Monarki yang dicap sebagai sistem non demokratis bisa jadi adalah salah satu sistem politik paling murah meskipun tak selalu berlaku demikian. Sayangnya tak ada kajian dan informasi lengkap biaya sistem politik monarki.
Jika sistem politik monarki dianggap mahal mungkin karena harus membayar gaji keluarga dan pangeran yang seperti di Saudi Arabia mencapai ribuan orang, mulai dari bayi baru lahir sampai sepuh yang sudah tak bisa lakukan apa-apa.Â
Tapi di Saudi Arabiia, negara tak harus menghabiskan dana untuk membiayai partai politik dan pemilu seperti yang di Indonesia rakyat bisa datang 5 kali nyoblos dalam rentang waktu 5 tahun, yaitu pilkada kabupaten kota, pilgub, pilpres yg bisa dua putaran dan kemudian pileg, sebelum adanya ketentuan bahwa pilkada selain DKI cukup 1 putaran dan kemudian adanya ketentuan pilkada serentak sehingga lebih hemat biaya.
Dengan sistem monarki maka pergantian pucuk tertinggi pemerintahan tak dalam suasana konflik tapi dalam suasana harap-harap cemas, karena penggantinya sudah diangkat jadi putra mahkota jauh hari sebelumnya. Raja yang berkuasa sudah bisa melakukan test the water terhadap putra Mahkota dan secara bertahap sudah mendelegasikan berbagai kewenangannya.
Bandingkan dengan sistem demokrasi yang sering memunculkan konflik dimana yang kalah tak menerima kekalahan dan rezim terpilih kadang perlu menunggu lama sebelum dilantik dan membuat negara berada dalam status quo panjang. Pejabat lama sudah tak punya kuasa, pejabat sementara tak punya kewenangan penuh, dan pejabat baru belum dapatkan kewenangan yang hanya diperoleh setelah pelantikan.
Sistem monarki juga tak perlu mengenal periode kampanye panjang, debat kandidat, dan masa "darurat" selama kampanye. Pergantian terjadi begitu saja, kemarin raja lama dan hari ini raja baru. Bahkan jika raja baru cenderung flamboyan dengan tubuh penuh tato dan tak patuh tatakrama kerajaan, rakyat hanya bisa membatin seperti di Thailand.
Meskipun demikian dalam monarki selalu dipertanyakan dari mana dinasti mendapat kewenangan memerintah negeri dan mengapa rakyat biasa yang sama lahir di negeri yang sama tak punya kesempatan untuk memerintah negeri.
Demokrasi memang jawaban jika inginkan semua rakyat punya peluang jadi pemimpin negeri. Dengan demokrasi siapapun bisa jadi kepala pemerintahan atau kepala negara.
Meskipun demikian, fakta sebenarnya yang terjadi dengan demokrasi adalah mustahil siapapun bisa tiba-tiba menjadi kandidat presiden. Realita yang terjadi adalah kandidat haruslah punya dukungan finansial kuat baik dari kekuatan finansial sendiri atau dari sponsor. Untuk menjadi presiden memerlukan dana kampanye dan sosialisasi.
Bahkan di negara yang mengaku sebagai kampiun demokrasi Amerika Serikat punya persyaratan tambahan tak tertulis untuk jadi presiden yaitu harus mendapatkan dukungan lobby Yahudi dari berbagai lembaga Yahudi dan tokoh Yahudi di Amerika.
Maka di negara demokrasi diperlukan tim sukses yang menjadi tim penentu seorang kandidat menjadi presiden. Tim sukses ini tugasnya bukan mensukseskan pemilu dengan jujur, adil, dan dapatkan hasil terbaik, tapi mensukseskan kandidatnya terpilih dalam pemilihan. Tugasnya bukan semata mengenalkan kandidatnya ke masyarakat agar terpilih, tapi bahkan bertugas memanipulasi kandidat agar jika dia maling terlihat jadi baik dan dermawan, jika dia pembohong agar terlihat jadi jujur, jika dia kasar terlihat santun.Â
Semua berita negatif di counter back, semua berita positif di naikkan intensitasnya semaksimal mungkin. Selain menyiapkan strategi kampanye, tim sukses melakukan berbagai strategi serangan ke lawannya dan strategi bertahan dari serangan lawan.Â
Ada mata-mata yang bertugas mencari kelemahan lawan untuk dibukan disaat injury time sehingga tak bisa lakukan recovery. Ada strategy black campaign ke lawan dan menyerang semua aspek dari lawannya. Juga melakukan penjelasan dan pertahanan dari serangan yang sama dari lawan.
Hasil dari proses demokrasi itu apa ? Di Indonesia banyak kejadian nyaris semua anggota parlemen jadi tersangka suap seperti yg terjadi di DPRD malang. Banyak kepala daerah yang hanya menjabat kurang setengah dari masa jabatan karena harus jadi tersangka. Sekian banyak biaya berdemokrasi besar itu hanya lahirkan sekian persen pejabat negara yang korup, bayar mahal dan harus menanggung kerusakan akibat korupsi produk mahal tersebut.
Apakah negara lebih baik dengan demokrasi ? Tidak juga. Presiden dipilih langsung, demikian pula gubernur dan bupati dan juga anggota parlemen. Tiap orang merasa punya legitimasi mewakili rakyat lewat pemilu. Presiden bisa ngomong A tapi di torpedo oleh gubernur yang ngomong B. Atau Bupati yang ngomong C dimentahkan oleh presiden yang ngomong D. Di negara monarki hal ini tak terjadi. Raja bertitah dan semua ikut kehendak raja, efisien.
Apakah demokrasi membuat rakyat makin sejahtera ? Tidak juga. Di banyak negara monarki seperti Brunai, UAE, Saudi Arabia, rakyat bahkan mendapat tunjangan dari negara. Kesehatan gratis, pendidikan gratis, tak ada pajak penghasilan.
Demokrasi sistem politik yang sebenarnya baik tapi mudah dimanipulasi dan mudah ditunggangi terutama oleh pemilik modal besar. Pernah kejadian di negeri ini ada pasal Undang-undang yang harus menyesuaikan dengan keinginan dari konglomerat besar yang merasa jadi pembayar cukai dan pajak yang besar.
Karena itu harus dibuat sistem politik yang efisien seperti Monarki tapi membuat negeri tak dikuasai oleh sekelompok anggota dinasti atau bahkan pemilik modal yang bisa menyetir dan mengendalikan penguasa dengan kekuatan uang yang dimilikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H