“Sssst … tak perlu bilang begitu ah. Aku paham.” Kumala tak mau Badwi banyak berjanji, ia takut mengalami luka hati lagi.
Satu setengah jam perjalanan udara. Kumala telah menemui mamak dalam angannya, tangan dengan urat-urat yang menonjol itu masih giat menjalin butiran manik-manik. Salah satunya adalah kalung yang selalu ia pakai saat menyiar di stasiun televisi, berganti-ganti antara manik yang berwana merah–hitam dengan kalung sulam tumpar dengan bentuk burung Enggang biru-kuning. Setelah itu ia masih harus menahan rindu empat belas hari di penginapan untuk isolasi mandiri. Sementara WA Badwi terus berdenting di gawainya memastikan bahwa Kumala baik-baik saja.
“Yes … ini Borneo-ku!” teriak Kumala yang menghambur ke luar bandara kedatangan di Sepinggan Balikpapan. Bandara yang kini mewah bertingkat dengan toilet bersih dan lantai mengkilap kelas internasional. Kumala memulai reportase live-nya di sosmed. Badwi juga memantaunya. Dengan bangga ia memamerkan bandara Sepinggan di Balikpapan itu ke seluruh pemirsa.
Tak disangkanya ada like yang telah lama tak mampir di linimasa Kumala. Itu adalah jempol Kahala. Padahal Kahala tak pernah lagi mengirim pesan pribadi di sosial media IG, sementara WA-nya sudah lama diblokir oleh Kumala.
Empat belas hari di penginapan, Kumala tiba-tiba merindukan Kahala selain Mamak Dayang dengan sulam tumpar dan manik-maniknya. Namun Kumala masih enggan membuka daftar blokir WA. Setia pada Badwi namun masih merindukan Kahala adalah kesalahan terbesarnya saat ini.
Saatnya menyebrang sungai.
Tak ada cara lain menuju Desa Pela selain naik kapal atau speedboat. Sebelumnya dari Samarinda Kumala mesti menyewa mobil tiga setengah jam perjalanan menuju Kota Bangun. Setelah sampai di Kota Bangun, Kumala naik kapal berkapasitas sepuluh penumpang.
Dari kejauhan Kumala sumringah melihat kembali rumah-rumah di atas air sungai yang kini bersolek makin bungas, gerbang yang berhias kayu dengan cat warna-warni, juga jalinan jembatan kayu terpanjang di Kutai Kartanegara dengan aneka warna yang telah membayang di pelupuk mata Kumala. Jembatan tempat ia bermain sepeda bersama teman-temannya semasa sekolah dulu. Ada pula Danau Semayang, danau air tawar tempat ia dan Kahala seringkali menikmati matahari yang tenggelam.
“Mala … !” Ups … jantung Kumala hampir copot. Suara laki-laki yang menyita lamunannya beberapa hari terakhir ini ternyata sangat dekat di telinga. Kumala menoleh ke belakang. Ketika itu ia baru saja sampai di batang dermaga Desa Pela.
“Ka --ha--la!” Kumala terbata.
“Syukurlah kamu masih ingat aku!” Kahala terseyum lebar, dadanya tetap bidang dengan kulit legam terbakar matahari. Tetapi senyumnya selalu damai seperti tarian pesut-pesut Mahakam.