Mohon tunggu...
Shan Savera
Shan Savera Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Shansa

shan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Psikologi Hamka dengan Pendekatan Teori Ekspresif dalam Buku "Merantau ke Deli"

27 Februari 2022   21:56 Diperbarui: 27 Februari 2022   22:06 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkataan yang dilontarkan oleh Bagindo Kayo, sahabat lama Leman, merupakan gambaran apa yang akan terjadi apabila Leman berpoligami dimana Leman akan melukai hati Poniem. Hamka sendiri selama hidupnya memutuskan untuk tidak berpoligami walaupun didesak oleh ayahnya karena melihat ibunya begitu menderita atas perbuatan ayahnya sehingga tampaknya Hamka mengangkat cerita poligami berdasarkan kisah ayah dan ibunya. Beliau juga menggambarkan penderitaan ibunya dengan isi hati Poniem saat dipoligami sebagai berikut:

Bertambah larutnya malam, bertambah matanya nyalang. Seperti terbayang di ruang matanya bagaimana pertemuan suaminya dengan Mariatun, bagaimana perjumpaan dan tutur sapanya. Segala keadaan ketika mula-mula bertemu di malam pertama dahulu, semuanya sekarang terbayang. Tentu tegur sapa, bujuk cumbu, pergelutan malam pertama dan perangai-perangai yang lain, yang dahulu pernah dilakukan suaminya terhadap dirinya, sekarang ini dilakukannya pula kepada istri mudanya. (Hamka, 2017, hal. 99)

Kutipan diatas merupakan suara hati Poniem seketika Leman pergi ke Qadhi1 untuk melakukan ijab kabul. Disini terlihat bahwa Poniem harus menerima kenyataan bahwa ia harus berbagi suami dengan wanita lain. Hal ini pun dijelaskan oleh Musdah Mulia bahwa poligami berdampak psikologis pada istri, seperti istri akan merasa terganggu dan sakit hati bisa melihat suaminya menikah lagi dengan wanita lain. Dampak psikologis terhadap istri pertama menurut Spring adalah kehilangan hubungan baik dengan suami dan akan bertanya-tanya siapakah ia sekarang dimana ia dulunya adalah seorang yang dicintai oleh suaminya, namun sekarang suaminya telah mencintai orang lain sehingga istri pertama seringkali akan kehilangan diri, istri pertama juga merasa bukan lagi seseorang yang berarti bagi suaminya. Dari pernyataan kedua orang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hamka telah mendeskripsikan isi hati Poniem berdasarkan pengalamannya melihat ibu beliau. 

Selanjutnya, Hamka juga membahas adat Minangkabau yang dimana pada novel ini menjadi latar belakang mengapa Leman akhirnya berpoligami. Hamka sendiri lahir di Minangkabau, dengan orang tua asli Minangkabau. Selama hidupnya, beliau telah melihat budaya adatnya dan membandingkannya dengan adat yang lain. Beliau merasa bahwa budayanya memiliki kekurangan khususnya pada masalah ketidaksetaraan gender. Keresahan hatinya mengenai ketidakadilan yang diterima oleh laki-laki dalam berkeluarga digambarkan sebagai berikut: 

"Membeli sawah dan membuat rumah di kampung, lain halnya dengan engkau membeli rumah di sini, Suyono. Rumah ini engkau beli untuk dirimu, untuk istirahat di hari tuamu, atau untuk engkau jual pula jika engkau tersedak tidak ada uang. Sebab engkau yang punya. Di kampung kami rumah yang didirikan atau sawah yang dibeli, bukan buat kita laki-laki, tetapi buat istri. Jadi keduanya adalah kepunyaan Mariatun dan anaknya. Akhirnya untuk suku dan keturunannya. Kita laki-laki menurut adat kami, hanyalah sebagai gajah pengangkut debu. Kalau aku tetap di kampung kelak, bagianku hanyalah surau, terutama jika anak perempuanku telah bersuami pula. Dan di rumah sanak saudaraku, tidak ada harga diriku. Aku akan disesali sebab umur muda telah aku habiskan di rantau." (Hamka, 2017, hal. 175)

Rahima (2011) menjelaskan bahwa pada aspek ekonomi dan waris, kaum ibu mempunyai kedudukan yang istimewa tentang sistem keturunan, sawah, ladang, dan rumah tempat kediaman (hal. 45). Dalam dialog Leman pun dapat terlihat bahwa perempuan atau kaum ibu mempunyai kedudukan yang istimewa, memiliki derajat yang jauh lebih tinggi dari laki-laki sehingga laki-laki di adat Minangkabau hanya berperan untuk memberikan nafkah sepenuhnya kepada istri. Hal ini dibuktikan dengan satu kalimat yang Leman ucapkan yaitu "Kita laki-laki menurut adat kami, hanyalah sebagai gajah pengangkut debu". Menurut saya, dialog Leman ini ditulis oleh Hamka sebagai curahan hatinya bagaimana sebuah adat melukai jiwa laki-laki Minangkabau. 

Terakhir, tokoh Bagindo Kayo yang merupakan sahabat lama Leman, memberikan nasehat-nasehat kepada Leman sepertinya merupakan perwujudan dari Hamka itu sendiri. Hal ini dikarenakan Hamka merupakan seorang ulama dimana seorang ulama membimbing umatnya dalam masalah-masalah agama maupun yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (berdasarkan situs risalahmuslim.id) sehingga Hamka seringkali memberikan nasehat-nasehatnya. Perwujudan Bagindo Kayo dapat dibuktikan dengan dialognya bersama Leman sebagai berikut : 

"... Berbeda pendapat aku dengan kawan-kawan yang lain. Buatku, beristrilah dan bergaulah dengan setia, pergilah kemanapun yang baik untuk hidupmu di belakang hari. Jangan sampai serupa saudara-saudara kita yang lain, yang telah pernah pula beristri orang yang bukan orang sekampungnya, maksudnya bukan benar-benar mengambil jadi istri, hanyalah melepaskan nafsu muda. Akhirnya orang-orang yang demikian menyesal juga." (Hamka, 2017, hal. 31)

BAB V. PENUTUP

Hamka telah berhasil membuat sebuah karya yang dapat menguras emosi dengan pandangan dan pengalaman yang ia dapat selama hidupnya. Budaya Minangkabau yang menjadi sebuah identitasnya, ia kritik atas pandangannya terhadap ketidaksetaraan gender yang terjadi. Beliau juga memberikan pandangan mengenai poligami. Buku tersebut ditulis agar kita sebagai pembaca dapat melihat keresahan yang telah ditulis Hamka, mengambil hal tersebut sebagai pembelajaran hidup kita. Luapan emosi yang ditulis Hamka dapat menarik pembaca ke dalam ceritanya. 

Dengan adanya keresahan, kita dapat menggunakan hal itu untuk membuat karya sastra seperti Hamka agar kita bisa meningkatkan kesadaran para pembaca terhadap suatu masalah. Marilah kita menulis karya seperti Hamka dengan menggunakan pandangan dan pengalaman hidup kita terhadap suatu masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Andika, F. (2019). ANALISIS KUMPULAN PUISI SETUNGKUL BENANG KARYA UBAI DILLAH AL ANSHORI DENGAN PENDEKATAN EKSPRESIF. Retrieved February 26, 2022, from http://repository.umsu.ac.id/bitstream/123456789/1345/1/Skripsi%20Fajar.pdf 

Basuki, I. (2015). ASPEK PSIKOLOGIS PENGARANG DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERWATAKAN TOKOH UTAMA NOVEL LADY CHATTERLAY'S LOVER KARYA DAVID HERBERT LAWRENCE, 5, 127--138. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun