Harapan kami :Â
Tolonglah, bantulah kami agar usaha kami berguna bagi bangsa kami,
dan terutama bagi kaum perempuan bangsa itu.Tolonglah kami untuk membebaskannya dari beban berat yang diletakkan di atas bahunya oleh adat lama turun temurun.
Tolonglah kami untuk menaikkan derajatnya, untuk menjadikan Perempuan dan Ibu sejati agar lebih siap menjalankan kewajiban yang besar.ÂKewajiban yang ditetapkan oleh ibu alam sendiri kepada perempuan yaitu : pendidik pertama umat manusia! . Bukan tanpa alasan, orang mengatakan : Kebaikan dan kejahatan diminum anak bersama air susu ibu.
Kami yakin, seyakin - yakinnya, bahwa pekerjaan yang mendatangkan banyak berkah itu tidak akan dapat maju dengan pesat, selama perempuan Jawa tidak mengambil bagian dalam pekerjaan peradaban, dalam Pendidikan bangsanya, betapa pun banyaknya orang-orang kulit yang berbudi luhur mencurahkan segala kasih sayang dan tenaganya terhadap pekerjaan itu..." - Surat Kartini kepada N.v.Z , dimuat dalam Kolonial Weekblad (Mingguan Kolonial), tertanggal 25 Desember 1902.
Hai, Selamat Hari Kartini bagi para puan milenial!
Memang peringatan Hari Kartini sudah lewat dari beberapa hari yang lalu, namun tetap tidak ada salahnya untuk tetap membahasnya hingga hari ini. Membaca kembali kisahnya, bagaimana sejarah Kartini yang gigih menyuarakan suara hatinya untuk memperjuangkan hak emansipasi wanita di Indonesia kala itu, sukses membuat saya terharu. Menurut saya, cukup pantas juga untuk kita memperingati hari kelahirannya sebagai Hari Nasional, mengingat karenanya juga kita bisa menikmati dan menjadi apa yang kita inginkan saat ini.
Meski banyak yang merasa bahwa perjuangan Kartini tak sebanding dengan perjuangan Cut Nyak Dien atau Martha Christina Tiahahu yang mengangkat senjata dan turun di medan perang, perjuangan Kartini memperjuangkan emansipasi memang layak untuk diapresiasi.Â
Tanpa mengesampingkan para pahlawan wanita yang sangat keren, gigih dan tak kenal menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui berperang, perjuangan R.A. Kartini pada saat itu juga berat.Â
Mengapa?
Karena bukan fisik dan raga yang harus dilawan, melainkan otak, pemikiran dan stereotype yang berkembang pada saat itu. Stereotype yang mengatakan bahwa wanita tak seharusnya bersekolah tinggi - tinggi, karena kodrat wanita itu hanya akan dinikahkan, lalu mengurus anak dan suaminya, sehingga percuma saja untuk bersekolah tinggi - tinggi. Kartini pun harus meredam pemikiran majunya mengenai nasib para perempuan jawa, dan hanya bisa menyalurkannya melalui surat yang dikirimkannya pada orang asing, yakni Stella Zeehandelaar (SZ) di awal usianya yang 20 tahun dengan harapan bahwa suratnya akan dibaca oleh dunia.Â