Jembatan "Papa Mega" dari Pak Ismail
Masih dalam suasana Piala Dunia tahun ini. Perhelatan akbar yang di elok-elokkan seantero negeri ini menelan berbagai permasalahan dasar tentang Pendidikan. Memang benar, kita akan di hadapkan dengan situasi di mana berbicara sesuatu yang tidak penting akan lebih di puja-puja ketimbang mendahulukan kepentingan rakyat.
Lain halnya dengan sosok Guru di Ulumanda, Majene, Sulawesi Barat. Â Dalam tulisan sebelumnya, saya sedikit menyinggung tetapi tidak begitu jauh. Namanya Ismail, Kepala Sekolah Dasar negeri 29 Kalausu Desa Ulumanda, Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene.
Melalui sambungan telpon, kami bercerita panjang tentang sebuah jembatan yang telah menyebabkan sahabatnya hampir menemui celaka. Jatuh dari jembatan lapuk dengan ketinggian lima meter.
Kepada saya, Ismail bercerita tentang sahabatnya Basir. Sesama Kepala Sekolah di tempat yang juga persis terpencilnya.
"Saya mendengar kabar dari istri bahwa Pak Basir jatuh di jembatan dekat rumah saya."Begitu awalnya dia bercerita.
Dengan segala rasa ibah pada sahabatnya, keesokan harinya segera menuju tempat kejadian yang di maksud. Sesampai di Kalausu, rupanya tokoh masyarakat lainnya juga telah memiliki maksud yang sama. Segera mengambil tindakan, mencari solusi untuk jembatan lapuk itu.
"Kami bersama tokoh masyarakat lainnya berjumlah tujuh orang segera memperbaiki jembatan itu. Kami tidak ingin ada korban selanjutnya," singkat Ismail.
Walau sebenarnya telah lama ia rencanakan dengan beberapa Guru di tempat tugasnya.
"Dari kejadian itu, saya beri nama Jembatan Papa Mega pada jembatan yang baru kami rehab." Ungkapnya.
Pada kesempatan sebelumnya, saya juga bercerita singkat dengan Basir [Papa Mega]. Rupanya, ia sempat di landa kepanikan akibat terjebak sendiri di pinggir hutan belanjatara itu.
"Selama beberapa menit saya harus berjuang, melepaskan diri dari himpitan kayu dan motor ," curhat Papa Mega.
Setelah terlepas dari maut itu, ia juga harus menunggu selama empat jam lamanya .Menunggu bantuan mengevakuasi kuda besinya. Ia di untungkan dengan tukang litrik dari PLN Malunda dan warga lain yang kebetulan melintas.
Celoteh Saya, Untuk Saya Sendiri
Ismail dan Basir adalah sosok Pengajar Bangsa yang tulus. Bukan isapan jempol belaka. Potret pendidikan di halaman rumah Ulumanda telah banyak perubahan. Itu berkat kepedulian mereka Pengajar Bangsa yang suka dan rela. Walau jalan berlumpur harus menghantui mereka setiap saat.
Catatan ini adalah bentuk dukungan moril saya pribadi. Sebagai anak yang lahir di halaman Ulumanda, tentu sayapun belum bisa berbuat banyak untuk anak-anak remaja di sana. Banyak dari mereka yang di tuntut jadi buruh di rantauan. Waktu yang seharusnya mereka habiskan di bangku-bangku sekolah.
Kisah Ismail cukup sudah jadi tamparan mesra bagi saya sendiri. Bukan bagi mereka yang sering pasang baliho di pertigaan jalan. Atau pemimpin Desa di Kecamatan Ulumanda sendiri. Jemabatan kayu darurat pula, itu bukan poin utama. Tetapi merangkul kesadaran bersama antara masing-masing individu yang terpenting.
Kenapa Ismail bisa? Karena ia mau bergerak bersama masyarakat lainnya. Ada kesadaran kolektif dari warga Dusun Kalausu.
Lalu dua desa, Ulumanda dan Popenga. Seharusnya kita mampu duduk dan melahirkan kesadaran bersama. Saya rasa tidak akan bayak biaya jika kedua desa tersebut bergerak bersama masyarakatnya.
Pikiran pendek ini mungkin saja di pandang sinis bagi sebagian orang di halaman saya. Juga kepada Bupati Majene dan Gubernur Sulawesi Barat. Sesekalilah berkunjung ke Babalombi sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H