Mohon tunggu...
shandra ziva
shandra ziva Mohon Tunggu... Lainnya - Hallo saya dari mahasiswa Manajemen S1 STIE STEMBI BANDUNG.

https://instagram.com/shandraziva?igshid=1deiev78m4bva

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bab II Tinjauan Pustaka

18 Februari 2024   13:36 Diperbarui: 18 Februari 2024   13:45 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah Penulis (2024)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1Kajian Pustaka

2.1.1Konflik Kerja
1.Pengertian Konflik Kerja
Konflik kerja merupakan ketidakcocokan antarindividu atau kelompok dalam suatu organisasi yang melibatkan perbedaan tujuan, nilai, minat, atau persepsi. Konflik di tempat kerja, yang bersifat resmi atau informal, didefinisikan sebagai permusuhan, perselisihan, dan ketidakcocokan antara dua individu atau kelompok dalam suatu organisasi (Riadi, 2020). Konflik muncul ketika dua pihak atau lebih meyakini adanya situasi yang bertentangan dengan tujuan, atau ketika beberapa pihak menghalangi pencapaian tujuan pihak lain (Widyaningrum, 2019, p. 72).  
Konflik merupakan ketegangan atau pertentangan antara harapan seseorang terhadap dirinya sendiri, orang lain, atau organisasi dengan realitas yang sebenarnya. Dalam konteks organisasi yang besar, konflik tidak dapat dihindari. Konflik dapat memberikan kesempatan bagi organisasi untuk tumbuh dan berkembang, namun juga dapat menyebabkan kerugian yang serius hingga kegagalan perusahaan. Konflik akan terus ada selama setiap pihak mencari kebenaran masing-masing, oleh karena itu diperlukan penyelesaian yang menguntungkan kedua belah pihak (Minarsih, n.d.).
Konflik merupakan bagian yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan organisasi karena adanya perbedaan tujuan antara pemangku kepentingan, baik itu antara manajer dan karyawan, maupun antara karyawan dengan karyawan lain yang seringkali tidak sejalan. Menurut Hasibuan (2003), konflik dapat didefinisikan sebagai persaingan yang tidak sehat yang didasarkan pada ambisi dan sikap emosional dalam mencapai kemenangan. Konflik dalam organisasi melibatkan konflik antarpribadi dengan rekan kerja atau atasan, atau konflik antarkelompok di berbagai bagian organisasi.
Penanganan konflik yang tidak tepat dan tidak bijaksana dalam kalangan karyawan dapat berdampak pada atmosfer kerja. Dampak tersebut tidak hanya berhenti pada situasi tersebut, tetapi juga dapat menjadi beban bagi karyawan itu sendiri. Kemampuan karyawan dalam menghadapi konflik dan tekanan tentu berbeda-beda. Oleh karena itu, penanganan konflik yang melibatkan karyawan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan bijaksana, terutama bagi karyawan yang memiliki tingkat ketahanan rendah terhadap masalah dan tekanan. Hal ini dilakukan untuk mencegah gangguan terhadap sistem kerja, atmosfer kerja, dan terutama kinerja karyawan itu sendiri (Minarsih, n.d.).
2.Jenis-jenis Konflik Kerja
Konteks konflik kerja, terdapat dua jenis konflik utama. Pertama, konflik substantif melibatkan perselisihan antara individu dan kelompok, di mana masing-masing memiliki pendapat dan tujuan yang berbeda. Misalnya, konflik antara bagian keuangan dan bagian penjualan dalam perusahaan. Kedua, konflik emosional adalah konflik internal individu yang melibatkan perasaan negatif seperti kemarahan, ketidakpercayaan, atau ketidaknyamanan terhadap orang lain atau situasi di tempat kerja. Penyelesaian konflik ini membutuhkan dialog, kolaborasi, dan pemahaman yang mendalam antara pihak-pihak terlibat (Minarsih, n.d.).
3.Faktor-faktor Konflik Kerja
Konflik kerja dapat timbul akibat beberapa faktor yang saling berinteraksi. Pertama, perbedaan tujuan dan kepentingan antara individu atau kelompok dapat menyebabkan konflik. Ketidakcocokan dalam preferensi, nilai-nilai, atau orientasi kerja dapat memperburuk situasi. Kedua, komunikasi yang buruk dapat menjadi sumber konflik. Jika ada ketidakjelasan, ketidakmampuan untuk mendengarkan dengan baik, atau kesulitan dalam menyampaikan pesan dengan jelas, konflik antarindividu atau kelompok dapat terjadi. Ketiga, perbedaan pendapat dan nilai-nilai mengenai cara kerja, prosedur, atau keputusan dalam situasi tertentu dapat memicu konflik. Selain itu, ketidakcocokan dalam nilai-nilai dan prinsip juga dapat memperburuk situasi. Keempat, ketika sumber daya seperti anggaran, waktu, atau fasilitas terbatas, persaingan untuk mendapatkan akses ke sumber daya tersebut dapat memicu konflik. Kelima, perbedaan gaya kerja, kepribadian, atau preferensi pribadi dapat menyebabkan ketidakcocokan interpersonal yang berujung pada konflik. Keenam, struktur organisasi yang tidak efektif, seperti ambiguitas dalam tugas dan peran, atau kepemimpinan yang tidak efektif, dapat menciptakan ketidakpastian dan konflik di tempat kerja. Ketujuh, ketika karyawan atau kelompok-kelompok diorganisasikan dalam sistem yang kompetitif, persaingan yang tinggi dapat memicu konflik. Delapan, ketidakadilan dalam distribusi sumber daya atau perlakuan yang tidak adil dapat menciptakan ketegangan dan konflik di tempat kerja. Kesembilan, perubahan organisasi seperti restrukturisasi, penggabungan, atau perubahan kebijakan dapat menyebabkan ketidakpastian dan konflik di kalangan karyawan. Terakhir, tingkat ketidakpuasan kerja yang tinggi atau kurangnya kepuasan terhadap kondisi kerja juga dapat menjadi pemicu konflik di antara karyawan. Oleh karena itu, untuk menganalisis konflik kerja, penting untuk memahami konteks dan dinamika organisasi secara keseluruhan agar faktor-faktor ini dapat ditangani secara efektif (Media, 2023).
4.Indikator Konflik Kerja
Indikator konflik kerja mencakup ketegangan interpersonal, komunikasi yang buruk, ketidaksepakatan dalam pengambilan keputusan, penurunan produktivitas, tingkat absensi dan turnover yang tinggi, gangguan hubungan sosial, ketidakpuasan kerja, tingkat stres yang tinggi, ketidaknyamanan dan ketegangan di lingkungan kerja, serta kurangnya kolaborasi dan timbal balik. Mengenali indikator-indikator ini memungkinkan manajer atau pemimpin organisasi untuk mendeteksi dan mengatasi konflik kerja sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif (Putra & Yanti, 2023).

2.1.2Kinerja Karyawan
Kinerja karyawan merujuk pada sejauh mana seorang karyawan dapat mencapai hasil yang diharapkan atau memenuhi standar yang ditetapkan dalam konteks pekerjaan mereka (Rahman & Lataruva, 2023). Kinerja karyawan dapat diukur berdasarkan berbagai faktor, seperti produktivitas, kualitas kerja, kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur, kreativitas, inisiatif, kehadiran, dan kontribusi terhadap tujuan organisasi. Karyawan yang memiliki kinerja yang baik cenderung memberikan hasil yang lebih baik, berkontribusi pada pencapaian tujuan organisasi, dan dapat memberikan dampak positif pada keberhasilan perusahaan.
Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang karyawan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan. Menurut Mangkunegara, yang dikutip oleh  Silaswara et al (2021), kinerja mencakup hasil karya seseorang dalam hal kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan tugasnya. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara, yang dikutip oleh Budiyanto & Wikan (2020), kinerja merujuk pada tingkat kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan. Rivai, yang dikutip oleh Silaswara et al. (2021), menyatakan bahwa kinerja melibatkan sikap pegawai dan prestasi yang sesuai dengan hasil kerjanya di dalam perusahaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kinerja melibatkan hasil yang diperoleh oleh karyawan atau pegawai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan.
1.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan
Menurut Sedarmayanti dalam (Hidayat, 2018) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan memiliki peran penting dalam menentukan sejauh mana karyawan dapat mencapai hasil yang optimal di lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang kondusif, seperti kebersihan, keamanan, dan kenyamanan fisik, menciptakan suasana yang positif dan meningkatkan fokus serta konsentrasi karyawan. Kepemimpinan yang efektif, melalui gaya kepemimpinan yang inspirasional dan memberikan dukungan, memotivasi karyawan untuk bekerja dengan baik. Komunikasi yang baik memastikan pemahaman yang jelas mengenai tugas dan harapan, dan memfasilitasi kolaborasi yang efektif. Pelatihan dan pengembangan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk meningkatkan keterampilan mereka. Pengakuan dan penghargaan atas prestasi karyawan, serta sistem penghargaan dan insentif yang adil, meningkatkan motivasi mereka. Keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi, klaritas tugas, kerja tim yang efektif, dan faktor pribadi seperti motivasi intrinsik dan keterampilan juga berdampak pada kinerja karyawan. Dengan memperhatikan faktor-faktor ini, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang mendukung dan memaksimalkan kinerja karyawan
2.Indikator Kinerja Karyawan
Anwar Prabu Mangkunegara, yang dikutip oleh Budiyanto & Wikan (2020), menyebutkan lima indikator kinerja karyawan sebagai berikut:
1)Kualitas kerja: Merujuk pada tingkat keunggulan dan kesesuaian hasil kerja karyawan dengan standar yang ditetapkan.
2)Kuantitas kerja: Merujuk pada tingkat produktivitas atau jumlah hasil kerja yang berhasil dicapai oleh karyawan.
3)Tanggung jawab: Merujuk pada kesadaran karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan.
4)Kerja sama: Merujuk pada kemampuan karyawan untuk bekerja dengan baik dalam tim atau dengan rekan kerja lainnya.
5)Inisiatif: Merujuk pada kemampuan karyawan untuk mengambil tindakan proaktif, menunjukkan kreativitas, dan memberikan kontribusi tambahan di luar tugas yang diberikan.
Sementara itu, Setiawan, yang dikutip oleh Ronal & Hotlin (2019), menyebutkanlima indikator kinerja karyawan yang berbeda:
1)Waktu penyelesaian pekerjaan: Merujuk pada kemampuan karyawan untuk menyelesaikan tugas dalam waktu yang ditentukan.
2)Jam kerja: Merujuk pada kepatuhan karyawan terhadap jam kerja yang ditentukan oleh perusahaan.
3)Kehadiran: Merujuk pada tingkat kehadiran karyawan secara konsisten dan sesuai dengan jadwal kerja yang ditetapkan.
4)Kedisiplinan: Merujuk pada tingkat kepatuhan karyawan terhadap aturan dan prosedur yang berlaku di perusahaan.
5)Prestasi: Merujuk pada pencapaian dan hasil kerja yang dihasilkan oleh karyawan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Dalam rangka memahami kinerja karyawan secara komprehensif, kedua set indikator tersebut dapat memberikan pandangan yang beragam dan melengkapi satu sama lain.

2.1.3Hubungan antara Konflik Kerja dan Kinerja Karyawan
Penelitian sebelumnya, termasuk yang dilakukan oleh (Liu et al., 2020) menunjukkan bahwa konflik kerja mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Ketika sumber daya utama diabaikan, orang akan kehilangan sumber daya sekunder, sehingga menurunkan kinerja karyawan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konflik kerja dapat menurunkan kinerja karyawan. Oleh karena itu, penting untuk memahami hubungan antara konflik kerja  dan  kinerja karyawan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Denny (2010) menemukan bahwa konflik memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Jika tidak ada konflik kerja yang terjadi dalam lingkungan kerja, maka kinerja karyawan dapat meningkat. Sebaliknya, jika konflik kerja sering terjadi dalam lingkungan kerja, maka kinerja karyawan dapat menurun.

2.1.4Manajemen Kerja
Manajemen kinerja merujuk pada upaya untuk membangun hubungan dan komunikasi yang efektif dalam sebuah organisasi. Konsep ini melibatkan kebutuhan organisasi, pimpinan, dan karyawan. Istilah "kinerja" seringkali digunakan secara bergantian dengan istilah lain yang memiliki arti yang mirip, seperti prestasi kerja, performa, produktivitas, kompetensi, usaha, kinerja kerja, inisiatif, loyalitas, potensi kepemimpinan, dan moral kerja. Meskipun istilah "kinerja" sering digunakan dalam konteks saat ini, belum ada definisi yang diterima secara umum. Dalam beberapa organisasi, istilah tersebut dianggap sebagai sinonim untuk manajemen berbasis tujuan. Di organisasi lain, manajemen kinerja hanya terkait dengan evaluasi individu. Sedangkan organisasi lain mengaitkannya dengan acara tahunan yang melibatkan pelatihan dan pengembangan, atau sebagai proses yang terkait dengan pembayaran/pengupahan berdasarkan kinerja. Namun, definisi-definisi tersebut terlalu sempit. Berikut adalah beberapa pendapat tentang definisi kinerja (Fauzi & A, 2020).
Manajemen kerja adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian sumber daya manusia serta kegiatan operasional untuk mencapai tujuan organisasi dengan efektif dan efisien. Manajemen kerja melibatkan berbagai aspek, termasuk perencanaan strategis, penentuan tujuan, alokasi sumber daya, pengelolaan tim, pengawasan, evaluasi kinerja, dan pengambilan keputusan. Tujuan utama manajemen kerja adalah meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kualitas kerja dalam organisasi. Manajer kerja bertanggung jawab untuk mengatur dan mengkoordinasikan tugas-tugas, memastikan bahwa sumber daya digunakan secara optimal, memotivasi dan mengarahkan karyawan, serta memastikan pencapaian tujuan organisasi.
Manajemen kerja melibatkan beberapa fungsi penting, antara lain:
1)Perencanaan: Menetapkan tujuan, mengembangkan strategi, dan merencanakan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
2)Pengorganisasian: Mengalokasikan tugas dan tanggung jawab kepada anggota tim, membentuk struktur organisasi yang efisien, dan membangun hubungan kerja yang baik.
3)Pengarahan: Memberikan arahan, membimbing, dan memotivasi karyawan agar mencapai kinerja yang optimal. Ini melibatkan komunikasi yang efektif, pembinaan, dan pengembangan keterampilan.
4)Pengendalian: Memantau kinerja karyawan, mengevaluasi pencapaian tujuan, dan membuat perbaikan jika diperlukan. Pengendalian melibatkan pengukuran, analisis, dan penyesuaian untuk memastikan bahwa tujuan organisasi tercapai.
Manajemen kerja juga melibatkan pemecahan masalah, pengelolaan konflik, delegasi tugas, negosiasi, dan pengambilan keputusan yang efektif. Dalam era modern, manajemen kerja juga dapat melibatkan penerapan teknologi dan sistem informasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional. Manajemen kerja yang baik dapat menciptakan lingkungan kerja yang harmonis, memotivasi karyawan, meningkatkan produktivitas, dan mencapai keberhasilan organisasi secara keseluruhan

2.1.5Yayasan Sosial
Yayasan sosial adalah suatu badan hukum yang didirikan oleh sekelompok orang atau badan hukum lainnya dengan tujuan untuk melakukan kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, kemasyarakatan, lingkungan, atau bidang lainnya (Jabar, 2023). Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page dalam   (Sosiologi Untuk Universitas / Yesmil Anwar , Adang | Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, n.d.), lembaga sosial dapat diartikan sebagai tata cara atau prosedur yang diciptakan untuk mengatur hubungan antara individu yang tergabung dalam suatu kelompok masyarakat yang disebut sebagai asosiasi.
Alvin L. Bertrand, seperti yang dikutip oleh Dewi Wulan Sari (2009: 92), menjelaskan bahwa institusi sosial pada dasarnya adalah himpunan norma-norma sosial (struktur-struktur sosial) yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi masyarakat. Institusi-institusi ini mencakup kumpulan norma-norma dan bukan norma-norma yang berdiri sendiri. Paul B. Harton dan Chester L. Hunt, dalam karya yang sama (Dewi Wulan Sari, 2009: 93), menyatakan bahwa konsep lembaga yang digunakan dalam sosiologi berbeda dengan konsep umum yang lain. Sebuah lembaga bukanlah sebuah bangunan, bukan pula sekelompok orang, atau sebuah organisasi. Lembaga (institusi) merupakan sistem norma yang digunakan untuk mencapai tujuan atau kegiatan yang dianggap penting oleh masyarakat. Secara formal, lembaga adalah kumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkaitan dengan kegiatan pokok manusia.

2.2Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian sebelumnya telah menginvestigasi pengaruh konflik kerja terhadap kinerja karyawan. Adapun penelitian terdahulu mengenai konflik terhadap kinerja karyawan yang dilakukan oleh (Wenur et al., 2018) berdasarkan temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variable Konflik secara langsung positif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tinggi rendahnya Kinerja pada Bank BNI 46 Cabang Manado. Hasil penelitian Gabreila Wenur1 juga di dukung penelitian (Liu et al., 2020) mengemukakan bahwa konflik berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Meskipun penelitian (Silaban, 2012) menunjukkan bahwa konflik dilihat dari sumber perselisihan, yaitu komunikasi, tidak ada hubungannya dengan kinerja pekerja, pandangan lain (Mardiyanti, 2019) menyimpulkan bahwa berpengaruh negatf terhadap konflik yang dilihat dari sumber konflik yaitu komunikasi terhadap kinerja karyawan.

2.3Kerangka Pemikiran

Gambar 2. 1 Kerangka Pemikiran

Konflik kerja X dapat mempengaruhi kinerja karyawan Y melalui stres, ketegangan emosional, gangguan hubungan kerja, dan rendahnya kepuasan kerja. Konflik yang tidak dielola dengan baik dapat menghambat produktivitas, kualitas kerja, dan kontribusi karyawan terhadap organisasi. Namun, konflik yang sehat dan dielola dengan baik dapat mendorong inovasi, pemecahan masalah, dan pertumbuhan pribadi karyawan. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk memahami peran konflik kerja dan mengembangkan strategi pengelolaan yang efektif untuk meminimalkan dampak negatif dan memanfaatkan potensi positif konflik kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun