanikan diri menatap matanya, tiba-tiba rasa gugup kembali menghampiri.
Tak terasa obrolan kita terus berlanjut  hingga tiba di stasiun. Sore itu begitu teduh dan angin sore berhembus menggurkan daun-daun yang berada di pohon.
"Semoga kita bisa bertemu lagi," katanya
Aku hanya mengangguk dan tiba di dalam kereta aku terus memandang nomor lelaki yang aku kenal kenal di museum itu dan kini  nomor  sudah ada di kontak handphoneku.Â
Malam hari ketika aku tiba di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Tanganku meraih handphone dan seketika jantungku berdengup kencang , sebuah pesan whatsapp dengan nama "Adi" menyapaku. Aku senang bukan main, obrolan kita semakin berlajut hingga akhirnya kita sering memutuskan untuk bertemu dan pada akhirnya kita memiliki status hubungan menjadi "pacaran".
Dua tahun, aku dan Adi berpacaran, dia lelaki yang sangat humoris, aku selalu tertawa karena tingkahnya. Selama pacaran kami sangat jarang menghabiskan waktu di mal maupun bisoskop, Adi selalu mengajakku ke sebuah pameran lukisan atau teater.
Namun sayang hubungan kami harus berakhir pada akhirnya. Kesibukan yang membuat kita jarang berkomunikasi membuat kita putus. Dulu aku berpikir kuliah di jurusan komunikasi tidak terlalu penting, namun kini diriku sadar, komunikasi juga perlu dalam sebuah hubungan.
Pada hari minggu, di bulan November, aku memutuskan untuk pergi ke museum tersebut. Seperti biasa aku pergi dengan kereta.
Tiba di stasiun, aku pun duduk di bangku itu, enggan ke mana-mana dulu, hanya ingin duduk. Â Pohon itu menggurkan daun-daunnya. Di peron I, kereta pun datang dan saat pintu kereta tebruka, aku melihat dua sejoli keluar sambil berpegangan tangan.
Seketika aku cemburu mengingat moment itu.Â
Tulisan ini ditulis untuk mengikuti Event Fiksi Cemburu di Bulan November...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H