Bagi generasi milenia permainan gundu dan lompat tali bagai permainan alien dari planet Krypton. Mungkin di pelosok desa Indonesia permainan ini masih sering dimainkan anak-anak. Anak-anak urban Indonesia lebih banyak bermain dengan perangkat gadgetnya. Permainan ini hanya melatih mata dan kecepatan jarinya menyentuh screen dan tak melatih otot motorik lainnya.
Permainan tradisional seperti ini sebenarnya mengajarkan filosofi kerjasama dan sportifitas yang tinggi. Hal utama dari permainan ini adalah adanya aturan yang meskipun tak tertulis ditaati oleh semua pemain. Giliran menembak, tak mencuri jarak tembakan dan kemudian menerima apapun hasilnya. Kalau ada yang tak taat aturan maka permainan bisa bubar.
Menang dan kalah bisa diterima sebagai perputaran nasib seperti halnya gundu berputar sebelum gacoan mengenai gundu sasaran.
Permainan lompat tali juga sebenarnya mengajarkan kerjasama dan harmonisasi antar berbagai pihak. Pertama harmonisasi antara dua pemegang tali dan harmoni dengan pelompatnya sendiri yg harus mengikuti ritme putaran tali. Jika tak ada kerjasama dan ada yg tak mau mengikuti ritme maka dia akan tersangkut tali dan permainan akan terhenti.
Ketika permainan usai, baik yang kalah dan menang kembali bergandengan tangan untuk kembali bermain di periode yang lain besok hari. Tak akan pernah asik kalau sebelum besok tiba tapi pemenang sudah ditetapkan dengan menetapkan calon tunggal pemenang dengan berbagai alasan.
Seharusnya politik bisa dianalogikan dan menganut filosofi dasar dari permainan tradisional tersebut. Politik pada dasarnya hanyalah permainan sekelompok manusia di tataran geografis tertentu di salah satu pojokan bumi yg ada di lingkup semesta raya. Siapapun terpilih tak akan membuat bintang Sirius B di kejauhan akan jadi lebih cemerlang sinarnya apalagi membuat Planet Kepler 452B berotasi lebih cepat.
Para pemain politik sebenarnya bukanlah hanya para caleg atau cabup yang sudah sibuk mendeklarasikan diri meskipun hanya sebagai wakil cabup meskipun tak jelas siapa cabupnya. Subyeknya adalah para rakyat yang menjadi stakeholder utama permainan, karena semua yang lain itu pada ujungnya hanya mengaku baik sebagai wakilnya rakyat ataupun menjadi abdi bagi rakyat.
Para subyek utama seharusnya bukan berfokus pada kemenangan tapi pada ketaatan mentaati aturan yg sudah dibuat. Menang dan kalah itu implikasi, kejujuran akan membuat permainan menjadi asik, dan kecurangan dan keserakahan membuat permainan lebih baik dihentikan.
Politik itu sebenarnya antara lain hanya mengatur kapan jalan didepan rumah harus diaspal dengan dana urunan bersama. Politik jg mengatur apa yang harus diajarkan disekolah demi kemashalatan bersama. Inilah yg dinamakan produk politik dalam bentuk berbagai kebijakan yg seharusnya tujuannya demi kebaikan bukan kesempatan menekan-nekan atau memanfaatkan kesempatan bagi yang lain.
Jadi kalau ada yg interpretasikan produk hukum pengendara harus berkonsentrasi mengemudi sampai melarang mendengarkan musik atau melihat GPS sesaat seperti sesat menengok kaca spion dan cermin ke belakang mobil itu seperti orang yg merasa negara itu warisan sedulurnya dan hukum adalah interpretasi dia seorang.
Yang repot adalah ketika politik dianggap sebagai sarana untuk meraih kekuasaan. Parpol dianggap sebagai kendaraan politik dan presiden dianggap prestise jabatan tertinggi yang jadi idaman setiap orang.Â
Kalau ini yang terjadi etika politik akan disingkirkan karena orientasinya adalah kekuasaan. Jika ini terjadi maka diperlukan konsultan politik dan pencitraan, untuk memoles wajah bopeng jadi mulus, otak miring jadi seakan lurus, yg pada hakekatnya memberikan ke orang produk polesan yang tak mencerminkan pribadi sebenarnya.Â
Nanti setelah sekop dilempar dan hadiah juga dilempar dari jendela barulah terungkap karakter asli yang tak beretika dan terlihatnya wujud dan wajah sebenarnya yang ternyata sosoknya hanya sosok yg hanya sanggup memikirkan lomba burung, makanan kodok, atau kambing beranak. Jangan berikan beban terlalu besar memikirkan yang lain apalagi memikirkan implikasi makroekonomi karena kebijakan ngutang di warung atau apalagi implikasi one belt one road dari imperium kerajaan utara.
Akhirnya sebagai stakeholder terbesar, apapun yang terjadi itu memang merupakan ujian untuk menguji rasa dan sensitiftas. Apakah sensor untuk bedakan benar dan salah masih berfungsi. Apakah keperdulian dan keberanian untuk bersuara masih ada. Jika Firaun tak ada, maka Musa pun tak perlu diuji dan dilarung ke sungai Nil. Jika Namrud tak zhalim, maka Ibrahim pun tak perlu ada untuk berdiri berargumen dihadapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H