Mohon tunggu...
sandy lesmana
sandy lesmana Mohon Tunggu... -

je suis etudiant

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sakura

10 Agustus 2014   14:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:55 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua berawal di bulan Juni, bulan yang paling ku suka, tetapi juga ku benci. Aku memang tak pernah begitu memikirkan kondisi tubuhku ini. Sakitkah, lemahkah atau bahkan aku harus pingsan, tak pernah ku hiraukan. Semangatku sebagai seorang pemuda sedang berada dipuncaknya. Aku ingin mencoba semua hal yang menurutku baik, termaksud menjadi seorang aktivis-mahasiswa. Aktivis? Tak pernah terlintas di pikiranku untuk menjadi seorang aktivis kampus. Niatku hanya ingin membahagiakan orang tua yang begitu bangga ketika ada salah satu anaknya yang bisa meneruskan jenjang pendidikanya di Universitas Negeri di Indonesia. Jalan Allah memang tidak akan ada yang tahu, bahkan seorang cenayang atau paranormal sekalipun. Entah apa yang terjadi dalam diriku, semangat aktivis mengalir deras dalam jiwaku. Tak pernah ada rasa lelah dalam jiwa ini, bahkan aku lebih sering berkumpul dengan aktivis lainya di kampus dari pada berada di rumah untuk berkumpul dengan keluarga. Sempat orang tua melarang keras anaknya ini untuk jangan terlalu berlebihan di dunia organisasi, tapi seperti kata pepatah, semakin di larang---semakin menjadi. Akhirnya orang tuaku hanya bisa mendoakan apapun kegiatan yang di lakukan oleh anaknya dan selalu memantau kesehatan anaknya.

Ya, entah sudah ribuan atau bahkan jutaan kalinya ibu dan ayahku memperingatkanku mengenai pentingnya menjaga kesehatan. Pikiranku hanya sebatas sakit-minum obat warung dan selesai. Ternyata aku salah. Orang tuaku sepertinya sudah merasakan ada yang berbeda dengan keadaanku akhir-akhir ini, dengan tak pernah ku mencoba untuk mendengarkan apa nasihat mereka. Ketakutan mereka seakan menjadi sebuah kenyataan. Aku tak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan tubuh yang ku anggap sekuat baja. Aku sakit. Aku lemah dan aku tak bisa berbuat apa-apa.

Sukar benar ku percaya dan menerima ini. Di saat aku sedang membangun landasan untuk karirku selanjutnya menjadi seorang aktivis yang sebenarnya, di saat akhirnya aku akan bisa membanggakan kedua orang tuaku dengan ijasah S1 yang akan menjadi bukti kesungguhan ku untuk membahagiakan mereka, dan di saat semuanya seakan mudah untuk di jalani. Namun Allah ternyata memberikan sebuah peringatan kepada hidupku, membuat semuanya buram, semuanya kelam, dan hitam.

Pertama kalinya aku memberanikan diri untuk memeriksakan keadaan yang menurutku aneh. Sering rasanya aku mimisan ketika sedang beraktivitas. Sakit tak terkira yang ku rasakan ketika mungkin sakit ini kambuh. Berbagai rangkaian coba ku ikuti, baik tes darah,rontgenct scan dan banyak lagi. Ku ceritakan semua keluhanku pada dokter yang menanganiku. Dia hanya mendiagnosisku dengan penyakit umum semua orang, kecapean dan butuh istirahat. Baiklah, jika hanya kecapean aku bisa menanganinya.

Dua minggu aku menunggu hasil dari semua rangkaian yang aku jalani. Hingga suatu hari, dokter langsung menelponku dan memintaku untuk datang ke rumah sakit. Sempat ada rasa takut berkecamuk dalam pikiran ini. Ahh, semoga semuanya baik-baik saja. Aku kan sehat, sudah ku jalani pola hidup sehat dengan disiplin, sudah tidak ada celah lagi bagi penyakit untuk datang menghampiriku. Aku sehat. All is well.

Ingat sekali dipikiranku raut wajah sang dokter yang berbeda dengan sebelumnya. Terkejut ketika aku masuk ke ruanganya dengan begitu semangat dan bergembira. Perlahan dokter menjelaskan penjelasan yang aku tak mengerti itu apa. Sialan! buang-buang waktu saja. Katakan saja jika aku sehat atau sakit. Jika sakit, apa yang harus aku lakukan?. Minum obatkah atau istirahat yang cukup. Akan tetapi aku merasakan ada sesuatu yang begitu penting daripada hanya minum obat atau sekedar istirahat. Perlahan Dokter memberikan sebuah kertas hasil laboratorium dan memintaku untuk membaca hasilnya sendiri. Kalimat terakhir yang terucap dari mulutnya adalah, “Sabar ya dik, berdoalah”.

Perlahan kubuka dan kubaca dengan seksama. Aku tak begitu mengerti, banyak sekali tulisan di kertas itu. Namun akhirnya aku menemukan kata “Hasil Lab” di bagian kiri bawah. Wajahku seketika beku menatap kata yang aku mengerti benar apa artinya. Kepala ini seakan dihantam begitu kerasnya membuat tubuh ini seakan tak bisa menyeimbangkannya lagi. Kaki dan tangan ini kaku-gemetar. Aku tak percaya dengan apa yang tertulis di kertas itu. Tubuh yang ku anggap begitu kuat menopang berat ini, yang selalu menjadi kebanggaan di depan teman-temanku, dan selalu menjadi impian untuk semua orang kurus di dunia ini, ternyata mengidap penyakit separah itu. Ya Allah, cobaan apa yang kau berikan kepada hambaMu ini. Aku terkena “Leukimia Stadium II”. Seketika aku memaki dokter dan berharap jika hasil ini salah. Tidak mungkin aku mengidap penyakit Kanker Darah. Aku sehat, aku tidak selemah itu!

Otak ku sudah tidak bisa digunakan lagi dengan semestinya. Neuron-neuron di pikiranku sudah saling bertabrakan dan saling menghancurkan. Aku bingung. Aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Wajah kedua orang tua dan keluargaku muncul. Aku tak mungkin memberi tahu mereka tentang keadaanku yang sebenarnya, terutama Ibu dan Ayahku. Mereka sangat mengharapkan agar aku bisa menyelesaikan masa kuliah ku di tahun ini dan bisa merasakan kesuksesan anak kesayanganya sebelum maut menjemput mereka. Seketika muncul klise indah dimana aku dan keluarga besarku tersenyum indah penuh dengan cita di acara wisuda kelulusanku. Toga yang ku idam-idamkan terpasang rapih di tubuh ini. Tak terbendung air mata Ibu dan Ayah yang akhirnya bisa melihat anaknya lulus dan wisuda. Namun klise itu pun terbakar habis, membakar semua mimpi itu. Bergantikan dengan aku yang hanya terbaring lemas di atas kasur dengan peralatan medis lengkap yang menjadi teman setiaku. Semua klise itu membuat kantung air mataku terkuras habis membasahai pipi hingga ke bajuku.

Astagfirullah. Cobaan apa ini? Bagimana dengan skripsiku? Amanahku di kampus? Tak mungkin aku meninggalkannya. Lalu, bagaimana cara menceritakan keadaanku yang sebenarnya kepada keluarga dan rekan-rekan kerjaku? Aku bingung, aku putus asa. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan Ibuku di kampung ketika tau anaknya mengidap penyakit yang sampai saat ini belum ada obatnya. Di sisi lain, teman-temanku tak akan percaya dengan kondisi yang aku alami. Aku hanya akan di anggap sebagai pencari sensasi belaka. Sakit? Bohong, aku tidak sakit!

Aku diam membisu di kamarku. Aku takut. Aku sangat takut. Gerbang kematian datang menghampiriku begitu cepat, entahlah secepat apa. Apakah mati itu sakit?. Semenderita apakah kematian itu? Teringat cerita seorang sahabat kepadaku tentang kisah kematian kekasih Allah, manusia yang di jauhkan dari kesalahan dan sudah pasti akan menempati janah-Nya Allah swt, Nabi Muhammad saw. Ketika Sang Nabi berada di penghujung hidupnya dan malaikat pencabut nyawa mulai mencabut roh sang kekasih Allah dari raganya. Tampak mengisyaratkan kesakitan yang luar biasa. Semakin memuncak ketakutanku akan kematian itu. Kekasih Allah yang begitu dicintainya masih merasakan betapa pedih dan tersiksanya kematian itu, bagaimana dengan aku? Siapa aku? Tak terhitung dosa-dosa yang ku lakukan selama ini. Bahkan bintang malam yang indah dan bertaburan di langit Jakarta takan bisa menandingi jumlah dosa-dosa yang ku lakukan selama ini. Bodoh!. Tolol!. Kenapa baru sekarang aku sadari akan dosa-dosaku!. Kenapa ketika aku sakit dan ajal mulai mendekatiku, baru ku sadari dosa-dosaku selama ini. Dimana sehatku?, dimana waktu-waktu sehatku?

Inikah yang namanya kualat? Aku kualat akan dosa-dosaku. Allah menunjukkan kekuasaan-Nya dengan begitu adil. Terlambatkah diriku yang hina ini untuk bisa bertaubat? Tidak!! Aku tahu dan yakin, Allah akan mengampuni sebanyak apapun dosa hambanya jika kita bersungguh-sungguh bertaubat mengharap ridho dari Nya. Rasanya aku begitu hina di hadapan-Mu, ya Allah. Melakukan semua yang Engkau larang dan sekarang aku memohon untuk minta diampuni. Apa yang sudah ku perbuat untuk-Mu dan agama-Mu. Aku akan lakukan apapun untuk bisa menebus semua dosa-dosaku. Asalkan aku bisa sembuh dan melihat senyum Ibuku tercinta. Ibu yang sudah begitu renta yang mungkin hanya bertahan disisa umurnya untuk bisa melihat anak laki-lakinya ini wisuda dan sukses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun