Karena tidak terlihat seperti bentuk kekerasan, praktek kekerasan simbolik selalu diberlakukan di kehidupan masyarakat, terutama diruang lingkup keluarga. Terdapat istilah yang dikemukakan Bourdieu yaitu doxa, sejenis aturan yang mengandung politik kepentingan namun tidak disadari malah dianggap bukan sebuah bentuk penindasan. Teknik ini merupakan kekerasan yang terjadi setiap hari, terlihat biasa saja bagi mereka yang terdominasi, apalagi praktek ini dibalut dengan norma sosial dan agama. Seperti istilah dari “konco wingking” makna sebenarnya terdapat politik seksualitas dalam pembagian peran/tugas yang menempatkan peran domestik untuk perempuan/istri dan ini telah dinormalisasikan. Praktek yang dilakukan pasutri jawa ini dapat terus berjalan lancar tanpa ada perlawanan, dan menjadi sebuah kebenaran yang tidak perlu lagi dipertanyakan.
Seperti yang dialami oleh para perempuan sebagai istri, peran dan ketimpangan pembagian tugas ternyata sudah disetuji dan dipahami bahwa tugas yang dilakukan ini memang sepatutnya dilakukan. Anggapan tugas domestik adalah kewajiban alami sebagai istri, baginya meskipun lelah dengan pekerjaan publik, tugas domestik yang dibebankan padanya tidak bisa diubah lagi karena itu sudah garis seorang perempuan sebagai istri. Sahabat saya berkata. “ini sudah konsekuensi seorang istri, demi cinta, suami dan anak, mau bantah apa lagi, namanya juga sudah menikah, ya ikut suami, begitu kata orangtua dulu ". Meskipun sebagai seorang pekerja, sebagai istri kewajiban penuh mengurus domestik tetap terlaksana, karena mereka merasa sudah kewajiban yang semestinya "capek ya mau gimana lagi harus tetap dijalani saja”. Simbol “konco wingking” yang menyerap dalam kehidupan perempuan jawa inilah yang membuat mereka terus menerus melakukannya, tanpa adanya keinginan untuk merubah kondisi, karena baginya aturan tersebut adalah kodrat sehingga tidak ada negosiasi dengan aturan yang ada.
Kesadaran yang mereka miliki berasal dari Habitus ditanamkan sedari kecil. Kodrat seorang perempuan saat menikah tugasnya wajib bekerja domestik. Hal ini secara sadar disetujui dan dilakukan oleh setiap perempuan, mau tidak mau ini menjadi sebuah pilihan. Olehnya mereka memandang peran ganda, kelelahan yang dialami adalah wajar bukan hal yang asing, dan sudah sepatutnya terjadi.
Simbol Konco wingking yang diberikan bagi istri menjadi dasar posisi dan peran perempuan terdomestifikasi. Sebagai istri yang bekerja di publik, mereka tetap dibebankan sepenuhnya dalam mengurus rumah. Pola pembagian peran yang timpang bukan hal yang perlu ditentang. Dalam budaya Jawa, pihak berkuasa hanya mereka yang memiliki simbol maskulin/laki-laki konsep ini juga mendukung melancarkan aksi kekerasan simbolik antara suami terhadap istri.
Konsep pemikiran Bourdieu menunjukkan bentuk kekerasan yang tersembunyi dalam kehidupan manusia. Dalam suatu arena setiap orang akan selalu mempertaruhkan sesuatu, termasuk simbol yang dimiliki, oleh karena itu munculah kekerasan simbolik. Kekerasan ini dilakukan tanpa adanya kekangan fisik/melukai fisik, dengan lancarnya kekerasan terus dilakukan. Seperti pembagian peran dalam rumah tangga yang dialami perempuan yang telah menikah/istri. Pembagian kerja ini terlihat seperti suatu yang alamiah. Politik seksualitas dalam rumah tangga dilanggengkan dalam pembagian kerja menurut jenis kelamin, padahal tidak ada alasan biologis mengapa harus perempuan yang mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah. Gambaran pembagian kerja secara seksual terasa seolah-olah sudah kodrat, sehingga pembagian peran/kerja secara seksual terus terjadi seolah tanpa kekangan dan paksaan
Laki-laki sebagai agen dalam lokasi arena, sebagai suami mereka memiliki modal simbol. Mereka dikenal seorang yang maskulin, pemimpin keluarga, memiliki hak kuasa, mendapat peran dominan. Dengan modal yang mendukung, maka tindakan yang dilakukan dalam arena dapat terlaksana. Modal budaya misalnya, dari budaya Jawa yang setara dengan patriaki, dengan menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga memegang peranan penting dalam mengatur seluruh rumah tangga termasuk pembagian kerja.
Berbeda dengan istri yang memiliki simbol “konco wingking”, seseorang yang menjadi teman belakang. Dalam kondisi mendesak antara pekerjaan publik dan tanggung jawab penuh domestik, mau atau tidak mereka tetap melakukan apa yang dianggapnya benar, dalam lingkaran dominasi maskulin mereka terkurung dalam kekerasan yang dipatuhi dan tidak disadari. Mereka merasa lelah namun hanya menerima begitu saja.
Mengurus anak dan suami tercinta memang bukan hal yang buruk, tetapi setiap pekerjaan rumah tidak selamanya harus dibebankan pada salah satu pihak saja (kepada istri). Kontribusi keduanya harus bisa terlaksana, sebab dalam rumah tangga setiap suami dan istri tidak hanya sebagai pasangan hidup, tetapi juga harus menjadi partner menjalani hidup. Alangkah indahnya jika pembagian peran gender menjadi fleksibel. Tanggung jawab dalam peran domestik, pengasuhan dan pengambilan keputusan dapat dilakukan bersama. Bukankah dengan keseimbangan dapat membangun keharmonisan rumah tangga? beginilah definisi saling mencintai dan melengkapi?
sumber
Putranti, Basilica Dyah.2007. Kekerasan Simbolik Suami Terhadap Istri Dalam Perspektif Budaya Jawa. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vol.2, No.2
Musarrofa, Ita.2019. Pemikiran Pierre BourdieuTentang Dominasi Maskulin dan Sumbangannya Bagi Pengarustamaan Gender. Jurnal Kafa’ah. Vol.9 (1)