Pada awal pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, pemerintah mencanangkan mega proyek 35.000 MW untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi nasional di seluruh Indonesia. Dijuluki sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, pemerintah Indonesia memiliki ambisi untuk mengembangkan infrastruktur nasional untuk meningkatkan investasi yang akan menghasilkan pemerataan energi di seluruh nusantara; yang sebelumnya terpusat di Jawa. Sepintas, dalam skala mikro, saya berasumsi bahwa proyek ini akan sangat meningkatkan kehidupan saudara-saudara kita di pedesaan dan daerah terpencil yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki akses energi. Saya membayangkan kelompok anak-anak di Papua tidak akan lagi kesulitan belajar di malam hari dan ibu-ibu kita yang menghangatkan hati di Indonesia bagian timur bisa memanfaatkan melimpahnya energi matahari untuk kebutuhan sehari-hari. Yah, setidaknya itulah yang saya harapkan.
Namun pada kenyataan yang terjadi, keadilan energi yang saya bayangkan tidak sesederhana itu. Energi fosil masih menjadi tulang punggung sumber energi nasional. 'Kecanduan' Indonesia pada energi kotor ini sangat ironis mengingat Indonesia terletak tepat diatas garis khatulistiwa dan menerima sinar matahari secara konstan sepanjang tahun yang tentunya dapat dimanfaatkan sebagai energi surya. Berdasarkan data Bank Dunia pada tahun 2017, Indonesia menerima intensitas penyinaran matahari antara 3,6 – 6 kWh/m2/hari, setara dengan output daya tahunan sebesar 1.170 – 1.530 kWh/kWp. Dalam skala besar, letak geografis Indonesia yang berada tepat di atas ring of fire memberi kita keistimewaan cadangan energi panas bumi dengan potensi 23,7 GW – terbesar kedua di dunia. Dengan potensi energi terbarukan yang begitu melimpah, patut dipertanyakan mengapa Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) masih menjadikan energi fosil sebagai primadona. Batubara masih mendominasi bauran energi nasional sebesar 35,5%, disusul minyak bumi sebesar 28,8%. Pemerintah menargetkan bauran energi dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Namun pada kenyataannya, pemanfaatan EBT nasional sampai saat ini masih sebesar 11% – jauh dari target 23% untuk tahun ini. 3 tahun ke depan.
Penggunaan energi fosil selalu dianggap efisien. Namun, ketergantungan pada sumber energi ini secara masif meninggalkan banyak konsekuensi material dan non-material. Indonesia sangat rentan terhadap krisis energi karena ketergantungannya pada energi tak terbarukan, dengan batubara masih menjadi sumber energi yang dominan, risiko krisis energi meningkat ketika terjadi kekurangan pasokan nasional. Dampak dari ketergantungan terhadap energi fosil paling dirasakan oleh seluruh golongan masyarakat. Namun kelompok masyarakat rentan menjadi kelompok yang paling menderita. Ini adalah harga yang harus kita bayar sebagai konsekuensi ketergantungan pada energi yang dianggap'murah' ini.
Siapa Kelompok Rentan di Masyarakat?
Ketergantungan pada energi fosil meninggalkan beban lebih berat bagi mereka yang tidak punya banyak pilihan. Contohnya ialah masyarakat yang dipaksa bertahan hidup ditengah pencemaran lingkungan akibat polusi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dampak kesehatan dari polusi energi fosil serta akses kesehatan yang terbatas dan tidak merata membuat mereka lebih sulit untuk mendapatkan perawatan medis yang memadai. Diantara dari mereka bahkan kehilangan pendapatan sebagai akibat dari eksploitasi energi fosil. Petani yang gagal panen akibat krisis iklim, nelayan yang lautnya tercemar limbah pembangkit listrik, atau pedagang kecil yang kiosnya tertutup abu sisa pembakaran batu bara. Beberapa dari mereka menjajaki alternatif pendapatan lain untuk bertahan hidup, namun tentunya pendapatan baru yang mereka peroleh tidak bisa dibandingkan dengan kerugian yang mereka derita. Kelompok lain yang menjadi korban dari ketergantungan pada energi fosil adalah perempuan. Dalam masyarakat patriarkis, perempuan tidak memiliki banyak kendali atas pilihan yang dibuat untuk diri sendiri apalagi untuk urusan publik. Perempuan sangat rentan menjadi korban dari implikasi industri ekstraksi seperti perdagangan manusia hingga kekerasan seksual.
Sejarah Ketergantungan Energi Fosil di Indonesia
Batubara sebagai sumber energi dinilai paling murah dan efisien. Penggunaan batubara sebagai sumber energi primer di Indonesia dimulai pada abad ke-19 di Kalimantan. Penambangan batubara modern pertama kali diperkenalkan di era kolonial oleh perusahaan Belanda bernama Oost-Borneo Maatschappij di tepi sungai Mahakam. Seiring berjalannya waktu penambangan batubara mulai marak di berbagai titik i di pulau Kalimantan dan Sumatera. Perut bumi terus digali untuk menambang “emas hitam” ini sebelum disalurkan ke berbagai pembangkit listrik baik dalam maupun luar negeri. Batubara semakin menjadi penopang energi nasional dalam kebijakan energi Indonesia di masa orde baru. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa Indonesia memiliki cadangan batubara yang melimpah dibanding dengan cadangan global. Sampai hari ini, batubara adalah penyumbang terbesar di sektor pertambangan yaitu mencapai 85% dari 42,3 triliun Rupiah pada September 2021. Industri ini kian"seksi" bagi pemegang konsesi dan pemain bisnis pertambangan. Karpet merah terus diberikan bagi para pemegang Izin Usaha Pertambangan karena Batubara harus memenuhi kebutuhan PLTU dengan total kapasitas keseluruhan mencapai 34.856 MW pada tahun 2021.
Selain batubara, Indonesia juga sangat bergantung pada minyak bumi. Minyak bumi menyumbang devisa negara sebesar 1770 miliar rupiah pada era Oil boom tahun 1970-an. Pada tahun 1974 harga minyak meningkat drastis sebesar 481% dibanding tahun 1960-an. Inilah masa keemasan minyak bumi Indonesia yang memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional dan pembangunan besar-besaran pada saat itu. Ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi kian meningkat bahkan setelah keluar dari OPEC pada 2009. Saat ini, kebutuhan BBM nasional mencapai 1,4 juta barel per hari dan diprediksi akan terus meningkat hingga 1,8 juta barel/hari pada 2030. Dengan kapasitas produksi BBM nasional hanya 800 ribu barel/hari, Indonesia harus terus mengimpor defisitnya.