Mohon tunggu...
Shanti Anggraeni Rachman
Shanti Anggraeni Rachman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

Anak sastra yang peminatannya linguistik, senang menulis, kadang-kadang senang membaca juga.

Selanjutnya

Tutup

Book

Realitas Kontras dalam "Ikan Adalah Pertapa"

21 Juni 2023   14:01 Diperbarui: 21 Juni 2023   14:03 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Kumpulan Puisi Ikan Adalah Pertapa, Dok. KPG

Judul: Ikan Adalah Pertapa

Penyair: Ko Hyeong Ryeol

Penerjemah: Kim Young Soo & Nenden Lilis Aisyah

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta

Tahun Terbit: 2023

Tebal: xxiii + 259 halaman

            Buku Ikan Adalah Pertapa merupakan buku kumpulan puisi dwibahasa. Setiap puisi dimuat dalam bahasa Korea dan Indonesia. Secara garis besar, buku kumpulan puisi ini berisi puisi-puisi yang menampilkan kehidupan dalam bingkai yang tak biasa. Tidak hanya mengambil sudut pandang manusia, puisi-puisi yang hadir dalam buku ini juga menampilkan sudut pandang makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan, hingga benda-benda mati. Sang pengarang, Ko Hyeong Ryeol merupakan seorang sastrawan asal Korea Selatan yang berfokus pada puisi. Karya debutnya berupa puisi berjudul "Zhuangzi" yang diterbitkan pada tahun 1979. Ia telah mendapatkan berbagai penghargaan dalam bidang kesusastraan dan kebudayaan, salah satunya adalah Contemporary Literature (Hyundae Munhak) Award pada tahun 2009. Puisi-puisi karangannya terkenal mampu menggambarkan suasana chaos dengan cara yang damai. Ko Hyeong Ryeol mengambil perspektif sebagai orang-orang terdekat ataupun lingkungan sekitarnya untuk melihat dunia sebagai bahan tulisannya. Hal ini sejalan dengan apa yang tertera pada buku Ikan Adalah Pertapa. Beberapa puisinya mengambil judul dari hewan, ada pula puisi yang dengan gamblang menyatakan kepedihan. Secara garis besar, ia menuliskan kepedihan dengan cara yang nyaman tanpa "berdarah-darah".

            Sebagaimana yang sudah dijabarkan bahwa tema buku ini melihat keadaan dunia yang tidak baik-baik saja dengan cara yang indah. Penggunaan diksi yang umum dipakai dalam bahasa sehari-hari, namun mampu mengandung makna yang indah.

Jika kehilangan sama dengan mendapatkan/aku tak kehilangan apa pun// ("Kehidupan Kereta Listrik", Ryeol, hlm. 18).

Alih-alih mengatakan "aku tidak untung atau rugi apa-apa", penyair menggunakan kalimat di atas untuk menyatakan maksud yang ia ingin sampaikan. Diksi yang digunakan cenderung merupakan bahasa sehari-hari. Terdapat juga gaya bahasa ironi seperti kutipan di atas. Dapat dikatakan dalam perjalanan 30 tahun dengan kereta listrik, setiap pagi, ia tidak merasa mendapatkan sesuatu dan tidak kehilangan apapun. Ada banyak imaji penglihatan dalam puisi-puisi ini. Sebab buku ini adalah buku terjemahan, maka bunyi yang hadir pun tidak terikat pada kesesuaian bunyi. Tipografi yang dibentuk pun rapi dan selaras antara satu bait dengan bait lain. Tema buku ini tentang cerminan kehidupan dengan nada yang lugas namun tetap berhati-hati. Perasaan yang muncul dalam puisi ini sering kali rasa sedih, haru, duka, namun diselimuti rasa damai.

            Buku kumpulan puisi ini, saya rasa merupakan cara bagaimana seorang penyair Ko memandang dunia. Dapat dilihat pada saat ia menggunakan diksi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti tentang hewan, laut, maupun apa-apa yang sering kita lihat seperti kereta listrik atau kentang. Saya kira, sang penyair ingin menggambarkan perasaannya melalui benda-benda tersebut atau mungkin malah mengambil sudut pandang benda-benda tersebut. Nyatanya, meskipun beberapa puisi terkesan damai dengan menggambarkan suasana laut, pedesaan, dan hal-hal lain, namun puisi tersebut menceritakan kepedihan. Penyair Ko benar-benar mengemas rasa sedih dan duka dalam bahasa yang mudah dicerna dan mudah diterima.

            Bagi saya, buku ini merupakan karya yang unik. Di saat saya terbiasa melihat kepedihan dengan bahasa yang "berdarah-darah", buku ini menampilkannya dengan nada tenang. Tentulah buku ini menjadi unggul dengan kemampuan berbahasa sang penyairnya. Namun, bagi para pembaca pemula atau kalangan nonsastra, paradoks yang kental dalam buku ini bisa saja membuat mereka kebingungan. Maka dari itu, saya amat merekomendasikan buku ini kepada Anda yang memang sudah sering bergulat dengan sastra ataupun Anda yang ingin mempelajari sastra lebih dalam lagi. Bagi saya, buku ini amat sangat layak menjadi penghuni baru di rak buku saya. ***

*) Shanti Anggraeni Rachman, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun