BAB 1
Pukul 03.00. Aku ingat sekali waktu aku menemani proses persalinan cecek ku, bersama suaminya dan adikku. Jam 03.00 setelah melewati persalinan yang cukup hebat dan lama akhirnya Jabang bayi itu keluar. Kulitnya bewarna hitam manis seperti ayahnya, matanya persis seperti ibunya, dan yang paling khas adalah hidungnya, sesuatu yang mungkin kopian dari kakeknya.
Aku melihat sang ayah menggendong bayinya lantas perlahan mendekatkan bayi itu ke ibunya. Air mata ibunya turun, mungkin hari itu menjadi hari paling bahagia bagi kedua pasangan tersebut.
Bayangkan enam tahun sudah, enam tahun lamanya setelah mencoba menempuh segala cara dan pengobatan, akhirnya yang mereka inginkan terwujud. Seorang putra, yang benar-benar proyeksi dari kedua orang tuanya.
Tangan adikku yang baru berumur 6 tahun mencengkramku kuat, mungkin ini pertama kali baginya melihat kejadian seperti ini. Di mana kebahagiaan tumpah ruang di sebuah ruangan berukuran 3x3. Aku hanya tersenyum kepadanya, yang tanpa aku sadari, air mataku juga turun.
Esoknya diadakan pesta besar-besaran. Kambing dipotong, nama diberikan. Kenduri besar yang mengundang seluruh kampung. Kuah kari kambing khas Aceh disiapkan dengan banyak. Semua senang, hari yang membahagiakan.
“Jadi gimana perasaanmu sekarang Sulton?” tanya pak keuchik kepada Sulton yang wajahnya terus dipenuhi kebahagiaan. “Nama apa yang kau berikan untuknya?”
“Senang sekali pak, aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya” katanya dengan wajah yang berbinar. “Mengenai nama, aku menamakannya Cut Agam.”
“Pintar sekali kau beri nama anakmu, dari mana kau dapat inspirasi.”
“Dari mimpiku tadi malam pak.”
Mutia keluar dari dalam rumah dan membawa anaknya mendekati ayahnya. “Liat ini ayah kamu Agam, ganteng seperti kamu ya.”