Penghujung tahun 2011, Cahaya,  gadis belia pulang ke kampung halamannya. Setelah lama ia tak berjumpa dengan tanah kelahirannya, Desa kecil di kaki gunung Pepana. Suasana  pagi di sana tidak kalah sejuknya dengan mentari pagi di Mahameru. Hamparan sawah dan sedikit embun menambah elok gunung yang persis serupa dengan Piramida Giza. Dari balik embun barisan rumah berjejer rapi, setia menanti mentari dari balik Gunung Pepana.
Suasana desa pengobat rindu anak rantaunya. Saludurian, tepat berada pada pusat peradaban Tanah Rantebulahan yang masyhur namanya di belantara Ulu Salu dan Bakba Binanga.
Gadis itu baru saja menghapus air matanya. Luapan kerinduan tak bisa ia bahasakan. Saat itu juga Pujangga bertemu dengan gadis asing, sungguh ia tak pernah dengar nama Cahaya.
Desanya ramai, mereka saling mengulurkan tangan dengan doa keberkahan. Suasana Hari Raya Idul Fitri mempertemukan mereka yang tak pernah bersua sebelumnya. Begitu juga Pujangga dan Cahaya, menatap satu sama lain. Mencoba menahan rasa dari pandangan pertama mereka. Tanpa kata, sepertinya menyimpan tanya yang tak perlu di jawab dengan lantang, cukup dengan isyarat hati masing-masing.
Sejak saat itu, Pujangga tak bisa menikmati dinginnya malam. Selalu ia terjaga tanpa kata. Wajah Cahaya selalu membangunkan tidurnya. Hingga tak sabar ia menunggu pagi, segera ingin mendekati Cahaya. Walau hanya meliriknya dari persembunyian, itu cukup mengobati hati Pujangga yang berkecamuk. Rasa yang tak bisa ia jelaskan dengan kata. Yang ada hanya senyum kecil penuh taburan bunga-bunga cinta.
Belum juga ia sadar dengan bunga di tempat lain telah ia sirami dengan janji setia. Cahaya begitu sulit untuk di ingkari. Ia telah mengisi rongga dada Pujangga, tanpa ragu dan penuh pesona. Pujangga memang pecinta yang berduri, mengatas namakan hati kepada setiap gadis pemikat dalam perjalanannya. Tatapan mata Cahaya menembus jantung, benar-benar jauh menyelami indra Pujangga.
Tak menunggu lama Pujangga mulai mendekati Cahaya. Ia sadar bahwa seberapa besar cinta seorang wanita tentulah lelaki yang lebih elok mengungkapkan rasa lebih awal. Tetapi rupanya Pujangga tidak lebih berani, tak mampu ia berdiri tegak di depan wajah Cahaya.
Suatu hari, ruang kecil jadi saksi. Pujangga memberanikan diri duduk berdampingan dengan Cahaya. Ia memulai percakapan kecil tentang masa kecil mereka. Ternyata mereka sama sekali tidak saling mengenal satu sama lain. Walau sama-sama lahir dan besar di rumah yang tidak jauh jaraknya. Bahkan ketika Pujangga dilahirkan, Ibu dari Cahaya lah yang membantu proses kelahiran Pujangga.
Pujangga dilahirkan di rumah tua milik nenek Cahaya. Tetapi tak sempat mereka mengenal, peristiwa silam memaksa mereka pergi jauh dari tanah moyangnya. Hingga setelah dewasa mereka bertemu dengan alasan yang sama, pulang kampung. Setalah lama menghirup udara tanah rantau di negeri antah-beranta.
"Dik, bolekah kita bercerita panjang malam ini?" Tanya Pujangga. Dengan senyum kecil dari wajah manis Cahaya menyambut tanya itu," Boleh,". "Tidak kah telah lama kita tumbuh dewasa, baru kali ini kita di pertemukan," tambah Cahaya dengan senyum khas berhias sedikit gigi gingsul yang merampas segenap rasa dari Pujangga.
Tidak usah dilanjutkan, toh juga ini hanyalah kisah yang aka berakhir sama dengan romantika Pujangga dan Siti. Tidak pantas berlama-lama dengan kesedihan. Pesannya telah sampai, bahwa Pujangga lebih meridukan Cahaya daripada Siti. Â Cahaya adalah satu dari sekian banyak manusia yang pernah melukis hari-harinya. Ia telah pergi dari hidup sang Pujangga, memilih kehidupan tanpa bayang-bayang Pujangga.
Lumalong adalah aku yang menulis kisah ini, tetapi aku bukan Pujangga dalam cerita ini. Meski Lumalong telah lama mati, setidaknya aku adalah aku, anak terbuang dari tanah datar di bantaran Sungai Mambie. Pesan cinta dalam kisah Pujangga, Siti dan Cahaya sesungguhnya hanyalah pemanis dalam cerita panjang ini.
Aku menulis tanpa henti, menakar Cahaya dan Siti untuk mereka pecinta yang malang. Malang karena gerombolan orang tabiat buruk, propagandanya berhasil mengantar perjalanan hidup ini.
Adalah mereka yang dengan mudahnya duduk manis di kursi damping Gubernur. Tanpa menoleh kebelakang, melihat tanah moyangku yang porak poranda. Manusianya berhamburan, berlari, menangis meninggalkan sawah ladangnya. Aku lelah dengan kepura-puraan ini, menulis sindiran lewat syair dan puisi. Kenapa kalau aku berterus terang? Menunjuk muka gerombolan penghianat itu? Jawabannya sukar di jelaskan, sebab itu adalah bangkai yang aromanya menembus langit tujuh tingkat. Selamat jalan Cahaya-ku. Jangan ragu dengan kehidupan ini, nestapamu telah aku selami beberapa waktu yang lalu. Oktober 2012, kita sepakat menjalin rasa. Tetapi tak berselang lama dia hadir menjemputku, menyadarkan aku bahwa kau adalah milik orang lain. Terimaksih dalam buku ini kutuliskan, semoga kelak senyummu warnai setiap halaman catatan ini. Jangan bertanya mengapa kisah mu kutulis, cukup tanya kenapa dirimu memikatku waktu itu. Dan maaf sekai lagi, tak bisa kujelaskan lebih jauh tentang hubungan kita. Aku menyadari ada hati yang harus aku jaga, dan begitupun adanya dirimu. Aku telah jadi saksi dalam janji suci kalian berdua. Aku melihat tatapan cinta yang hakiki dari lelaki yang bersamamu saat ini. Begitu juga perempuan yang menemaniku menyusuri lorong waktu kehidupan. Dia segalanya untukku. Kelak, suatu waktu kita semua akan berkumpul di tanah leluhur, bercengkrama ria dengan suasana yang berbeda. Semua di balut rasa kekeluargaan. Mungkin anak-anak kita akan bermain bersama di halaman Kakek dan Neneknya. Atau sekedar mengadu pusara Pahlawan: yang telah mengantar kelahiranku. Ialah ibu kandungmu. Salam, aku pamit yah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H