Buku kumpulan puisi ini, saya rasa merupakan cara bagaimana seorang penyair Ko memandang dunia. Dapat dilihat pada saat ia menggunakan diksi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti tentang hewan, laut, maupun apa-apa yang sering kita lihat seperti kereta listrik atau kentang. Saya kira, sang penyair ingin menggambarkan perasaannya melalui benda-benda tersebut atau mungkin malah mengambil sudut pandang benda-benda tersebut. Nyatanya, meskipun beberapa puisi terkesan damai dengan menggambarkan suasana laut, pedesaan, dan hal-hal lain, namun puisi tersebut menceritakan kepedihan. Penyair Ko benar-benar mengemas rasa sedih dan duka dalam bahasa yang mudah dicerna dan mudah diterima.
      Bagi saya, buku ini merupakan karya yang unik. Di saat saya terbiasa melihat kepedihan dengan bahasa yang "berdarah-darah", buku ini menampilkannya dengan nada tenang. Tentulah buku ini menjadi unggul dengan kemampuan berbahasa sang penyairnya. Namun, bagi para pembaca pemula atau kalangan nonsastra, paradoks yang kental dalam buku ini bisa saja membuat mereka kebingungan. Maka dari itu, saya amat merekomendasikan buku ini kepada Anda yang memang sudah sering bergulat dengan sastra ataupun Anda yang ingin mempelajari sastra lebih dalam lagi. Bagi saya, buku ini amat sangat layak menjadi penghuni baru di rak buku saya. ***
*) Shanti Anggraeni Rachman, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H