Pada kesempatan sebelumnya, saya juga bercerita singkat dengan Basir [Papa Mega]. Rupanya, ia sempat di landa kepanikan akibat terjebak sendiri di pinggir hutan belanjatara itu.
"Selama beberapa menit saya harus berjuang, melepaskan diri dari himpitan kayu dan motor ," curhat Papa Mega.
Setelah terlepas dari maut itu, ia juga harus menunggu selama empat jam lamanya .Menunggu bantuan mengevakuasi kuda besinya. Ia di untungkan dengan tukang litrik dari PLN Malunda dan warga lain yang kebetulan melintas.
Celoteh Saya, Untuk Saya Sendiri
Ismail dan Basir adalah sosok Pengajar Bangsa yang tulus. Bukan isapan jempol belaka. Potret pendidikan di halaman rumah Ulumanda telah banyak perubahan. Itu berkat kepedulian mereka Pengajar Bangsa yang suka dan rela. Walau jalan berlumpur harus menghantui mereka setiap saat.
Catatan ini adalah bentuk dukungan moril saya pribadi. Sebagai anak yang lahir di halaman Ulumanda, tentu sayapun belum bisa berbuat banyak untuk anak-anak remaja di sana. Banyak dari mereka yang di tuntut jadi buruh di rantauan. Waktu yang seharusnya mereka habiskan di bangku-bangku sekolah.
Kisah Ismail cukup sudah jadi tamparan mesra bagi saya sendiri. Bukan bagi mereka yang sering pasang baliho di pertigaan jalan. Atau pemimpin Desa di Kecamatan Ulumanda sendiri. Jemabatan kayu darurat pula, itu bukan poin utama. Tetapi merangkul kesadaran bersama antara masing-masing individu yang terpenting.
Kenapa Ismail bisa? Karena ia mau bergerak bersama masyarakat lainnya. Ada kesadaran kolektif dari warga Dusun Kalausu.
Lalu dua desa, Ulumanda dan Popenga. Seharusnya kita mampu duduk dan melahirkan kesadaran bersama. Saya rasa tidak akan bayak biaya jika kedua desa tersebut bergerak bersama masyarakatnya.
Pikiran pendek ini mungkin saja di pandang sinis bagi sebagian orang di halaman saya. Juga kepada Bupati Majene dan Gubernur Sulawesi Barat. Sesekalilah berkunjung ke Babalombi sana.