Ada beberapa adegan yang menurut saya cukup membekas yaitu saat Leman memberi tahu Poniem bahwa ia ingin memperistri lagi atas kemauan dari petuah kampungnya, saat Leman bertemu dengan Poniem setelah tiga tahun lamanya, dan pertemuan terakhir Leman dan Poniem sebelum Leman pulang kampung.Â
Saat Leman memberi tahu Poniem, penulis menggambarkan situasi tersebut dengan melihat gelagat Poniem dari sudut pandang Leman dan dialog yang disuguhkan. Saat Leman bertemu dengan Poniem setelah mereka bercerai, penulis menggambarkan perawakan sang Leman memakai pakaian yang kusut, rambutnya yang beruban, dan kulitnya yang kusam. Ia bertemu dengan Poniem dengan rasa yang malu sambil menyampaikan rasa bersalahnya.
Malu si Leman digambarkan dengan dialog hati si Leman saat menghadapi situasi tersebut. Saat adegan pertemuan terakhir Leman dan Poniem, penulis menggambarkannya dengan sangat singkat namun membekas karena disitulah penulis menggambarkan emosi dari masing-masing tokoh yaitu suatu perasaan yang membendung dari dalam dada yang sesak. Â Â
Selain itu, novel ini juga memberikan para pembaca penggambaran dari budaya suku Minang dan suku Jawa dalam berkeluarga sehingga kita bisa melihat seberapa besar perbedaan prinsip hidup yang dipegang oleh Leman maupun Poniem.Â
Di novel tersebut lebih menjelaskan gejolak konflik yang terjadi karena budaya Minang dimana perempuan memiliki derajat yang lebih tinggi daripada laki-laki sehingga perempuan berhak menurunkan marga dan semua harta milik istri.Â
Oleh karena itu, Leman diminta untuk menikah lagi dengan orang Minangkabau sebagai bentuk baktinya kepada leluhur, yang menguntungkan keluarga Mariatun, istri kedua Leman. Sedangkan laki-laki hanya bertugas untuk menafkahi keluarganya dan membeli rumah serta kuburan milik keluarga sebagai pemenuhan peraturan adat yang ada, menyebabkan usaha Leman bangkrut pada akhir cerita.Â
KEKURANGAN
Penulis seringkali menuliskan kata-kata dari berbagai bahasa daerah yang sering diucapkan oleh orang-orang Melayu, Minangkabau, Tionghoa, dan Jawa agar para pembaca dapat menggambarkan pemandangan yang diceritakan. Tidak sedikit pula kata yang dilontarkan merupakan kata yang sudah lama, sudah jarang dipakai oleh orang muda sekarang.Â
Penerbit telah memberikan keterangan untuk bahasa daerah dan beberapa kata yang menurut mereka sudah tidak lazim untuk dipakai, namun masih saja ada banyak kata-kata zaman dulu yang susah dimengerti oleh anak muda sekarang tidak diberi arti. Kata-kata tersebut seperti anak semang yang artinya orang dipekerjakan atau yang bekerja pada orang lain (seperti orang gajian, pegawai), jua yang artinya tidak lain dari, sepicing yang artinya terpejam sebentar, langgam yang artinya model atau gaya, dan lain sebagainya.Â
Selain itu, dari sisi cerita, saya sendiri merasa ada kejanggalan di awal cerita dimana dikatakan bahwa Poniem merupakan salah satu simpanan mandor besar dan pergi kabur untuk menikah dengan membawa harta yang begitu banyak yang sebenarnya merupakan pemberian mandor tersebut untuk poniem.Â
Mandor digambarkan marah dan sangat kesal pada saat itu karena pemberian harta itu sebenarnya sebagai uang simpanannya agar bisa memakainya dalam situasi darurat, namun tidak ada cerita selanjutnya apakah beliau berusaha untuk mengambil kembali hartanya atau mencari Poniem saat perniagaannya sudah sukses karena nama Poniem dan Leman dikenal seluruh penduduk Deli. Mandor tersebut hanya diceritakan dalam satu kalimat setelah Poniem dan Leman menikah yaitu sudah pulang ke tanah Jawa, tempat asalnya tanpa adanya alasan di belakang itu.Â