Politik adalah kepentingan. Politik menjadi luhur apabila kepentingan yang digunakan dalam berpolitik adalah kepentingan rakyat banyak atau mayoritas banyak. Sebaliknya politik menjadi nista apabila kepentingan yang digunakan adalah kepentingan sekelompok kecil yang ingin menguasai semua akses kekuasaan dan akses ekonomi.
Dalam berpolitik dan bernegara tak akan pernah ada kebijakan yang akan memuaskan semua pihak. Selalu ada pihak yang tak puas dengan berbagai policy yang diluncurkan. Tapi acuan yang dipakai adalah kepentingan rakyat banyak atau mayoritas rakyat yang secara prinsip demokrasi adalah sah-sah saja. Bahkan dalam prinsip demokrasi, kepentingan 50% plus satu suara mutlak harus dijadikan kebijakan bernegara.
Pilkada DKI telah lewat dan hanya menyisakan banyak kekecewaan kepada para pendukung patahana yang sampai hari ini masih melancarkan berbagai aksi menolak vonis hakim yang sebenarnya sudah dilakukan dengan proses hukum yang benar. Meskipun demikian adalah menarik untuk kembali meninjau ulang proses pilkada di DKI sampai dengan titik klimaks kekalahan Ahok.
Ahok sewaktu menjadi wagub dengan gubernur Jokowi, bukanlah kader atau calon dari PDIP. Ahok bisa menjadi cawagub karena diusulkan oleh Prabowo dengan partai Gerindranya. Entah mengapa di tengah jalan, Ahok yang popularitasnya menanjak cepat memutuskan keluar dari Gerindra, suatu tindakan khianat dari partai yang sebelumnya telah mendukungnya. Ini ibarat air susu dibalas air tuba. Jasa baik Gerindra yang mengusungnya dibalas dengan tindakan keluar dari Partai dengan alasan yang tidak jelas.
Keluar dari Gerindra Ahok berniat maju sebagai calon gubernur dengan jalur independen dengan alasan sudah tak percaya lagi kepada partai. Kawan Ahok terbentuk dan anak-anak muda itu bergerilya mengumpulkan KTP dukungan yang diklaim bahkan lebih dari 1 juta KTP meskipun tak pernah ada yang secara nyata memvalidasi dan memverikasi klaim 1 juta KTP tesebut.
Ahok popularitasnya menanjak cepat meskipun dikalangan ummat Islam banyak yang risih dengan mulut Ahok yang suka memaki dan kasar. Dalam suatu interview live, ahok dengan mata melotot memaki t**k berulang kali meskipun sudah diingatkan oleh pewawancara bahwa sekarang sedang live.
Ahok jadi kontroversial dan pada September 2016 PDIP akhirnya juga ikut mencalonkan Ahok mengikuti Nasdem dan Golkar.
Pilihan PDIP ini sangat kontroversial karena Ahok adalah tokoh kontroversial. Saat itu mungkin elektabilitas ahok tinggi, tapi pihak yang menolak ahok juga tak kalah banyaknya. PDIP begitu nekat memilih seorang yang meskipun populer tapi juga punya resistansi tinggi.
Ditengah jalan muncullah kasus penistaan di kepulauan Seribu dalam suatu acara temu nelayan. Acara yang seharusnya membahas tentang budidaya ikan, diselipi Ahok dengan pembicaraan tentang rencananya untuk kembali maju menjadi gubernur seraya membahas tentang surah Al-Maidah ayat 51, yang dikutip dari Al-Quran, kitab suci dari agama yang bukan agama dianut oleh Ahok. Ahok telah melakukan aksi lompat pagar. Membahas kepercayaan dari agama yang bukan agama yg dianutnya.
Akhirnya kasus ini menjadi viral dan merebak, kemudian beberapa LSM Muslim melaporkan Ahok setelah MUI membuat fatwa bahwa Ahok telah menistakan agama. Â Perjalanan kasus ini luar biasa menyita perhatian khalayak ramai terutama ummat Islam. Berbagai aksi damai dilakukan untuk mengawal proses hukum yang dirasakan timpang karena Ahok tak ditahan dan bahkan perlu waktu lama untuk dijadikan tersangka.
Berbagai aksi ini ternyata berimbas besar, karena aksi ini meskipun seringkali tak diliput oleh media mainstream tapi beredar cepat lewat sosial media dan whatsapp group. Ada jutaan foto tentang megahnya aksi 212 yang dihadiri oleh jutaan massa yang melakukan aksi dengan sangat damai, bersih, dan bahkan tak mematahkan dan menginjak rumput. Undangan-undangan berbagai aksi ini juga tak pernah dimuat di iklan koran satu halaman penuh, tapi cukup lewat media sosial yang hanya dalam hitungan detik mencapai jutaan orang. Setiap aksi tak kurang dari 100 ribu orang yang datang dengan puncak aksi 212 yang diperkirakan dihadiri 7 juta orang, sebuah aksi damai terbesar yang pernah terjadi di bumi.
Berbagai aksi ini menimbulkan rasa antipati tinggi terhadap PDIP, Nasdem, dan Golkar. Pilkada serentak 2017 menjadi saksi bagaimana puluhan kepala daerah dari partai-partai ini harus meratap gagal, bahkan Propinsi Banten dan DKI lepas dari genggaman PDIP. Pilkada 2018 yang datang menjelang juga bisa menjadi kuburan bagi PDIP, Nasdem, dan Golkar. Ini semua gara-gara antipati yang muncul karena ketiga partai inilah yang telah membuat Ahok sang penista maju dalam pilkada DKI.
Ada pepatah mengatakan jangan letakkan telur dalam satu keranjang yang sama, agar jika terjadi apa-apa tak semua telur pecah. Â Kebijakan menjadikan Ahok sebagai kandidat PDIP meskipun Ahok adalah tokoh kontroversial telah digambarkan pepatah itu, semua telur pecah dan terancam PDIP tak akan punya gubernur yang bertahta di pulau Jawa ketika pilpres 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H