Mohon tunggu...
Syamsudin
Syamsudin Mohon Tunggu... Guru - Pencari Ilmu

Aliran kata dari akal dan hati | Upaya mengisi hidup dengan manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Islam Pasca Peristiwa Tahkim (3)

3 Juli 2024   13:48 Diperbarui: 3 Juli 2024   14:24 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Tulisan ini merupakan resume dari Meluruskan Sejarah Islam Studi Kritis Peristiwa Tahkim karya Dr. Muhammad Mahzum (judul asli Tahqiq Mawaqif Ash Shahabah fil Fitnah, alih Bahasa oleh Drs. Rosihon Anwar, M.Ag.), CV Pustaka Setia, cet. 1, 1999. Temukan pula resume ini di Medium.com dan Blogger.com.

Peristiwa tahkim memecah umat Islam ke dalam tiga kelompok yang berseberangan: pendukung setia Ali (dikenal dengan Syi'ah), pendukung Ali yang berbelok menentangnya (Khawarij), dan pendukung Mu'awiyah. Dalam perkembangan selanjutnya ada kelompok lain yang menarik diri dari keterlibatan perseteruan politik dan menangguhkan penyelesaiannya kepada Allah di hari akhir. Kelompok ini bersifat teologis dan dikenal dengan Murjiah.

Keputusan tahkim yang mengecewakan, membuat pendukung Ali yang sejak awal menolak perdamaian dan menginginkan pertempuran dilanjutkan berbelok arah menentang Ali. Mereka menyatakan diri keluar (kharaja  خَرَجَ) dari barisan pendukung Ali yang dari sinilah muncul istilah Khawarij (خَوَارِج). 

Selain berdasarkan kekecewaan mereka terhadap tahkim, mereka mendasari sikap mereka secara teologis dengan menyatakan bahwa tidak ada hukum kecuali hukum Allah, tidak boleh menggantikan hukum Allah dengan hukum manusia, dan Allah telah menetapkan hukum bagi kelompok yang lalim adalah diperangi sampai kembali ke jalan Allah (hlm. 57, lihat pula Q.S. Al Hujurat: 9). Jargon popular mereka adalah tidak ada hukum kecuali hukum Allah ( لَا حُكْمَ اِلَّا لِلّٰهِ).

Secara teologis kaum Khawarij berpendapat bahwa orang-orang yang bersepakat melakukan tahkim pada hakikatnya telah kafir karena telah menentang hukum Allah, dan memang merekalah golongan yang mulai mengkafirkan sesama muslim (hlm. 59).

Secara politis mereka mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, mengakui Utsman di separuh pertama pemerintahannya namun tidak di separuh terakhirnya, mengakui Ali sebelum tahkim dan menolaknya pasca tahkim. Mereka menganggap Ali telah lalim dan wajib diperangi meskipun oleh seorang diri. 

Mereka tidak menuntut jabatan khalifah dipegang oleh kelompok mereka. Bagi mereka khalifah dapat dijabat oleh siapapun muslim yang saleh dan tidak terbatas dari klan Quraisy saja (hlm. 60-61). Dengan pandangan politis seperti ini maka mereka kerap kali mengadakan pemberontakan di masa pemerintahan Ali. 

Perseteruan terhenti ketika Ali memerangi dan melumpuhkan mereka di perang Nahrawan pada 38 H. Kekalahan itu mendorong anggota Khawarij yang tersisa untuk membunuh Ali dua tahun kemudian. Ali wafat dengan luka tikaman dari Abdurrahman bin Muljam saat beliau selesai menunaikan salat Subuh pada Jum'at hari ketujuh terakhir Ramadan 40 H. 

Adapun usaha pembunuhan terhadap Mu'awiyah dan Amr gagal (hlm. 53). Usaha pembunuhan ini didasarkan pada pemikiran bahwa Ali, Mu'awiyah, dan Amr adalah tiga orang yang paling bertanggung jawab terhadap kekacauan yang terjadi di antara umat Islam.

Pasca terbunuhnya Ali kecintaan kepada keluarga Ali semakin menguat dan memunculkan makna konotatif baru bagi para pendukungnya. Pada awalnya kata "syi'ah" hanya sebatas makna etimologis saja sehingga pendukung Ali disebut dengan Syi'atu Ali dan pendukung Mu'awiyah disebut Syi'atu Mu'awiyah. Kata "syi'ah" secara bahasa bermakna pengikut dan pendukung seseorang dan berasal dari kata "musyaya'ah" yang artinya ketaatan dan pengikutan. 

Kecintaan yang berlebih terhadap Ali dan keturunannya kemudian merubah makna kata "syi'ah" menjadi kata khusus yang menunjuk kepada kelompok yang mengakui Ali sebagai khalifah yang sah dan menolak kedudukan Mu'awiyah sebagai khalifah. Menyitir Ibnu Taimiyah, penulis menyatakan bahwa Syi'ah di masa awal tidak pernah mencaci maki para sahabat Nabi saw. 

Bahkan mereka sepakat mengutamakan Abu Bakar dan Umar daripada Ali. Hal ini dinyatakan sendiri oleh salah seorang pemimpin mereka yang bernama Syuraikh bin Abdillah ketika ditanyakan kepadanya siapa yang lebih utama Abu Bakar atau Ali? Ia menjawab: Abu Bakar. Ketika ditanya lagi mengapa ia menjawab demikian padahal ia adalah seorang Syi'ah? 

Ia menjawab bahwa jawabannya adalah seperti jawaban Ali ketika ditanyakan kepadanya hal yang serupa dan Ali, katanya, bukanlah pendusta (hlm. 80-83). Dalam perkembangan berikutnya Syi'ah terbagi menjadi banyak sekte.

Kelompok Murjiah diambil penamaannya dari kata arjaa () yang berarti mengakhirkan atau menangguhkan. Disebut demikian karena mereka merupakan kelompok yang menangguhkan persoalan yang diperselisihkan sepenuhnya kepada Allah Swt. Tokoh yang pertama kali memunculkan konsep irja () adalah Al Hasan bin Muhammad bin Al Hanafiyyah yang wafat pada 99 H. Al Hasan mengatakan bahwa ia mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar serta berjuang untuk mengikuti mereka karena kepemimpinan mereka tidak diragukan oleh umat. 

Sementara untuk dua orang setelahnya (Utsman dan Ali) ia menangguhkan menghukumi mereka yang terlibat dalam fitnah dan menyerahkannya kepada Allah. 

Adapun penyebutan nama "murjiah" berasal dari perkataan Ibnu Uyainah yang ketika ditanya tentang konsep irja ia menjawab bahwa kata irja mengandung dua makna: pertama, kelompok yang menangguhkan untuk Utsman dan Ali dan kedua, kelompok yang mengatakan iman itu berupa ucapan dan tanpa amal (hlm. 67-69).

Selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun