Mohon tunggu...
Shan Savera
Shan Savera Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Shansa

shan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pernikahan Tak Semata Karena Cinta - Resensi Buku Novel "Merantau ke Deli"

30 September 2021   16:01 Diperbarui: 2 Oktober 2021   20:24 3389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku: Merantau ke Deli

Penulis: Hamka

Tahun Terbit: 1941

Penerbit: Gema Insani

ISBN: 978-602-250-387-3

Tebal Buku: 196 halaman

BIODATA PENULIS

Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah lebih dikenal dengan nama penanya yaitu Hamka. Beliau merupakan orang Minangkabau yang lahir pada tanggal 17 Februari 1908. Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia, berkarir sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. 

Dalam sisi politik, beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pertama dan aktif dalam organisasi Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sedangkan dalam dunia novel, beliau menyumbangkan berbagai novel fenomenal seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah.

SINOPSIS

Novel ini menceritakan kisah sepasang kekasih yaitu Leman, orang Minangkabau dan Poniem, orang Jawa. Cerita berawal dari pertemuan mereka di Deli dimana Leman bekerja sebagai pedagang kecil dan Poniem sebagai simpanan seorang mandor besar. Mereka berdua jatuh cinta dan terus bertemu satu sama lain hingga Leman pun menikahi Poniem dan mereka pergi ke Medan untuk membuka lembaran baru kehidupan mereka. 

Pernikahan mereka pun dimulai dengan ketulusan dimana Poniem rela memberikan semua hartanya untuk Leman agar Leman dapat membuka sebuah perniagaan. Kerja keras dan ketekunan dari Leman dan kesetiaan dari Poniem membuahkan perniagaan yang besar dan sukses hingga dikagumi oleh orang-orang. 

Konflik pun dimulai saat orang kampung mendengar bahwa Leman telah sukses. Mereka ingin Leman untuk pulang kampung dan mempertimbangkan untuk memperistri lagi seorang perempuan suku Minang dengan siasat sebagai bukti bakti kepada leluhur mereka karena Poniem merupakan orang Jawa dan belum hamil. 

Para petuah menyarankan hal tersebut agar dapat menguntungkan salah satu keluarga yang berkuasa di desa tersebut, agar anaknya bisa mendapatkan hidup sejahtera sesuai kriteria adat Minangkabau yaitu mendapatkan rumah, perhiasan, dan kuburan keluarga. Leman yang dibujuk hingga diperlihatkan wajah seorang perempuan yang dijodohkan dengannya pun mulai luluh karena kecantikan perempuan tersebut. Hal ini menjadi retakan awal dari pernikahan Leman dan Poniem. 

Poniem awalnya hanya bisa berpasrah mendengar perjodohan antara Leman dan gadis tersebut, berharap hal itu merupakan keputusan terbaik baginya dan keluarga Leman. Namun, lambat laun, ia mulai merasakan ketidakadilan yang ia terima seperti diperlakukan sebagai budak rumah oleh Mariatun, istri kedua Leman hingga dihina oleh Leman. 

Pada akhirnya, Poniem memilih untuk pergi. Sejak saat itu, perniagaan Leman mulai bangkrut karena mengirimkan seluruh hartanya ke kampungnya sesuai dengan peraturan adatnya dan juga karena ketidakhadiran Poniem dalam hidupnya yang selalu setia mengatur keuangan perniagaannya. 

Di sisi lain, Poniem berusaha dari bawah bersama dengan salah satu karyawan setianya dulu, mencari uang agar bisa membangun sebuah perniagaan. Cerita pun ditutup dengan keluarga Leman yang kembali ke Minangkabau setelah bertemu dengan Poniem. 

KELEBIHAN

Dari segi perkembangan karakter, sang penulis menuliskannya dari masing-masing karakter dengan sangat bagus dan realistis. Tokoh utama wanita yaitu Poniem digambarkan sebagai perempuan yang lemah lembut, penyabar, dan penurut terhadap suaminya. Namun, ketidakadilan yang ia rasakan setelah pernikahan kedua suaminya menyebabkan ia yang awalnya hanya berpasrah menjadi wanita yang lebih tegar dan menuntut haknya sebagai wanita dan istri. 

Sedangkan, tokoh utama pria yaitu Leman, digambarkan sebagai lelaki yang pekerja keras, dibuktikan dengan bagaimana ia berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga setelah menikah tanpa memberitahu sang istri. Seiring berjalannya konflik, Leman digambarkan sebagai seseorang yang labil dengan semua keputusan yang ia ambil dan menjadi malas sejak pernikahannya yang kedua. 

Penulis menggambarkan emosi dari para tokoh dengan sangat baik sehingga para pembaca dapat menangkap dan merasakan situasi seperti apa yang digambarkan oleh penulis. 

Ada beberapa adegan yang menurut saya cukup membekas yaitu saat Leman memberi tahu Poniem bahwa ia ingin memperistri lagi atas kemauan dari petuah kampungnya, saat Leman bertemu dengan Poniem setelah tiga tahun lamanya, dan pertemuan terakhir Leman dan Poniem sebelum Leman pulang kampung. 

Saat Leman memberi tahu Poniem, penulis menggambarkan situasi tersebut dengan melihat gelagat Poniem dari sudut pandang Leman dan dialog yang disuguhkan. Saat Leman bertemu dengan Poniem setelah mereka bercerai, penulis menggambarkan perawakan sang Leman memakai pakaian yang kusut, rambutnya yang beruban, dan kulitnya yang kusam. Ia bertemu dengan Poniem dengan rasa yang malu sambil menyampaikan rasa bersalahnya.

Malu si Leman digambarkan dengan dialog hati si Leman saat menghadapi situasi tersebut. Saat adegan pertemuan terakhir Leman dan Poniem, penulis menggambarkannya dengan sangat singkat namun membekas karena disitulah penulis menggambarkan emosi dari masing-masing tokoh yaitu suatu perasaan yang membendung dari dalam dada yang sesak.   

Selain itu, novel ini juga memberikan para pembaca penggambaran dari budaya suku Minang dan suku Jawa dalam berkeluarga sehingga kita bisa melihat seberapa besar perbedaan prinsip hidup yang dipegang oleh Leman maupun Poniem. 

Di novel tersebut lebih menjelaskan gejolak konflik yang terjadi karena budaya Minang dimana perempuan memiliki derajat yang lebih tinggi daripada laki-laki sehingga perempuan berhak menurunkan marga dan semua harta milik istri. 

Oleh karena itu, Leman diminta untuk menikah lagi dengan orang Minangkabau sebagai bentuk baktinya kepada leluhur, yang menguntungkan keluarga Mariatun, istri kedua Leman. Sedangkan laki-laki hanya bertugas untuk menafkahi keluarganya dan membeli rumah serta kuburan milik keluarga sebagai pemenuhan peraturan adat yang ada, menyebabkan usaha Leman bangkrut pada akhir cerita. 

KEKURANGAN

Penulis seringkali menuliskan kata-kata dari berbagai bahasa daerah yang sering diucapkan oleh orang-orang Melayu, Minangkabau, Tionghoa, dan Jawa agar para pembaca dapat menggambarkan pemandangan yang diceritakan. Tidak sedikit pula kata yang dilontarkan merupakan kata yang sudah lama, sudah jarang dipakai oleh orang muda sekarang. 

Penerbit telah memberikan keterangan untuk bahasa daerah dan beberapa kata yang menurut mereka sudah tidak lazim untuk dipakai, namun masih saja ada banyak kata-kata zaman dulu yang susah dimengerti oleh anak muda sekarang tidak diberi arti. Kata-kata tersebut seperti anak semang yang artinya orang dipekerjakan atau yang bekerja pada orang lain (seperti orang gajian, pegawai), jua yang artinya tidak lain dari, sepicing yang artinya terpejam sebentar, langgam yang artinya model atau gaya, dan lain sebagainya. 

Selain itu, dari sisi cerita, saya sendiri merasa ada kejanggalan di awal cerita dimana dikatakan bahwa Poniem merupakan salah satu simpanan mandor besar dan pergi kabur untuk menikah dengan membawa harta yang begitu banyak yang sebenarnya merupakan pemberian mandor tersebut untuk poniem. 

Mandor digambarkan marah dan sangat kesal pada saat itu karena pemberian harta itu sebenarnya sebagai uang simpanannya agar bisa memakainya dalam situasi darurat, namun tidak ada cerita selanjutnya apakah beliau berusaha untuk mengambil kembali hartanya atau mencari Poniem saat perniagaannya sudah sukses karena nama Poniem dan Leman dikenal seluruh penduduk Deli. Mandor tersebut hanya diceritakan dalam satu kalimat setelah Poniem dan Leman menikah yaitu sudah pulang ke tanah Jawa, tempat asalnya tanpa adanya alasan di belakang itu. 

Keseluruhan dari cerita memberikan begitu banyak pembelajaran bagi kita khususnya tentang pernikahan, namun, cerita yang ditulis sangat mudah ditebak dari awal. Saya sendiri sudah bisa melihat konflik yang akan diberikan sejak bab pertama yang menceritakan Leman memilih tempat untuk ia berdagang hanya karena seorang perempuan cantik, yaitu Poniem. 

Kemudian, pada bab ketiga, kita akan diberikan  adegan dimana Leman akan diceramahi oleh seorang mamak yang juga tinggal di Deli, seseorang yang sangat dihormati oleh Leman. Beliau berkata bahwa Poniem tidak satu suku dengan Leman dan bertanya kepada Leman apakah ia bisa terus setia dengan Poniem hingga akhir hayatnya. 

KESIMPULAN

Penulis ingin menyampaikan empat amanat besar melalui novel ini yaitu janganlah demi menanam 'nama besar' membuat orang lain dan diri sendiri tersiksa karena pada akhirnya hanya kita yang bisa mengemudikan hidup kita sendiri dan sebuah nama yang dijunjung orang-orang juga akan padam seiring waktu atau setelah kita meninggalkan dunia ini. 

Budaya merupakan sesuatu yang melekat pada kita, identitas kita, tanda pemberian dari leluhur, tetapi, tidak semua adat perlu kita ikuti jika kita pada akhirnya tidak bahagia karena pada akhirnya kita kembali kepada Tuhan yang Maha Esa tanpa membawa apapun, hanya amal yang pernah kita lakukan saja. 

Kita sebagai manusia hendaknya menjadi orang yang bertanggung jawab atas segala pilihan yang telah kita pilih. Selain itu, pernikahan merupakan hal yang patut dipikirkan berkali-kali hingga matang karena pernikahan bukan hanya bersatunya dua orang, melainkan bersatu pula dua keluarga dan juga perbedaan. 

Saya sendiri menyarankan buku ini dibaca oleh kalangan SMA hingga dewasa karena permasalahan atau konflik dari cerita ini cukup berat dan amanat yang sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Buku ini juga cocok untuk dibaca bagi orang-orang yang ingin mengetahui budaya suku Minangkabau lebih dalam. 

Namun, novel ini tidak disarankan bagi orang-orang yang baru belajar Bahasa Indonesia atau memiliki kemampuan berbahasa indonesia yang tidak terlalu bagus dan anak-anak karena cara penuturan kalimat yang berbeda dengan zaman sekarang sehingga sulit untuk dimengerti. Novel ini juga tidak disarankan bagi orang-orang yang mudah bosan dengan jalan cerita yang hanya berpusat pada satu konflik. 

"Pernikahan adalah suatu tujuan yang suci atas bersatunya laki-laki dan perempuan. Tiga kali kita menyeberangi hidup, apabila ketiga kalinya telah diseberangi dengan selamat, bahagialah kita. Pertama hari kelahiran, hari suci. Kedua hari pernikahan, hari bakti. Ketiga hari kematian, hari sejati." -Hamka, Merantau ke Deli

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun