Mohon tunggu...
Faishal Luthfiansyah
Faishal Luthfiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

"Hal besar dimulai dari hal-hal kecil"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UTS Sosiologi Hukum

2 November 2023   19:27 Diperbarui: 2 November 2023   19:27 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama : Faishal Luthfiansyah

NIM.   : 212111206

Kelas. : Hukum Ekonomi Syariah / 5F

Pengertian Sosiologi Hukum Menurut Ahli

1. Menurut Paul B. Horton Sosiologi adalah cabang ilmu yang berfokus pada pemahaman tentang kelompok-kelompok manusia dan hasil-hasil yang dihasilkan oleh kehidupan sosial tersebut.

2. Menurut Soerjono Soekanto Sosiologi adalah disiplin ilmu yang menitikberatkan perhatian pada aspek-aspek. kemasyarakatan yang bersifat universal, dan upaya untuk mengidentifikasi pola-pola umum dalam kehidupan sosial masyarakat.

3. Menurut Pitrim Sorokin Sosiologi adalah cabang ilmu yang mengkaji interaksi dan saling pengaruh antara berbagai fenomena sosial, antara fenomena sosial dan yang bukan sosial, serta karakteristik bersama dari berbagai jenis fenomena sosial lainnya.

4. Menurut David Popenoe Sosiologi adalah cabang ilmu yang mempelajari bagaimana manusia berinteraksi dalam konteks keseluruhan masyarakat.

5. Menurut Nursid Nurmaatmadja Sosiologi adalah disiplin ilmu yang fokus pada pemahaman mengenai relasi sosial, menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang aktif dalam menjalin hubungan sosial melalui interaksi sosial, yang dapat tercermin dalam tindakan mereka dan memiliki potensi untuk memengaruhi satu sama lain.

Sehingga menurut saya, sosiologi merupakan studi ilmu yang mempelajari bagaimana manusia berinteraksi dengan manusia yang lain dan pengaruh antara fenomena sosial dan yang bukan sosial untuk mengetahui tindakan kehidupan seosial tersebut.

Contoh Analisis Yuridis Empiris dan 

Yuridis Normatif

Dalam konteks kasus pencucian uang, analisis yuridis empiris dan yuridis normatif diperlukan untuk memahami fenomena pencucian uang di Indonesia. Pencucian uang, juga dikenal sebagai "money laundering" dalam bahasa Inggris, adalah upaya ilegal untuk menyembunyikan atau membersihkan asal-usul dana yang diperoleh secara ilegal atau melalui aktivitas ilegal, sehingga uang tersebut tampak berasal dari sumber yang sah atau legal. Tujuannya adalah untuk membuat uang hasil kejahatan atau kegiatan ilegal terlihat sah dan untuk menghindari pendeteksian oleh pihak berwenang.

Dalam menghadapi kasus pencucian uang, analisis yuridis empiris digunakan untuk memastikan penanganan kasus tersebut efektif dengan memanfaatkan bukti-bukti dan data yang kuat. Ini melibatkan identifikasi asal-usul dana yang dicurigai sebagai hasil kejahatan atau aktivitas ilegal serta pengumpulan bukti yang mendukung klaim bahwa dana tersebut memang berasal dari aktivitas ilegal. Selanjutnya, analisis melibatkan pelacakan jejak uang dan identifikasi pelaku utama dalam kasus tersebut.

Dampak pencucian uang sangat signifikan. Pencucian uang sering kali terkait dengan aktivitas kejahatan seperti perdagangan narkoba, korupsi, dan penipuan, yang mengakibatkan penggunaan lebih banyak sumber daya untuk mendukung kegiatan kejahatan tersebut. Selain itu, pencucian uang dapat membantu menyembunyikan kekayaan hasil korupsi, menciptakan ketidakadilan sosial dan ekonomi di mana para pelaku korupsi atau pencucian uang mendapatkan keuntungan sementara masyarakat luas menderita.

Dampak sosial mencakup hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga keuangan dan pemerintah. Hal ini dapat merusak integritas lembaga-lembaga tersebut ketika masyarakat merasa bahwa sistem hukum tidak efektif dalam melawan pencucian uang. Pencucian uang juga seringkali melibatkan pemindahan dana melalui bisnis-bisnis yang mungkin terkait dengan eksploitasi manusia, termasuk perdagangan manusia dan pekerjaan paksa.

Dampak ekonomi mencakup kerugian keuangan, ketidakstabilan keuangan, biaya penegakan hukum, dan penyuburan ekonomi bayangan. Pencucian uang juga dapat merugikan pelaku bisnis yang sah dengan menciptakan persaingan yang tidak sehat dan mengganggu pasar.

Dalam rangka mengatasi masalah pencucian uang, penanganan kasus secara efektif serta peningkatan regulasi dan penegakan hukum sangat penting.

Dalam kasus pencucian uang, analisis Yuridis Normatif dapat digunakan untuk mengevaluasi kasus tersebut dalam konteks kerangka hukum yang berlaku, sambil mempertimbangkan etika, serta aspek sosial dan moral yang relevan. Pendekatan ini membantu dalam menilai apakah tindakan pencucian uang sesuai dengan norma-norma hukum dan etika yang ada, serta membimbing proses penegakan hukum dan peradilan dalam kasus-kasus pencucian uang.

Di Indonesia, regulasi yang mengatur pencucian uang mencakup beberapa peraturan . Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPU), yang merupakan landasan hukum utama yang mengatur pencucian uang di negara ini. UU PPU mengidentifikasi perbuatan pencucian uang yang melanggar hukum, langkah-langkah pencegahan, penyelidikan, penuntutan, serta sanksi yang terkait dengan tindakan pencucian uang. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur kewajiban pelaporan transaksi mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Regulasi lain yang relevan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Teroris, yang memberikan panduan lebih lanjut mengenai implementasi UU PPU, termasuk tanggung jawab bisnis, prosedur pelaporan, dan tindakan yang harus diambil oleh pelaku usaha. Selain itu, terdapat juga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.01/2020 tentang Pedoman Pelaporan Transaksi Keuangan dan Identifikasi Pelanggan (AML/CFT), yang mengatur aspek teknis pelaporan transaksi mencurigakan, identifikasi pelanggan, dan pedoman terkait pencucian uang dan pencegahan pendanaan teroris.

Indonesia juga aktif dalam mematuhi standar internasional dalam melawan pencucian uang dan pendanaan teroris, dengan berpartisipasi dalam kelompok tugas seperti Financial Action Task Force (FATF). FATF adalah badan yang mengembangkan pedoman internasional dalam hal pencegahan pencucian uang dan pendanaan teroris. Semua undang-undang dan peraturan ini membentuk kerangka hukum yang kuat untuk pencegahan dan penanganan pencucian uang di Indonesia.

Contoh pemikiran hukum Max Weber

Max Weber membangun pemahamannya dengan berfokus pada konsep tindakan sosial. Weber memusatkan perhatiannya pada individu, serta pola-pola tindakan yang teratur, bukan pada aspek kolektif. Weber menjelaskan bahwa hukum tidak hanya mencerminkan apa yang terjadi di dalam masyarakat, melainkan juga diciptakan secara sengaja untuk memengaruhi masyarakat. Weber mengidentifikasi empat tipe ideal hukum yang meliputi:

1. Hukum Irrasional dan Material: Ini merujuk pada pembentukan undang-undang dan keputusan hakim yang didasarkan semata-mata pada nilai-nilai emosional, tanpa mengikuti suatu standar rasional.

2. Hukum Irrasional dan Formal: Ini mencakup hukum yang dibentuk berdasarkan kaidah-kaidah yang berada di luar akal sehat, seringkali didasarkan pada wahyu atau ramalan.

3. Hukum Rasional dan Formal: Dalam tipe ini, pembentuk undang-undang dan hakim merujuk pada kitab suci atau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa sebagai dasar hukum.

4. Hukum Rasional dan Material: Hukum dalam kategori ini dibentuk berdasarkan konsep-konsep abstrak dari ilmu hukum, dengan fokus pada prinsip-prinsip rasional.engan demikian, Weber menguraikan beragam tipe hukum berdasarkan dasar pembentukannya, mengakui bahwa hukum dapat berasal dari berbagai sumber dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

 

Contoh pemikiran hukum H.L.A Hart

Hart meyakini bahwa undang-undang adalah bentuk perintah yang dibuat oleh manusia, dan dalam pandangannya, hukum dan moral harus dipisahkan. Bagi Hart, sistem hukum adalah suatu sistem logis yang tertutup, dan oleh karena itu, tidak perlu mempertimbangkan tuntutan sosial, kebijaksanaan, atau norma-norma moral. Penilaian moral tidak relevan dalam konteks hukum.

Hart juga mengemukakan pandangannya tentang sistem hukum yang terdiri dari dua komponen utama:

1. Primary Rules: Hart menekankan pentingnya kewajiban individu untuk bertindak atau tidak bertindak sesuai dengan aturan. Ini menciptakan tatanan perilaku dalam masyarakat dan memberikan tekanan sosial kepada individu yang melanggar aturan tersebut. Kewajiban ini dianggap sebagai sesuatu yang harus dipatuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat.

2. Secondary Rules: Hart menjelaskan bahwa sistem hukum juga melibatkan aturan-aturan yang mengatur proses hukum itu sendiri. Ini termasuk aturan yang menentukan bagaimana suatu peraturan dianggap sah (rules of recognition), bagaimana peraturan dapat diubah (rules of change), dan bagaimana peraturan dapat ditegakkan (rules of adjudication).

Dengan demikian, Hart membagi sistem hukum menjadi dua komponen penting, yaitu aturan-aturan primer yang mengatur perilaku individu dan aturan-aturan sekunder yang mengatur proses hukum. Ini menciptakan dasar pemahaman Hart tentang struktur hukum dan peran masing-masing komponen dalam sistem hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun