Sex merupakan sebuah ketetapan yang tidak dapat dirubah dan memiliki fungsi yang berbeda. Ibarat kebutuhan utama perempuan yang tidak bisa dimiliki oleh laki-laki, begitupun sebaliknya, dalam artian organ dan alat reproduksi. Laki-laki memiliki jakun, sedangkan perempuan tidak, perempuan memiliki rahim dan dapat melahirkan, laki-laki tidak bisa seperti itu. Begitulah arti dari sex, yakni perbedaan alami yang diberikan oleh tuhan sejak manusia dilahirkan, dikenal sebagai kodrat manusia.
Jika ada Sex disampingnya selalu disandingkan dengan Gender. Gender adalah konsep yang ada pada diri manusia, berkaitan dengan sifat, peran, antara laki-laki dan perempuan sebagai rujukan untuk bertindak dan menjalankan fungsinya. Gender tidak memiliki kaitan dengan konteks biologis, melainkan diciptakan dari kontruksi sosial atas campurtangan manusia. Manusia mengatur dan membentuk makna gende kemudian dikembangkan di kehidupan sehari-hari. Karena proses dibuat oleh masyarakat, maka paham keyakinan gender akan berbeda,dari kelompok satu dengan yang lain, sesuai dimana mereka tinggal.
Realitanya, pengetahuan tentang gender justru mengalami kekeliruan persepsi, gender dan jenis kelamin seringkali dicampuradukkan maknanya. Hingga saat ini, masyarakat masih mengalami kekeliruan, dengan menganggap perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah kodrat yang melekat dan tidak bisa digantikan oleh manusia.
Pemahaman sex dan gender yang dikontruksikan oleh masyarakat menjadi pemicu munculnya konsep maskulin dan feminin. Dalam perspektif sosiologi, ini dikenal dengan feminitas dan maskulinitas. Feminitas sebagai bentuk bagaimana masyarakat memandang perempuan, sedangkan maskulinitas yaitu bagaimana masyarakat memandang laki-laki. Pada umumnya, seorang perempuan akan lebih baik (ideal) jika memiliki sifat lemah lembut, suka menggunakan perasaan, berdandan, penurut, dan tempat yang cocok berada di ranah domestik. Sedangkan laki-laki dipandang ideal oleh masyarakat jika memiliki sifat tegas, tangguh, serba tau, mampu memimpin, serta ditempatkan di pekerjaan publik. Kedua konsep ini diatur masyarakat untuk mengkotak-kotakan status, peran yang dianggap sesuai dengan perempuan dan laki-laki. Stereotip yang diberikan secara sadar dapat berpengaruh membentuk pola pemikiran, perasaan, sikap dan tindakan. Setiap individu harus melakukan sifat tersebut jika tidak, mereka akan dianggap menyalahi kodrat dan tanggung jawab. Anggapan seperti ini membawa sebuah permasalahan. Perbedaan keduanya dijadikan jarak pemisah yang tajam antara laki-laki dan perempuan, adanya penempatan posisi lebih tinggi dan rendah, baik dari segi status, kedudukan, kondisi dan peran. Gambaran kondisi nyata yang terjadi tidak adil bagi perempuan dan berpotensi menguntungkan laki-laki. Disini, kaum perempuan sering ditempatkan posisi kurang baik dengan akses yang terbatas hanya berada dalam rumah tangga/domestik dan laki-laki berada di luar rumah. Hal ini mengakibatkan perempuan berkembang secara tidak manusiawi dibanding laki-laki. Situasi menyebalkan inilah bernama “PATRIARKI" sebuah budaya yang saat ini masih mengakar dalam kehidupan masyarakat, dianut dan dikontruksikan secara turun temurun.
Salah satu suku yang memiliki model budaya serupa dengan gaya patriaki yaitu “jawa” budaya suku jawa memang dikenal hampir sama dengan sistem patriarki. Anggapan eksistensi pada perempuan jawa mulai dari kedudukan, peran dan fungsi yang diberikan khususnya mereka yang telah menikah (istri) sebagai "Konco Wingking". Istilah yang sudah umum didengar, konco wingking diartikan sebagai teman belakang. Selain menjadi pasangan, fungsi istri dititikberatkan ada dibelakang, yaitu sebagai pengelola rumah tangga, pengurus segala kebutuhan domestik (memasak, mencuci, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, mengurus anak, suami, dan pekerjaan domestik lainnya). Ada lagi istilah bagi istri yang tidak kalah terkenal dalam budaya jawa yaitu 3M, wong wedok kudu pinter macak, masak, manak dalam artian istri harus bisa berdandan untuk suami, harus bisa memasak, mengurus seluruh pekerjaan rumah dan memberikan keturunan. Seringkali istri yang tidak memiliki anak dianggap sebagai aib hingga bahan perbincangan warga. Simbol dalam bentuk istilah inilah yang digunakan sebagai identitas dan patokan peran perempuan sebagai istri yang ideal.
Seiring berkembangnya zaman, pola pikir manusia juga mengalami kemajuan dan modern, yang dapat mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Seperti halnya dalam kehidupan rumah tangga, kini banyak pasutri jawa yang menunjukkan pikiran terbuka dan lebih setara. Adanya penerapan pola pembagian peran suami istri yang adil, seimbang atas dasar kesetaraan, saling berbagi, bertukar peran untuk membantu pekerjaan rumah tangga, sehingga tidak ada pihak merasa mendominasi atau didominasi. Menjadikan peran/tugas kerja yang dilakukan suami istri lebih bervariasi, disesuaikan dengan kondisi. Sialnya, dibalik itu saat ditelaah kembali kenyatan sesungguhnya masih ada keluarga pasutri yang menganut momok patriaki ini untuk menata kehidupan rumah tangganya. Serem bukan?
Disini saya akan membahas pemikiran kaku untuk membongkar bentuk dominasi yang dibungkus budaya khususnya pada peran istri dalam kehidupan rumahtangga yang menganut istilah “Konco Wingking”, dengan bumbu teori kekerasan simbolik milik Pierre Bourdieu. Perempuan terkurung dalam ketidaktahuan, mengabaikan diri dengan embel-embel “demi cinta”, mengeluh saat lelah tapi meyakinkan diri “gapapalah ini sudah kodrat”. Begitulah jawaban yang terlontar dari para istri termasuk beberapa teman saya, yang saat ini menjadi istri di keluarga suku jawa (kondisi ini saya ambil dari realita yang dirasakan oleh para istri yang telah berdiskusi dengan saya).
Saat berbincang di telepon dengan sahabat kecil saya, kami membahas kegiatan sehari-hari terutama tentang kehidupan pernikahannya, yang saat ini berusia setahun. Sahabat saya menceritakan kondisi yang tidak baik-baik saja hatinya, tidak berdaya dengan kondisi saat ini. Terkait peran yang dilakukan dalam rumah tangga bersama keluarga kecilnya. Dia dan suami sama-sama bekerja. Sahabat saya bekerja sebagai karyawan swasta, selain itu dia juga dibebankan penuh mengurus kebutuhan domestik termasuk mengurus suami serta hal-hal domestik lainnya.
Singkat cerita beberapa keseharian dari sahabat saya. Bangun pagi, memasak, membuat sarapan untuk suaminya, mengurus anak sebelum kerja, menyiapkan makanan suami sebelum bekerja, setelah mengurus rumah dan segala isinya istri dapat bekerja. Ia harus menyelesaikan pekerjaan rumah terlebih dahulu sebelum keluar dari rumah. Sepulang kerja, ia harus membersihkan rumah lagi, menjemput bayinya (karena dititipkan), menyiapkan makanan untuk suami, mengurus anak dan mungkin saja dia bisa tidur tengah malam hari. "Suamiku sudah tidur dulu capek kerja”, tugas suami dalam kegiatan rumah sangat jarang, padahal tugas domestik sebenarnya berlaku tidak untuk istri saja, tetapi bisa dilakukan bersama dan termasuk tanggung jawab suami untuk membantu. Memiliki peran sebagai seorang ibu, istri dan pekerja, ditambah cerita kesehariannya, saya membayangkan sangat lelah, apalagi mereka para istri yang senasib dengannya?
Inilah sepenggal cerita yang dirasakan sahabat saya, dan mungkin dirasakan juga oleh para istri Jawa diluar sana. Sebagai istri meski juga bekerja diranah publik, ia tetap diwajibkan melakukan semua pekerjaan rumah, tanggung jawab penuh mengurus suami, dan anak. Semua tugas rumah dilimpahkan kepada istri dengan embel-embel mengurus anak adalah kewajiban istri sebagai ibu, tempat perempuan memang dirumah. Sehingga para istri yang bisa bekerja di ranah publik sebenarnya tidak sepenuhnya berdaya tetapi justru merasakan lelahnya berperan ganda. Memang terlihat peran istri sudah maju dalam tahap kesetaraan diranah publik, tetapi kita pikir kembali, justru keterlibatan istri membantu bekerja disektor publik jika tidak diimbangi dengan peran suami untuk membantu pekerjaan domestik, apakah bisa dikatakan telah menerapkan dasar kesetaraan? atau malah membebankan tugas ganda pada perempuan?
Dalam pemikiran Pierre Bourdieu beliau menjelaskan konsep tentang kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik terjadi karena kekerasan yang dilakukan tidak nampak/secara terang-terangan seperti kekerasan fisik pada umunya, tetapi bentuk kekerasan ini sangat samar, lembut, hingga tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan, tetapi menyerang mental seseorang, perlakuan ini justru terus dilanggengkan hingga menjadi kepercayaan (Bourdieu 1995: 192). Kekerasan simbolik hanya bisa dibasmi dengan pengetahuan dan kesadaran.
Karena tidak terlihat seperti bentuk kekerasan, praktek kekerasan simbolik selalu diberlakukan di kehidupan masyarakat, terutama diruang lingkup keluarga. Terdapat istilah yang dikemukakan Bourdieu yaitu doxa, sejenis aturan yang mengandung politik kepentingan namun tidak disadari malah dianggap bukan sebuah bentuk penindasan. Teknik ini merupakan kekerasan yang terjadi setiap hari, terlihat biasa saja bagi mereka yang terdominasi, apalagi praktek ini dibalut dengan norma sosial dan agama. Seperti istilah dari “konco wingking” makna sebenarnya terdapat politik seksualitas dalam pembagian peran/tugas yang menempatkan peran domestik untuk perempuan/istri dan ini telah dinormalisasikan. Praktek yang dilakukan pasutri jawa ini dapat terus berjalan lancar tanpa ada perlawanan, dan menjadi sebuah kebenaran yang tidak perlu lagi dipertanyakan.
Seperti yang dialami oleh para perempuan sebagai istri, peran dan ketimpangan pembagian tugas ternyata sudah disetuji dan dipahami bahwa tugas yang dilakukan ini memang sepatutnya dilakukan. Anggapan tugas domestik adalah kewajiban alami sebagai istri, baginya meskipun lelah dengan pekerjaan publik, tugas domestik yang dibebankan padanya tidak bisa diubah lagi karena itu sudah garis seorang perempuan sebagai istri. Sahabat saya berkata. “ini sudah konsekuensi seorang istri, demi cinta, suami dan anak, mau bantah apa lagi, namanya juga sudah menikah, ya ikut suami, begitu kata orangtua dulu ". Meskipun sebagai seorang pekerja, sebagai istri kewajiban penuh mengurus domestik tetap terlaksana, karena mereka merasa sudah kewajiban yang semestinya "capek ya mau gimana lagi harus tetap dijalani saja”. Simbol “konco wingking” yang menyerap dalam kehidupan perempuan jawa inilah yang membuat mereka terus menerus melakukannya, tanpa adanya keinginan untuk merubah kondisi, karena baginya aturan tersebut adalah kodrat sehingga tidak ada negosiasi dengan aturan yang ada.
Kesadaran yang mereka miliki berasal dari Habitus ditanamkan sedari kecil. Kodrat seorang perempuan saat menikah tugasnya wajib bekerja domestik. Hal ini secara sadar disetujui dan dilakukan oleh setiap perempuan, mau tidak mau ini menjadi sebuah pilihan. Olehnya mereka memandang peran ganda, kelelahan yang dialami adalah wajar bukan hal yang asing, dan sudah sepatutnya terjadi.
Simbol Konco wingking yang diberikan bagi istri menjadi dasar posisi dan peran perempuan terdomestifikasi. Sebagai istri yang bekerja di publik, mereka tetap dibebankan sepenuhnya dalam mengurus rumah. Pola pembagian peran yang timpang bukan hal yang perlu ditentang. Dalam budaya Jawa, pihak berkuasa hanya mereka yang memiliki simbol maskulin/laki-laki konsep ini juga mendukung melancarkan aksi kekerasan simbolik antara suami terhadap istri.
Konsep pemikiran Bourdieu menunjukkan bentuk kekerasan yang tersembunyi dalam kehidupan manusia. Dalam suatu arena setiap orang akan selalu mempertaruhkan sesuatu, termasuk simbol yang dimiliki, oleh karena itu munculah kekerasan simbolik. Kekerasan ini dilakukan tanpa adanya kekangan fisik/melukai fisik, dengan lancarnya kekerasan terus dilakukan. Seperti pembagian peran dalam rumah tangga yang dialami perempuan yang telah menikah/istri. Pembagian kerja ini terlihat seperti suatu yang alamiah. Politik seksualitas dalam rumah tangga dilanggengkan dalam pembagian kerja menurut jenis kelamin, padahal tidak ada alasan biologis mengapa harus perempuan yang mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah. Gambaran pembagian kerja secara seksual terasa seolah-olah sudah kodrat, sehingga pembagian peran/kerja secara seksual terus terjadi seolah tanpa kekangan dan paksaan
Laki-laki sebagai agen dalam lokasi arena, sebagai suami mereka memiliki modal simbol. Mereka dikenal seorang yang maskulin, pemimpin keluarga, memiliki hak kuasa, mendapat peran dominan. Dengan modal yang mendukung, maka tindakan yang dilakukan dalam arena dapat terlaksana. Modal budaya misalnya, dari budaya Jawa yang setara dengan patriaki, dengan menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga memegang peranan penting dalam mengatur seluruh rumah tangga termasuk pembagian kerja.
Berbeda dengan istri yang memiliki simbol “konco wingking”, seseorang yang menjadi teman belakang. Dalam kondisi mendesak antara pekerjaan publik dan tanggung jawab penuh domestik, mau atau tidak mereka tetap melakukan apa yang dianggapnya benar, dalam lingkaran dominasi maskulin mereka terkurung dalam kekerasan yang dipatuhi dan tidak disadari. Mereka merasa lelah namun hanya menerima begitu saja.
Mengurus anak dan suami tercinta memang bukan hal yang buruk, tetapi setiap pekerjaan rumah tidak selamanya harus dibebankan pada salah satu pihak saja (kepada istri). Kontribusi keduanya harus bisa terlaksana, sebab dalam rumah tangga setiap suami dan istri tidak hanya sebagai pasangan hidup, tetapi juga harus menjadi partner menjalani hidup. Alangkah indahnya jika pembagian peran gender menjadi fleksibel. Tanggung jawab dalam peran domestik, pengasuhan dan pengambilan keputusan dapat dilakukan bersama. Bukankah dengan keseimbangan dapat membangun keharmonisan rumah tangga? beginilah definisi saling mencintai dan melengkapi?
sumber
Putranti, Basilica Dyah.2007. Kekerasan Simbolik Suami Terhadap Istri Dalam Perspektif Budaya Jawa. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vol.2, No.2
Musarrofa, Ita.2019. Pemikiran Pierre BourdieuTentang Dominasi Maskulin dan Sumbangannya Bagi Pengarustamaan Gender. Jurnal Kafa’ah. Vol.9 (1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H