Kepiting merupakan salah satu sumber daya perikanan yang berpotensi untuk dikembangkan, karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan rasa dagingnya yang enak, sehingga banyak disukai oleh masyarakat baik masyarakat lokal maupun international.
   Sejak tahun 1980-an kepiting menjadi komoditas penting di Indonesia yakni untuk memenuhi kebutuhan protein hewani karena mengandung nutrisi penting bagi pertumbuhan dan kesehatan tubuh. Daging kepiting mengandung asam amino esensial, asam lemak tak jenuh, vitamin B12, fosfor, zat besi, dan selenium yang berperan dalam mencegah kanker dan pengrusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri (Paul et al, 2015).Â
Herliany dan Zamdial (2015) menyatakan setiap 100 gram daging kepiting bakau segar mengandung nilai gizi tinggi yakni 18,06 g protein, 1,08 g lemak, 89 mg kalsium, dan 68,1 g air . Bukan hanya dagingnya yang mempunyai nilai komersil, kulitnyapun dapat dijual. Kulit kepiting diekspor dalam bentuk kering sebagai sumber chitin, chitosan dan karotenoid yang dimanfaatkan oleh berbagai industri sebagai bahan baku obat, kosmetik, pangan, dan lain-lain.
   Peluang pasar kepiting bakau terbuka luas dan prospektif, baik untuk pasar domestik maupun pasar mancanegara. Permintaan konsumen dalam negeri terhadap komoditas ini dari tahun ke tahun cenderung meningkat, demikian pula dengan permintaan ekspor. Permintaan kepiting bakau dari berbagai negara sangat tinggi yakni : Cina, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa.
   Pada tahun 2020, nilai permintaan kepiting-rajungan dunia mencapai USD5,4 miliar dan ekspor Indonesia untuk komoditas ini baru mencapai 6,8 % atau senilai USD367,5 juta. Hal itu menunjukkan bahwa pasar komoditas ini masih terbuka dan potensial untuk terus dikembangkan, terutama bagi sektor budidaya yang juga menjadi fokus perhatian pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan.
  Sebuah studi memaparkan, pemenuhan permintaan kepiting bakau yang sebagian besar dari tangkapan di alam + 61,6%, sementara dari budidaya hanya sebesar + 38,4%. Hal ini menyebabkan populasi kepiting mengalami penurunan sejak tahun 1990. Untuk mengurangi ketergantungan penangkapan kepiting bakau yang berlebihan di alam, salah satu solusi yang perlu dilakukan yaitu dengan melakukan budidaya. Jika tidak diimbangi dengan upaya tersebut, maka dikhawatirkan ketersediaan kepiting bakau di alam menjadi berkurang, bahkan kepunahan yang dihadapi bisa lebih cepat.Â
Untuk itu, budidaya kepiting bakau diyakini menjadi salah satu solusi. Meski begitu, secara teknis pelaksanaan dari budidaya kepiting ini masih mengalami berbagai kendala baik itu dari segi pembenihan maupun masa tebar.
   Untuk memenuhi permintaan konsumen kepiting bakau dan menjaga kelestarian habitatnya perlu upaya memproduksi kepiting bakau melalui budidaya ramah lingkungan. Beberapa kegiatan untuk mengelola budidaya dengan metode ramah lingkungan dapat dilakukan melalui :
Pengelolaan kualitas lingkungan yang bertujuan untuk menyediakan habitat yang layak bagi kehidupan kepiting bakau,
manajemen kualitas air,
manajemen pakan serta