Rasa takut ini menjadikan dia seseorang yang pendiam dan enggan bercerita terhadap teman terdekatnya. Hal ini yang membuat Fatih takut jika orang-orang disekitarnya tahu dengan kehidupan pribadinya yang buruk atau memalukan. Hingga pada akhirnya Fana dan Saka pun mengetahui sosok Fatih yang sebenarnya.Â
Ada banyak rahasia yang tersimpan di dalam dirinya, kerapuhan, kegagalan, dan upaya untuk bangkit sudah dilakukan oleh Fatih untuk terus hidup. Â Sifatnya yang sedingin es dan tingkahnya yang aneh pasti ia memiliki luka masa lalu yang nggak mengenakkan. Dan benar saja. Sehingga utuk orang-orang awam akan sangat sulit untuk memahami kondisi Fatih.
Singkat cerita, Fatih memiliki masa kecil yang sangat buruk dimana dia menjadi bahan bullyan atau perundungan dilingkungan pertemanannya hingga memasuki jenjang perkuliahan. Lambat laun sakit batin atau ganguan mental yang dialami Fatih ini semakin menjadi-jadi sehingga dia menjadi sosok yang tidak bisa berkembang di lingkungannya.Â
Dalam kecemasan dan ketakutannya, Fatih juga memiliki masalah keluarga yang tidak bisa ia ceritakan kepada siapapun sehingga membuat ia memiliki rasa bersalah yang sangat besar terutama kepada sosok ibu. Ibu Fatih memiliki penyakit depresi yang menjadikan Fatih sosok kesepian dan rapuh tanpa gambaran seorang ibu yang seharusnya.Â
Fatih merasa  bersalah dengan keadaan yang menimpa ibunya, rasa egois yang timbul di pikirannya membuat ia melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Rasa penyesalanpun timbul ketika ia merasa tidak bisa memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh ibunya. Namun hal ini terjadi karena Fatih memiliki masa kecil yang mana menjadi tempat pelampiasan amarah kedua orangtuanya yang terkadang tidak terkontrol.Â
Peristiwa-peristiwa itu telah terekam di pikiran dan ingatan Fatih hingga ia dewasa. Dan betapa beruntungnya Fatih karena di tengah-tengah keramaian permasalahannya ia mempunyai dua tangan dan juga dua telinga untuk mendengarkan keluh kesahnya kepada dunia. Dengan adanya Saka dan Fana, Fatih bisa menjadi manusia secara utuh tanpa di hakimi apa-apa.
Fatih selalu merasa bahwa dunia dipenuhi orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, senang mengomentari secara negatif apa yang dilakukan orang lain, orang-orang yang hobi merisak, serta orang-orang yang selalu mencampuri hidup orang lain.Â
Pada akhirnya, kita kadang-kadang harus berhenti menjadikan diri kita sebagai pusat semesta. Seakan-akan yang menderita hanya kita. Seakan-akan yang peduli hanya kita. Seakan-akan yang ingin dunia lebih ramah hanya kita.Â
Berhenti dan istirahatlah sesekali, lihatlah dunia dari sudut pandang lain. Hidup bukanlah ajang untuk bermegah-megahan,teruslah belajar untuk memahami diri sendiri bukan hanya memahami orang lain. Namun terlalu menjadikan diri sendiri sebagai pusat juga tidak baik, karena akan menjadikan diri ini menjadi sosok yang angkuh dan sombong serta selalu merasa benar.
Dari novel ini dapat kita ambil bahwa gangguan mental yang kita miliki sejak kecil hingga kita beranjak dewasa sangatlah memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan kita di masa yang akan datang. Lepaskanlah dan mulai berpikir secara luar tanpa harus memikirkan kata orang lain karena kita berdiri di kaki kita sendiri. Â
Novel ini juga membangun tentang seseorang yang kehilangan dirinya sendiri, tentang berharap, tentang kepercayaan, tentang pikiran-pikiran negatif yang akan selalu ada, tentang sudut pandang setiap orang dalam menghadapi masalah, tentang kehilangan, tentang empati, dan tentang seseorang yang ketakutan menghadapi dunia