Mohon tunggu...
Shanaz Makrufa Pratomo
Shanaz Makrufa Pratomo Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan sebagai opini pribadi dan tidak mewakili organisasi manapun.

Sarajana Ilmu Politik Universitas Indonesia, Policy Analyst DPR RI Komisi VII hingga tahun 2019. Saat ini bekerja untuk NGO berbasis lingkungan hidup di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kecanduan Indonesia pada Energi Fosil Kian "Mencekik" Masyarakat Rentan

25 Januari 2022   11:58 Diperbarui: 25 Januari 2022   13:30 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada awal pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, pemerintah mencanangkan mega proyek 35.000 MW untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi nasional di seluruh Indonesia. Dijuluki sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, pemerintah Indonesia memiliki ambisi untuk mengembangkan infrastruktur nasional untuk meningkatkan investasi yang akan menghasilkan pemerataan energi di seluruh nusantara; yang sebelumnya terpusat di Jawa. Sepintas, dalam skala mikro, saya berasumsi bahwa proyek ini akan sangat meningkatkan kehidupan saudara-saudara kita di pedesaan dan daerah terpencil yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki akses energi. Saya membayangkan kelompok anak-anak di Papua tidak akan lagi kesulitan belajar di malam hari dan ibu-ibu kita yang menghangatkan hati di Indonesia bagian timur bisa memanfaatkan melimpahnya energi matahari untuk kebutuhan sehari-hari. Yah, setidaknya itulah yang saya harapkan.

 

Namun pada kenyataan yang terjadi,  keadilan energi yang saya bayangkan tidak sesederhana itu. Energi fosil masih menjadi tulang punggung sumber energi nasional. 'Kecanduan' Indonesia pada energi kotor ini sangat ironis mengingat Indonesia terletak tepat diatas garis khatulistiwa dan menerima sinar matahari secara konstan sepanjang tahun yang tentunya dapat dimanfaatkan sebagai energi surya. Berdasarkan data Bank Dunia pada tahun 2017, Indonesia menerima intensitas penyinaran matahari antara 3,6 – 6 kWh/m2/hari, setara dengan output daya tahunan sebesar 1.170 – 1.530 kWh/kWp. Dalam skala besar, letak geografis Indonesia yang berada tepat di atas ring of fire memberi kita keistimewaan cadangan energi panas bumi dengan potensi 23,7 GW – terbesar kedua di dunia. Dengan potensi energi terbarukan yang begitu melimpah, patut dipertanyakan mengapa Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) masih menjadikan energi fosil sebagai primadona. Batubara masih mendominasi bauran energi nasional sebesar 35,5%, disusul minyak bumi sebesar 28,8%. Pemerintah menargetkan bauran energi  dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Namun pada kenyataannya, pemanfaatan EBT nasional sampai saat ini masih sebesar 11% – jauh dari target 23% untuk tahun ini. 3 tahun ke depan.

 

Penggunaan energi fosil selalu dianggap efisien. Namun, ketergantungan pada sumber energi ini secara masif meninggalkan banyak konsekuensi material dan non-material. Indonesia sangat rentan terhadap krisis energi karena ketergantungannya pada energi tak terbarukan, dengan batubara masih menjadi sumber energi yang dominan, risiko krisis energi  meningkat ketika terjadi kekurangan pasokan nasional. Dampak dari ketergantungan terhadap energi fosil paling dirasakan oleh seluruh golongan masyarakat. Namun kelompok masyarakat rentan menjadi kelompok yang paling menderita.   Ini adalah harga yang harus kita bayar sebagai konsekuensi ketergantungan pada energi  yang dianggap'murah' ini.

Siapa Kelompok Rentan di Masyarakat?

Ketergantungan pada energi fosil meninggalkan beban lebih berat bagi mereka yang tidak punya banyak pilihan.   Contohnya ialah masyarakat yang dipaksa  bertahan hidup ditengah pencemaran lingkungan  akibat polusi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dampak kesehatan dari polusi energi fosil serta akses kesehatan yang terbatas dan tidak merata membuat mereka lebih sulit untuk mendapatkan perawatan medis yang memadai. Diantara dari mereka  bahkan kehilangan pendapatan sebagai akibat dari eksploitasi energi fosil. Petani yang gagal panen akibat krisis iklim, nelayan yang lautnya tercemar limbah pembangkit listrik, atau pedagang kecil yang kiosnya tertutup abu sisa pembakaran batu bara. Beberapa dari mereka menjajaki alternatif pendapatan lain untuk bertahan hidup, namun tentunya pendapatan baru yang mereka peroleh tidak bisa dibandingkan dengan kerugian yang mereka derita. Kelompok lain yang menjadi korban dari ketergantungan  pada energi fosil adalah perempuan. Dalam masyarakat patriarkis, perempuan tidak memiliki banyak kendali atas pilihan yang dibuat untuk diri sendiri apalagi untuk urusan publik. Perempuan sangat rentan menjadi korban dari implikasi industri ekstraksi seperti perdagangan manusia hingga kekerasan seksual.

Sejarah Ketergantungan Energi Fosil di Indonesia

Batubara sebagai sumber energi dinilai paling murah dan efisien. Penggunaan batubara sebagai sumber energi primer di Indonesia dimulai pada abad ke-19 di Kalimantan.  Penambangan batubara modern pertama kali diperkenalkan di era kolonial oleh perusahaan Belanda bernama Oost-Borneo Maatschappij di tepi sungai Mahakam. Seiring berjalannya waktu penambangan batubara mulai marak di berbagai titik i di pulau Kalimantan dan Sumatera. Perut bumi terus digali untuk menambang “emas hitam” ini sebelum disalurkan ke berbagai pembangkit listrik  baik dalam maupun luar negeri.  Batubara semakin menjadi penopang energi nasional  dalam kebijakan energi Indonesia di masa orde baru. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa Indonesia memiliki cadangan batubara yang melimpah dibanding dengan cadangan global. Sampai hari ini, batubara adalah penyumbang terbesar di sektor pertambangan yaitu mencapai 85% dari 42,3 triliun Rupiah pada September 2021. Industri ini kian"seksi" bagi pemegang konsesi dan pemain  bisnis pertambangan.  Karpet merah terus diberikan bagi para pemegang Izin Usaha Pertambangan karena Batubara harus memenuhi kebutuhan PLTU  dengan total kapasitas keseluruhan mencapai 34.856 MW pada tahun 2021.

 

Selain batubara, Indonesia juga sangat bergantung pada minyak bumi. Minyak bumi menyumbang devisa negara sebesar 1770 miliar rupiah pada era Oil boom tahun 1970-an. Pada tahun 1974 harga minyak meningkat drastis sebesar 481% dibanding tahun 1960-an. Inilah masa keemasan minyak bumi Indonesia yang memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional dan pembangunan besar-besaran pada saat itu. Ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi kian meningkat bahkan setelah keluar dari OPEC pada 2009. Saat ini, kebutuhan BBM nasional mencapai 1,4 juta barel per hari dan diprediksi akan terus meningkat hingga 1,8 juta barel/hari pada 2030. Dengan kapasitas produksi BBM nasional hanya 800 ribu barel/hari, Indonesia harus terus mengimpor defisitnya.

 

Konsekuensi dari penggunaan energi fosil tidak menghalangi ambisi pemerintah untuk terus mengandalkan energi ini untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi makro yang direpresentasikan melalui angka nyatanya tidak sejalan dengan dampak yang dirasakan masyarakat secara langsung. Eksploitasi energi fosil untuk pertumbuhan ekonomi menyisakan berbagai masalah bagi bumi dan masyarakat Indonesia.

Dampak Kesehatan

Dampak ketergantungan kita terhadap energi fosil menimbulkan masalah kesehatan khususnya masyarakat sekitar lokasi operasi pertambangan dan lokasi pembangkit listrik.Penambangan batubara menghasilkan polutan beracun yang berbahaya. Dalam artikel The Harvard College Global Health Review (HCGHR), Dr. Michael Hendryx, peneliti dari West Virginia University menyebutkan beberapa ancaman kesehatan bagi orang yang terpapar polutan pertambangan batubara seperti risiko penyakit jantung kronis, gangguan pernapasan dan  masalah ginjal.  Masalah kesehatan ini tidak pernah menjadi pertimbangan pemerintah dalam memberikan izin usaha bagi perusahaan pertambangan batu bara.

 

Masalah kesehatan tidak hanya berakhir di lokasi penambangan. Batubara diproses di pembangkit listrik dan menghasilkan merkuri sebagai salah satu polutan.  Partikel kecil ini mampu terbang ratusan kilometer dan bahkan mencemari air dan makanan yang kita konsumsi setiap hari. Paparan merkuri dalam jangka waktu panjang  berpotensi menyebabkan gangguan neurologis dan bayi lahir cacat. Merkuri  menyebabkan 3 juta kematian dini di seluruh dunia dan pembakaran batu bara adalah penyumbang terbesar. 

 Inilah kisah Adel - Salah satu anak yang tinggal di dekat PLTU Pangkalan Susu. Dikutip dari film dokumenter berdasarkan wawancara dengan warga sekitar berbagai PLTU dan lokasi pertambangan di Sumatera, Barawdipa. Usai berenang di laut yang terletak dekat PLTU Pangkalan Susu, Adel mengalami gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Dia tidak tahan gatal sehingga dia sering menangis kepada orang tuanya. Yanti, ibu Adel bingung dengan kondisi putrinya dan memutuskan untuk membawa Adel ke dokter dengan biaya sendiri.  Adel hanyalah salah satu kasus anak di masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan akibat limbah pembangkit listrik, Sayangnya, banyak korban tak ada kesempatan untuk bercerita.

Yayasan Srikandi Lestari dan Dinas Kesehatan Langkat Sumatera Utara menyatakan debu dari pembakaran PLTU Pangkalan Susu menyebabkan 1653 orang menderita ISPA per 6 bulan pada 2019. Sebagian besar masyarakat yang terdampak polusi PLTU tidak menerima santunan pengobatan di rumah sakit dan harus menanggung sendiri biaya pengobatan mereka. Selama akses ke fasilitas kesehatan tidak terdistribusi secara adil, kelompok masyarakat rentan tentu akan terus menanggung konsekuensi terbesar dari ketergantungan pada energi fosil. Kesehatan manusia,  merupakan investasi yang tak ternilai harganya. Konsekuensi  yang harus mereka tanggung tidak dapat menyamai kompensasi finansial apa pun yang mereka terima.

 

Kerugian Finansial

Nidar adalah seorang pemilik warung makan di Desa Suak Puntong, Nagan Raya Aceh. Sebelum pembangunan PLTU pada tahun 2014 ia mampu mendapatkan keuntungan 1 juta rupiah Indonesia per hari dari penghasilan warungnya. Pembangunan PLTU di dekat desanya secara signifikan menurunkan pendapatan Nidar hingga 80%. Debu dari PLTU menutupi kios-kiosnya dan tentu saja mempengaruhi jumlah pembeli yang datang. Hilangnya akses ekonomi bagi perempuan dapat mengakibatkan masalah sosial yang lebih besar lagi seperti  kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik, mental, seksual atau bahkan kekerasan ekonomi.  Nidar hanyalah salah satu dari banyak kasus. Ia bukan hanya angka, tetapi contoh bagaimana begitu banyak kehidupan telah dicekik oleh industri energi fosil - baik secara harfiah, maupun secara ekonomi.

 

Indonesia sebagai negara maritim sangat bergantung pada perikanan untuk sektor ekonomi mikronya. Limbah dari PLTU batubara yang berujung ke laut dan berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan. Salah satu contohnya adalah Celukan Bawang, Bali, ekosistem laut yang rusak menurunkan pendapatan nelayan setempat akibat limbah PLTU Celukan Bawang. Sebelumnya, para nelayan menghasilkan 300-400 ribu rupiah dengan hasil tangkapan 15 kg. Setelah  pembangkit listrik ini mulai beroperasi, para nelayan terpaksa berlayar lebih jauh ke laut untuk mencari tangkapan karena limbahnya telah mencemari laut. Beban operasional mereka yang semakin meningkat tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan pulang dengan hasil tangkapan. Kemana mereka harus mencari alternatif penghasilan ketika laut telah terkontaminasi oleh energi kotor dan keserakahan manusia?

 

Eskploitasi Seksual dan Pelanggaran HAM

Industri ekstraksi tidak dapat dipisahkan dari berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang jarang diberitakan. Perempuan menjadi pihak yang paling rentan dalam pelanggaran HAM yang terjadi.  Perempuan merupakan kelompok marginal sebagai subordinat dari laki - laki. Investasi miliaran untuk industri energi nyatanya tidak selalu membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.  Minimnya akses pendidikan bagi perempuan membuat pilihan karir mereka menjadi terbatas. Dengan sektor energi sebagai industri yang didominasi laki-laki, perempuan sangat rentan dieksploitasi sebagai pekerja seks, sebuah siklus tiada akhir sebagai dampak tidak langsung dari industri ini.

 

Baru baru ini Exxon Mobil menerima gugatan dari  masyarakat sekitar Arun, Aceh Utara atas kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama 20 tahun Exxon Mobil beroperasi. Kesaksian mengerikan dilaporkan para korban dalam dokumen 300 halaman. Mereka menceritakan  bagaimana mereka ditahan dan disiksa oleh oknum yang melindungi aktivitas operasi perusahaan. mereka yang dieksploitasi sumber daya alamnya juga menjadi korban intimidasi dan teror ketika bersuara untuk menentang aktivitas perusahaan.Sekali lagi, trauma, keringat, dan darah yang ditanggung masyarakat tidak dapat menyamai kompensasi  apa pun yang  mereka terima.

 

Perubahan iklim

Berbagai konferensi dihadiri oleh para pemimpin dunia dan masyarakat sipil dalam upaya mengurangi emisi global dan memperlambat krisis iklim. Penggunaan massal energi kotor seperti batu bara dan minyak bumi  menjadi alasan utama mengapa krisis iklim kian memburuk. Kita semua menyaksikan suhu bumi yang semakin memanas setiap tahun, lapisan es yang mencair, naiknya permukaan laut, badai, dan kekeringan yang ekstrem. Pernahkah kita bertanya apa yang menjadi penyebabnya?

 

Perubahan iklim merupakan konsekuensi nyata yang dirasakan oleh kelompok masyarakat  yang mengandalkan pertanian dan perikanan sebagai pendapatan Kasus gagal panen di sektor pertanian akibat perubahan iklim semakin sering terjadi. Cuaca yang tidak menentu, kemarau panjang, atau hujan ekstrim yang mengakibatkan banjir membuat sistem panen menjadi tidak menentu. Belum lagi para nelayan yang tidak bisa melaut karena gelombang tinggi dan badai.Lagi lagi kelompok masyarakat rentan menanggung semua dampak ketergantungan kita terhadap energi kotor.

 

Tidak ada cara yang lebih baik untuk melindungi kita semua, termasuk masyarakat rentan selain dengan transisi energi yang lebih agresif ke energi bersih. Hingga saat ini, kita masih menunggu komitmen dari Anggota DPR untuk mengesahkan UU EBT yang dapat memanfaatkan  potensi energi terbarukan secara maksimal dan menjadikan energi baru dan terbarukan lebih menarik bagi investasi. 

 

Ketergantungan pada energi fosil telah mengakibatkan terlalu banyak korban berjatuhan. Sudah saatnya pemerintah dan pembuat kebijakan mengambil perspektif keadilan pada setiap kebijakan energi. Kita tidak lagi ingin mendengar alasan yang menjustifikasi energi fosil sebagai sumber energi yang murah sambil mengabaikan semua masalah yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan semua kerugian, apa memang benar - benar murah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun