Mohon tunggu...
Shan Savera
Shan Savera Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Shansa

shan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Psikologi Hamka dengan Pendekatan Teori Ekspresif dalam Buku "Merantau ke Deli"

27 Februari 2022   21:56 Diperbarui: 27 Februari 2022   22:06 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BAB I. PENGENALAN KARYA

Hamka lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908. Beliau merupakan orang keturunan Minangkabau. Ia lahir dari ayah yang merupakan ulama Islam terkenal yaitu Dr. H. Abdul Karim bin Muhammad Amrullah bin tuanku Abdullah Saleh dan ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria. Hamka hidup dengan trauma hidupnya karena perceraian ayah dan ibunya pada usianya yang ke-12. Ayahnya memutuskan untuk memperistri satu wanita lagi dan memutuskan untuk menceraikan ibu Hamka karena ayahnya sudah mempunyai empat istri dan harus menceraikan salah satu istrinya agar bisa memperistri lagi. Akibat trauma ini, Hamka memutuskan untuk tidak melakukan poligami. 

Salah satu novel buatan beliau bertajuk Merantau ke Deli. Cerita yang diangkatnya merupakan hasil pengalamannya selama bekerja sebagai guru agama pada tahun 1928 di satu pasar kecil bernama Pasar Bajalinggei dekat Tebing Tinggi, Deli. Disana beliau menyaksikan kehidupan pedagang kecil dan kuli-kuli kontrak, melihat bagaimana orang-orang dari berbagai budaya merantau ke Deli. Selain itu, ia juga mengambil adat Minangkabau yang sudah melekat pada dirinya dalam penggambaran tokoh utamanya. Beliau sendiri mengatakan bahwa buku Merantau ke Deli merupakan buku yang paling memuaskan hatinya karena sumber bahannya yang benar-benar berdasarkan pengalaman hidupnya. 

BAB II. SINOPSIS CERITA

Merantau ke Deli merupakan novel buatan Hamka yang bercerita mengenai pernikahan beda suku antara perempuan Jawa bernama Poniem dan laki-laki Minangkabau bernama Leman. Kisah mereka dimulai dengan pertemuan di Deli, dimana Leman, sang pedagang kecil terpikat dengan kecantikan Poniem, simpanan mandor besar. Leman mengajak Poniem untuk kabur dari Deli dan membuka lembaran baru di Medan dengan membuka perniagaan atas bantuan harta Poniem. Perniagaan mereka pun sukses besar dalam waktu yang singkat.  Namun, cerita mereka tidak diselesaikan dengan pernikahan yang "bahagia" itu. 

Satu demi satu konflik berdatangan, Poniem yang tidak kunjung hamil dan tuntutan tradisi Minangkabau yang mengikat jiwa dan raga Leman, yaitu memiliki keturunan dari seorang wanita Minangkabau. Leman pun memutuskan untuk berpoligami atas desakan kampungnya. Poniem sakit hati dengan kenyataan bahwa Leman lebih mementingkan tradisinya dibanding pernikahannya, namun ia tetap bersabar hingga di saat sang istri kedua memperlakukannya seperti budak. Poniem yang merasa kesal pun mulai menuntut haknya sebagai istri, namun Leman yang lebih mencintai istri keduanya itu, berkata kasar kepada Poniem hingga membuat Poniem memutuskan untuk pergi. Cerita pun berakhir dengan keadaan beberapa tahun setelah Poniem pergi, Leman bangkrut dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya, sedangkan Poniem kembali ke Medan untuk membuka perniagaan bersama suami barunya dan anak angkatnya.

BAB III. KAJIAN TEORI 

Menurut Yudiono (2019), pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dunia batin pengarang. Dengan demikian, apabila segala gagasan, cita, rasa emosi, ide, angan-angan merupakan "Dunia luar" pengarang maka, karya sastra merupakan "Dunia luar" pengarang yang bersesuaian dengan dunia alam itu (hal. 7). Menurut Imam (2015), kajian psikologi dalam studi sastra yang mengarah pada proses kreatif dan penelitian aspek psikologis penulis atau pengarang, baik pengarang sebagai tipe maupun sebagai individu adalah kajian psikologi yang menekankan pada aspek pengarang sebagai penghasil karya sastra (hal. 128). Kritik sastra yang akan saya lakukan adalah meneliti kaitan pandangan Hamka mengenai pernikahan serta poligami dan adat istiadat dalam bukunya yang berjudul Merantau ke Deli dengan pendekatan ekspresif. 

BAB IV. PEMBAHASAN 

Buku Merantau ke Deli merupakan karya yang mengambil segi pandang Hamka dalam pernikahan dan adat Minangkabau. Pertama, Hamka membahas topik mengenai pernikahan, bagaimana seharusnya suami istri menjalani kehidupannya bersama. Beliau mengangkatnya dengan bentuk dialog  sebagai berikut:  

"Kalau begitu tentu hati Abang masih terbagi, Abang masih ingat cara hidup di kampung Abang sendiri. Ibarat orang memberi, belumlah Abang memberikan ke semuanya, tetapi masih setengah-setengah. Sekarang Abang beristri orang lain dan orang lain itu pun telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Abang. Tidak ada tempatku menumpangkan diri lagi melainkan Abang. Ibu bapakku, kaum kerabatku, tidak ada lagi. Karenanya menurut pikiranku yang bodoh dungu ini, penghidupan yang kita cari, hendaklah untuk kita berdua. Barang-barang kepunyaan kita, harta benda kepunyaan berdua. Kita kerjakan masing-masing menurut kekuatan kita, dan hasilnya kita makan berdua, kita sisakan berdua." (Hamka, 2017, hal. 35)

Pada kutipan diatas terlihat bahwa Leman tidak ingin berkomunikasi hambatan-hambatan yang ia sedang alami karena prinsip hidup yang ia pegang sebagai orang Minangkabau. Hamka disini memberikan pandangannya mengenai pernikahan dengan Poniem sebagai representatifnya, dimana Poniem merupakan orang Jawa yang tidak mengetahui bagaimana adat Minangkabau berjalan. Poniem lebih memilih Leman lebih terbuka dengan permasalahan yang terjadi daripada mengangkutnya sendiri karena menurutnya suami istri hendaknya menjadi pendukung satu sama lain. Selain itu, Hamka juga membahas mengenai poligami sebagai berikut : 

"Kalau memang engkau cinta kepada perempuan yang melarat itu, hanya engkau ibarat seutas tali tempatnya bergantung, hanya engkau orang tuanya, hanya engkau familinya, tentu dia tidak akan engkau duakan dengan yang lain. Tentu hatinya tidak akan engkau tikam." (Hamka, 2017, hal. 43)

Perkataan yang dilontarkan oleh Bagindo Kayo, sahabat lama Leman, merupakan gambaran apa yang akan terjadi apabila Leman berpoligami dimana Leman akan melukai hati Poniem. Hamka sendiri selama hidupnya memutuskan untuk tidak berpoligami walaupun didesak oleh ayahnya karena melihat ibunya begitu menderita atas perbuatan ayahnya sehingga tampaknya Hamka mengangkat cerita poligami berdasarkan kisah ayah dan ibunya. Beliau juga menggambarkan penderitaan ibunya dengan isi hati Poniem saat dipoligami sebagai berikut:

Bertambah larutnya malam, bertambah matanya nyalang. Seperti terbayang di ruang matanya bagaimana pertemuan suaminya dengan Mariatun, bagaimana perjumpaan dan tutur sapanya. Segala keadaan ketika mula-mula bertemu di malam pertama dahulu, semuanya sekarang terbayang. Tentu tegur sapa, bujuk cumbu, pergelutan malam pertama dan perangai-perangai yang lain, yang dahulu pernah dilakukan suaminya terhadap dirinya, sekarang ini dilakukannya pula kepada istri mudanya. (Hamka, 2017, hal. 99)

Kutipan diatas merupakan suara hati Poniem seketika Leman pergi ke Qadhi1 untuk melakukan ijab kabul. Disini terlihat bahwa Poniem harus menerima kenyataan bahwa ia harus berbagi suami dengan wanita lain. Hal ini pun dijelaskan oleh Musdah Mulia bahwa poligami berdampak psikologis pada istri, seperti istri akan merasa terganggu dan sakit hati bisa melihat suaminya menikah lagi dengan wanita lain. Dampak psikologis terhadap istri pertama menurut Spring adalah kehilangan hubungan baik dengan suami dan akan bertanya-tanya siapakah ia sekarang dimana ia dulunya adalah seorang yang dicintai oleh suaminya, namun sekarang suaminya telah mencintai orang lain sehingga istri pertama seringkali akan kehilangan diri, istri pertama juga merasa bukan lagi seseorang yang berarti bagi suaminya. Dari pernyataan kedua orang tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hamka telah mendeskripsikan isi hati Poniem berdasarkan pengalamannya melihat ibu beliau. 

Selanjutnya, Hamka juga membahas adat Minangkabau yang dimana pada novel ini menjadi latar belakang mengapa Leman akhirnya berpoligami. Hamka sendiri lahir di Minangkabau, dengan orang tua asli Minangkabau. Selama hidupnya, beliau telah melihat budaya adatnya dan membandingkannya dengan adat yang lain. Beliau merasa bahwa budayanya memiliki kekurangan khususnya pada masalah ketidaksetaraan gender. Keresahan hatinya mengenai ketidakadilan yang diterima oleh laki-laki dalam berkeluarga digambarkan sebagai berikut: 

"Membeli sawah dan membuat rumah di kampung, lain halnya dengan engkau membeli rumah di sini, Suyono. Rumah ini engkau beli untuk dirimu, untuk istirahat di hari tuamu, atau untuk engkau jual pula jika engkau tersedak tidak ada uang. Sebab engkau yang punya. Di kampung kami rumah yang didirikan atau sawah yang dibeli, bukan buat kita laki-laki, tetapi buat istri. Jadi keduanya adalah kepunyaan Mariatun dan anaknya. Akhirnya untuk suku dan keturunannya. Kita laki-laki menurut adat kami, hanyalah sebagai gajah pengangkut debu. Kalau aku tetap di kampung kelak, bagianku hanyalah surau, terutama jika anak perempuanku telah bersuami pula. Dan di rumah sanak saudaraku, tidak ada harga diriku. Aku akan disesali sebab umur muda telah aku habiskan di rantau." (Hamka, 2017, hal. 175)

Rahima (2011) menjelaskan bahwa pada aspek ekonomi dan waris, kaum ibu mempunyai kedudukan yang istimewa tentang sistem keturunan, sawah, ladang, dan rumah tempat kediaman (hal. 45). Dalam dialog Leman pun dapat terlihat bahwa perempuan atau kaum ibu mempunyai kedudukan yang istimewa, memiliki derajat yang jauh lebih tinggi dari laki-laki sehingga laki-laki di adat Minangkabau hanya berperan untuk memberikan nafkah sepenuhnya kepada istri. Hal ini dibuktikan dengan satu kalimat yang Leman ucapkan yaitu "Kita laki-laki menurut adat kami, hanyalah sebagai gajah pengangkut debu". Menurut saya, dialog Leman ini ditulis oleh Hamka sebagai curahan hatinya bagaimana sebuah adat melukai jiwa laki-laki Minangkabau. 

Terakhir, tokoh Bagindo Kayo yang merupakan sahabat lama Leman, memberikan nasehat-nasehat kepada Leman sepertinya merupakan perwujudan dari Hamka itu sendiri. Hal ini dikarenakan Hamka merupakan seorang ulama dimana seorang ulama membimbing umatnya dalam masalah-masalah agama maupun yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (berdasarkan situs risalahmuslim.id) sehingga Hamka seringkali memberikan nasehat-nasehatnya. Perwujudan Bagindo Kayo dapat dibuktikan dengan dialognya bersama Leman sebagai berikut : 

"... Berbeda pendapat aku dengan kawan-kawan yang lain. Buatku, beristrilah dan bergaulah dengan setia, pergilah kemanapun yang baik untuk hidupmu di belakang hari. Jangan sampai serupa saudara-saudara kita yang lain, yang telah pernah pula beristri orang yang bukan orang sekampungnya, maksudnya bukan benar-benar mengambil jadi istri, hanyalah melepaskan nafsu muda. Akhirnya orang-orang yang demikian menyesal juga." (Hamka, 2017, hal. 31)

BAB V. PENUTUP

Hamka telah berhasil membuat sebuah karya yang dapat menguras emosi dengan pandangan dan pengalaman yang ia dapat selama hidupnya. Budaya Minangkabau yang menjadi sebuah identitasnya, ia kritik atas pandangannya terhadap ketidaksetaraan gender yang terjadi. Beliau juga memberikan pandangan mengenai poligami. Buku tersebut ditulis agar kita sebagai pembaca dapat melihat keresahan yang telah ditulis Hamka, mengambil hal tersebut sebagai pembelajaran hidup kita. Luapan emosi yang ditulis Hamka dapat menarik pembaca ke dalam ceritanya. 

Dengan adanya keresahan, kita dapat menggunakan hal itu untuk membuat karya sastra seperti Hamka agar kita bisa meningkatkan kesadaran para pembaca terhadap suatu masalah. Marilah kita menulis karya seperti Hamka dengan menggunakan pandangan dan pengalaman hidup kita terhadap suatu masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Andika, F. (2019). ANALISIS KUMPULAN PUISI SETUNGKUL BENANG KARYA UBAI DILLAH AL ANSHORI DENGAN PENDEKATAN EKSPRESIF. Retrieved February 26, 2022, from http://repository.umsu.ac.id/bitstream/123456789/1345/1/Skripsi%20Fajar.pdf 

Basuki, I. (2015). ASPEK PSIKOLOGIS PENGARANG DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERWATAKAN TOKOH UTAMA NOVEL LADY CHATTERLAY'S LOVER KARYA DAVID HERBERT LAWRENCE, 5, 127--138. 

Mizanstore. (2020, June 24). Apa Jawaban Buya Hamka Ketika Diminta Berpoligami? Mizanstore Blog. Retrieved February 26, 2022, from https://blog.mizanstore.com/apa-jawaban-buya-hamka-ketika-diminta-berpoligami/ 

Zakia, R. (2011). Kesetaraan Dan Keadilan Gender Dalam Adat Minangkabau. Kafa`Ah: Journal of Gender Studies, 1(1), 39. https://doi.org/10.15548/jk.v1i1.39 

Yuliana, N. (2018). DAMPAK POLIGAMI TERHADAP KEHARMONISAN KELUARGA (Studi Kasus Di Desa Surabaya Udik Kecamatan Sukadana Kabupaten Lampung Timur). 

Alasan Buya Hamka Tidak Poligami. Majalah Suara 'Aisyiyah. (2021, June 4). Retrieved February 27, 2022, from https://suaraaisyiyah.id/alasan-buya-hamka-tidak-poligami/ 

Apa Itu Ulama? * kamus istilah islam * risalahmuslim. RisalahMuslim. (2021, December 31). Retrieved February 27, 2022, from https://risalahmuslim.id/kamus/ulama/ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun