Mohon tunggu...
Shaleh Muhammad
Shaleh Muhammad Mohon Tunggu... Jurnalis - Kuli Kata

Pejalan Sunyi, menulis dalam gelap.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Sunyi | Sejenak Bersama Cahaya

14 Desember 2022   00:42 Diperbarui: 14 Desember 2022   00:46 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghujung tahun 2011, Cahaya,  gadis belia pulang ke kampung halamannya. Setelah lama ia tak berjumpa dengan tanah kelahirannya, Desa kecil di kaki gunung Pepana. Suasana  pagi di sana tidak kalah sejuknya dengan mentari pagi di Mahameru. Hamparan sawah dan sedikit embun menambah elok gunung yang persis serupa dengan Piramida Giza. Dari balik embun barisan rumah berjejer rapi, setia menanti mentari dari balik Gunung Pepana.

Suasana desa pengobat rindu anak rantaunya. Saludurian, tepat berada pada pusat peradaban Tanah Rantebulahan yang masyhur namanya di belantara Ulu Salu dan Bakba Binanga.

Gadis itu baru saja menghapus air matanya. Luapan kerinduan tak bisa ia bahasakan. Saat itu juga Pujangga bertemu dengan gadis asing, sungguh ia tak pernah dengar nama Cahaya.

Desanya ramai, mereka saling mengulurkan tangan dengan doa keberkahan. Suasana Hari Raya Idul Fitri mempertemukan mereka yang tak pernah bersua sebelumnya. Begitu juga Pujangga dan Cahaya, menatap satu sama lain. Mencoba menahan rasa dari pandangan pertama mereka. Tanpa kata, sepertinya menyimpan tanya yang tak perlu di jawab dengan lantang, cukup dengan isyarat hati masing-masing.

Sejak saat itu, Pujangga tak bisa menikmati dinginnya malam. Selalu ia terjaga tanpa kata. Wajah Cahaya selalu membangunkan tidurnya. Hingga tak sabar ia menunggu pagi, segera ingin mendekati Cahaya. Walau hanya meliriknya dari persembunyian, itu cukup mengobati hati Pujangga yang berkecamuk. Rasa yang tak bisa ia jelaskan dengan kata. Yang ada hanya senyum kecil penuh taburan bunga-bunga cinta.

Belum juga ia sadar dengan bunga di tempat lain telah ia sirami dengan janji setia. Cahaya begitu sulit untuk di ingkari. Ia telah mengisi rongga dada Pujangga, tanpa ragu dan penuh pesona. Pujangga memang pecinta yang berduri, mengatas namakan hati kepada setiap gadis pemikat dalam perjalanannya. Tatapan mata Cahaya menembus jantung, benar-benar jauh menyelami indra Pujangga.

Tak menunggu lama Pujangga mulai mendekati Cahaya. Ia sadar bahwa seberapa besar cinta seorang wanita tentulah lelaki yang lebih elok mengungkapkan rasa lebih awal. Tetapi rupanya Pujangga tidak lebih berani, tak mampu ia berdiri tegak di depan wajah Cahaya.

Suatu hari, ruang kecil jadi saksi. Pujangga memberanikan diri duduk berdampingan dengan Cahaya. Ia memulai percakapan kecil tentang masa kecil mereka. Ternyata mereka sama sekali tidak saling mengenal satu sama lain. Walau sama-sama lahir dan besar di rumah yang tidak jauh jaraknya. Bahkan ketika Pujangga dilahirkan, Ibu dari Cahaya lah yang membantu proses kelahiran Pujangga.

Pujangga dilahirkan di rumah tua milik nenek Cahaya. Tetapi tak sempat mereka mengenal, peristiwa silam memaksa mereka pergi jauh dari tanah moyangnya. Hingga setelah dewasa mereka bertemu dengan alasan yang sama, pulang kampung. Setalah lama menghirup udara tanah rantau di negeri antah-beranta.

"Dik, bolekah kita bercerita panjang malam ini?" Tanya Pujangga. Dengan senyum kecil dari wajah manis Cahaya menyambut tanya itu," Boleh,". "Tidak kah telah lama kita tumbuh dewasa, baru kali ini kita di pertemukan," tambah Cahaya dengan senyum khas berhias sedikit gigi gingsul yang merampas segenap rasa dari Pujangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun