[caption caption="Ilustrasi: Kompas/Yuniadhi Agung"][/caption]Berulang kali masalah seputar kehalalan makanan menjadi issue panas di Indonesia. Seperti beredarnya berita bakso yang bercampur daging babi, resto terkenal yang sudah kadaluarsa sertifikasi halalnya, makanan beredar yang tak mempunyai label halal, dan lain sebagainya. Selain itu muncul pula berita keberatan kalangan produsen makanan mengenai proses sertifikasi halal yang dianggap merepotkan karena sertifikat halalnya hanya berlaku dalam periode empat tahun.
Issue makanan halal pernah menjadi issue nasional tahun 1988. Kehebohan itu bermula ketika Dr. Tri Soesanto yang merupakan seorang ahli teknologi pangan Universitas Brawijaya di Malang melakukan survey dengan dibantu mahasiswanya dan mendapatkan list 34 jenis makanan populer yang diindikasi menggunakan lemak babi. Entah bagaimana tiba-tiba daftar itu diubah orang dan menjadi 63 jenis makanan termasuk kecap, susu, pasta gigi dan berbagai makanan lainnya. Akibatnya sungguh tak terduga, banyak produsen yang turun omzetnya sampai 75% dan bahkan di wilayah tertentu tak berani menjual produknya karena diterpa issue masuk dalam list makanan yang menggunakan lemak babi.
Dari sini dimulainya insiatif agar pemerintah bertindak untuk melindungi konsumen muslim di Indonesia yang merupakan negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia yang juga berarti negara dengan konsumen muslim terbesar di dunia. Dalam perjalanannya sempat terjadi tarik menarik antara keinginan menerapkan labelisasi halal atau sertifikasi halal dan siapa yang berhak melakukannya. Sempat pula ada pihak-pihak yang mengusulkan agar setiap kemasan makanan halal harus ditempel dengan stiker halal dan harus mengganti ongkos cetak sebanyak Rp. 10 per stiker. Perumusan dan pembahasan UU ini memakan waktu cukup panjang dan akhirnya tanggal 17 Oktober 2014 Presiden SBY menandatangani UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal setelah disetujui oleh DPR satu bulan sebelumnya.
Tulisan ini bertujuan mencoba kembali membuka diskusi tentang makanan halal terlepas dari UUPJH yang baru seumur jagung dan mungkin beberapa peraturan pendukungnya belum tersedia. Diharapkan beberapa masukan bisa dijadikan revisi UUPJH atau direfleksikan dalam berbagai peraturan pendukungnya.
[caption caption="Sumber foto : http://food.technoorbit.com/?page_id=45"]
Tujuan utama Jaminan Produk Halal
Tujuan utama dari Proses Produk Halal (PPH) Â adalah menjamin bahwa masyarakat Indonesia yang beragama Islam mengkonsumsi makanan halal baik dari bahan yang digunakan atau proses pembuatannya.
Sertifikasi Halal atau Label Haram.
Dalam UUJPH pasal 4 disebutkan : "Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal."
Produsen makanan wajib mengikuti proses untuk mendapatkan sertifikat halal. Produsen juga wajib menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal (pasal 25). Meskipun demikian produk yang telah bersertifikasi halal tak berarti selamanya produknya pasti halal. Bisa saja ada produsen yang nakal dan sengaja melanggar pasal 25 dengan mengganti bahan yang digunakan dengan bahan yang tidak halal dengan tujuan mengurangi biaya produksinya, meskipun ini diancam dengan denda administratif atau pencabutan sertifikat halal (pasal 27).
Sertifikat halal yang sudah habis masa berlakunya  selama 4 tahun juga tak berarti produknya menjadi haram ketika sertifikatnya kadaluarsa.
Dari argumen diatas jelas bahwa sertifikasi halal bukanlah cara terbaik untuk memastikan produk bersertifikat halal benar-benar merupakan produk halal baik dari sudut bahan yang digunakan dan cara pemrosesannya. Cara untuk memastikan kepastian produk benar-benar halal adalah dengan melakukan pemeriksaan dan pengujian  setiap kali dilakukan pengadaan bahan dan sepanjang waktu pemrosesan yang mana pengujian semacam ini mustahil dilakukan. Cara yang lebih masuk akal adalah dengan melakukan inspeksi berkala secara acak untuk memeriksa produsen yang mengklaim dirinya sebagai produsen produk halal.Â
Daripada menerapkan ketentuan wajib mempunyai sertifikat halal, lebih baik dan mudah menerapkan ketentuan wajib memberi label haram bagi produk produsen makanan yang tak sanggup memenuhi ketentuan kehalalan produk. Dengan prinsip ini maka semua produk yang beredar di Indonesia pada dasarnya adalah produk halal, kecuali menempelkan label haram.
Meskipun demikian, produsen makanan baik pabrikan makanan, restoran, dan tempat makan lainnya wajib mengikuti program edukasi cara membuat produk halal dan ini bisa dijadikan syarat untuk mendapatkan izin usaha. Program edukasi ini bisa diselenggarakan pemerintah dengan bantuan MUI dan ormas Islam yang ada. Edukasi ini materinya sederhana karena hanya mengenalkan bahan-bahan yang dianggap tidak halal digunakan dalam makanan dan bagaimana cara pemrosesannya secara halal.
Dengan demikian maka semua produsen/importir makanan/pengusaha restoran pada dasarnya harus menempel label haram kecuali yakin semua bahan yang digunakan dan cara pemrosesannya sudah sesuai dengan ketentuan produk halal. Jika produknya halal maka tak perlu mencantumkan keterangan dan label apa-apa.
Pemasangan daftar bahan yang digunakan
Ketentuan ini sudah lama diterapkan untuk produk makanan dimana kemasannya tercantum semua bahan yang digunakan untuk membuat produk tersebut. Meskipun demikian untuk restoran dan tempat makan yang tak menggunakan tanda haram perlu untuk memasang informasi mengenai merek dan jenis bahan yang digunakan untuk berbagai menu masakan yang ada dalam restoran tersebut.
Sebaliknya restoran non halal yang sudah menempel tanda haram di pintu masuknya tak perlu lagi mencantumkan daftar bahan makanan yang digunakan.
Informasi ini bisa cukup ditulis dalam board atau sebagai tambahan informasi di menu makanan dan bisa jelas terbaca oleh pengunjung. Ketentuan ini tak berlebihan dan tak akan merepotkan karena hanya informasi ini hanya berubah jika ada perubahan dari bahan yang digunakan. Dengan demikian pengunjung muslim akan merasa aman apabila masuk ke restoran apa saja selama restoran itu tak memasang tanda makanan haram di pintunya dan pengunjung bisa memvalidasi bahan yang digunakan dalam restoran tersebut dengan memeriksa daftar bahan yang digunakannya.
Pengunjung diingatkan bukan restoran halal
Restoran yang memasang label haram di pintunya juga sebaiknya diminta untuk kembali mengingatkan pengunjung bahwa restoran ini bukanlah restoran halal. Pelayan hanya perlu waktu sepuluh detik menyampaikan informasi ini dibandingkan dengan waktu untuk mencatat pesanan makanan yang bisa mencapai sepuluh menit bahkan lebih.
Pengunjung yang datang berkunjung ke restoran haram bisa disapa dengan "Selamat siang, kami ingatkan bahwa restoran ini bukan restoran halal, ada yang bisa kami bantu ?".
Ketentuan ini diperlukan untuk mencegah kejadian pengunjung muslim secara tak sadar masuk dan mengkonsumsi makanan di restoran tersebut karena terlewat membaca restoran haram di pintu masuk.
Alternatif lain bisa juga dengan menggunakan pengenaan warna meja dan kursi, yaitu restoran yang non halal harus mengecat mejanya dengan warna tertentu, misalnya warna hitam/merah.
Peran MUI
Undang-undang JPH menyebutkan beberapa kali peran MUI yang antara lain mengeluarkan fatwa halal tertulis yang digunakan sebagai dasar bagi BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal), Â melakukan sertifikasi Auditor Halal, memberi fatwa kepada menteri tentang bahan yang diharamkan, melakukan sidang fatwa halal, dan akreditasi LPH (bekerjasama dengan BPJPH).
Dari beberapa peran MUI diatas maka pemberian peran untuk mengeluarkan fatwa halal tertulis lewat sidang fatwa halal tampaknya berlebihan. MUI adalah lembaga berisi Pakar dan Ulama yang mumpuni yang tak layak diturunkan levelnya hanya untuk bersidang memutuskan kehalalalan permen nano nano atau Indomie rasa tomyam goong.
MUI layak bersidang untuk hal-hal yang belum ada presedennya dan perlu fatwa untuk menetapkan kehalalannya, misalnya apakah anak domba yang diberi vitamin dari hormon babi masih tetap halal dagingnya setelah dewasa ?
Jika MUI harus bersidang untuk menetapkan kehalalan satu produk atau menu di satu restoran, apakah MUI juga harus bersidang untuk menetapkan makanan yang disajikan istri saya di rumah?
Peran Pemerintah
Peran pemerintah sangat terang dan jelas di UUJPH ini. UU ini bahkan mengamanahkan dibentuknya paling tidak 2 lembaga baru yaitu BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) dan LPH (Lembaga Pemeriksa Halal)
Sayangnya sanksi yang dikenakan untuk pelanggaran UU ini terlapau ringan yaitu pencabutan sertifikasi halal dan denda administratif (Pasal 27).
Jika sertifikasi dihilangkan dan diganti dengan labelisasi bagi produk haram, maka pelanggarannya sebaiknya dikenakan sebagai tindakan kriminal karena paling tidak sudah melakukan penipuan terhadap masyarakat.
Pada akhirnya tetaplah peran masyarakat menentukan untuk tetap proaktif memeriksa dan memvalidasi apapun yang dikonsumsinya apakah merupakan produk yang halal.
Â
Notes :Â Sumber : UU no 30 tahun 2014
Kredit :Â Terima kasih kepada Dr. Ir. Rosi Febriana atas kontribusi dan diskusinya yang menjadi inspirasi untuk menulis tulisan ini.
http://food.technoorbit.com/?page_id=45
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H