Mohon tunggu...
MUHAMMAD ARIS
MUHAMMAD ARIS Mohon Tunggu... Wiraswasta - Muhammad Aris

1. Unfrel (University Network for Free Election) Jambi 1999. 2. Wartawan Jambi Independent 1999-2008. 3. Komisioner KPU Kab. Batang Hari, Jambi 2008-2013. 4. Pengurus KONI Kab. Batang Hari 2010-2018. 5.Sekretaris Pokja Ketahanan Pangan Kab.Batang Hari 2011-2016. 6. Sekretaris DPD KNPI Kabupaten Batanghari 2013-2016. 7. Sekretaris Visi Politika Provinsi Jambi 2014-2019. 8. Sekretaris BPD Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) Kab. Batang Hari 2014-2019 dan 2021-2026. 9. Pengurus Karang Taruna Kab. Batang Hari 2016-2021. 10. Tim Ahli DPRD Kab. Batang Hari, Jambi 2014- skrg. 11. Ketua Dewan Penasehat SMSI (Serikat Media Siber Indonesia) Kab. Batang Hari 2019-2024. 12. Pengurus JaDI (Jaringan Demokrasi Indonesia) Provinsi Jambi 2019-2024. 12. Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kabupaten Batang Hari 2021-2026. 13. Advokat.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Tegas! Pemenang Calon Tunggal Pilkada Tidak Diukur dari Tingkat Partisipasi Pemilih

6 Agustus 2024   22:47 Diperbarui: 8 Agustus 2024   17:31 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pertarungan calon tunggal pilkada. f: kontan.co.id

TEGAS dan jelas!, tidak ada satupun regulasi yang mengatur penetapan pemenang pasangan calon tunggal melawan kotak kosong diukur dari tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Pernyataan tegas ini sekaligus menjawab isu kencang yang beredar di publik ditengah perhelatan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024.

Pernyataan tegas ini disampaikan Titi Anggraini, Dewan Pembina Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) sebagai pembicara melalui webinar pada 4 Agustus 2024, yang dilaksanakan CONSID (The Constitutional Democracy Initiative), sebuah organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia yang mengusung topik : "Menggugat Fenomena Calon Tunggal Pilkada Serentak 2024"

Menurut Titi Anggraini, yang juga pengajar Ilmu Kepemiluan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), menegaskan, itu pemahaman hoaks (tidak dapat dipercaya) jika penetapan pemenang pasang calon tunggal melawan kotak kosong ditentukan dari tingkat partisipasi pemilih. 

"Perlu kita luruskan, pemenang paslon tunggal peserta Pilkada bilamana meraih suara lebih dari 50 persen dari suara sah pemilih, artinya tidak diukur berdasarkan dari tingkat partisipasi pemilih pada suatu pemilihan," tegas Titi Anggraini, sekaligus menjawab pertanyaan dari salahsatu peserta, M. Aris, SH, Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kabupaten Batang Hari yang hadir dalam forum webinar tersebut.

Menurut Titi Anggraini, merebaknya pandangan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dimasyarakat saat ini, termasuk di wilayah Kabupaten Batang Hari, Jambi tentang beredarnya pemikiran bahwa jika partisipasi pemilih tidak mencapai 75 persen pada perhelatan paslon tunggal pilkada, maka tidak ada penetapan pemenang. 

"Pemahaman itu tidak benar, tidak ada penetapan pemenang calon tunggal pilkada berdasarkan partisipasi pemilih yang harus terpenuhi minimal 75 persen, karena memang dalam regulasi pilkada tidak diatur, tolong pandangan ini diluruskan," tegas Titi Anggraini.

Para narasumber webinar : Menggugat Fenomena Calon Tunggal Pilkada Serentak 2024. f: CONSID.
Para narasumber webinar : Menggugat Fenomena Calon Tunggal Pilkada Serentak 2024. f: CONSID.

Karena itu, kata Titi Anggraini, penetapan pemenang pada perhelatan yang hanya diikuti satu pasangan calon peserta Pilkada wajib merujuk pada ketentuan Pasal 54D ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang tegas menyebutkan, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan satu pasangan calon, jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah. "Jadi tolak ukur pemenang pada Pemilihan satu pasangan calon adalah jika meraih suara lebih dari 50 persen dari suara sah, bukan berdasarkan tingkat (minimal 75 persen) partisipasi pemilih," tegas Titi Anggraini.

Faktor Calon Tunggal.

Ada beberapa faktor munculnya calon tunggal pilkada,  menurut Titi Anggraini, diantaranya; mengamankan kemenangan sejak awal, orientasi menang lebih mudah bertarung dengan partai politik daripada bertaruh dengan suara rakyat,  makin beratnya syarat pencalonan baik dari jalur perseorangan ataupun partai politik, hegemoni kekuatan petahana atau kerabat petahana (dinasti), sentralisasi pencalonan pilkada (mekanisme tiga pintu: rekomendasi pengurus di kabupaten/kota, provinsi dan (wajib) di DPP), mahar politik dalam pencalonan, problem kaderisasi dikelembagaan partai (tidak ada calon potensial untuk diusung akibat kaderisasi beriorentasi pada figur dan segelintir elit, figur potensial justru terpilih di pemilu DPR/DPRD, sehingga enggan maju di Pilkada karena tidak mau mundur dari DPR/DPRD), fenomenal elektabilitas yang terlampaui jauh jaraknya antara satu calon dengan calon lainnya, kondisi internal partai yang tidak solid diperburuk apabila terjadi perpecahan, politik biaya tinggi dalam konstelasi pilkada, mayoritas disebabkan oleh penggunaan dana-dana ilegal, pragmatis partai politik (ketimbang kalah dan keluar banyak uang, lebih baik membangun posisi tawar dengan calon kuat yang sudah ada.

Disamping itu, kata Titi Anggraini, bahwa pada Pilkada 2024, paslon tunggal pilkada berpotensi kuat akan meningkat akibat calon tunggal menjanjikan kemenangan (52 dari 53 daerah calon tunggal atau 98,11 persen menang), dominasi sentralisasi pencalonan dan otoritas penuh pada Ketua Umum Partai untuk membuat keputusan, upaya duplikasi koalisi pencalonan pilpres sebagai koalisi pencalonan pilkada (misalnya Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk pilkada), kondisi partai politik belum pulih dari sisi solidaritas internal, keuangan dan pemenangan pasca pemilu Serentak 2024, tukar guling koalisi pencalonan antara satu daerah dengan daerah lainnya, melepas satu daerah untuk mendapatkan dukungan pencalonan di daerah lain.

Gayung bersambut, hal senada juga disampaikan, Evi Novida Ginting Manik, Komisioner KPU RI periode 2017-2022 yang juga menjadi narasumber pada forum diskusi webinar tersebut. Menurut Evi, bahwa apa yang telah disampaikan oleh Titi Anggraini benar adanya dan sudah tepat berkaitan dengan penetapan pemenang pada Pemilihan satu pasangan calon adalah jika meraih suara lebih dari 50 persen dari suara sah, bukan berdasarkan partisipasi pemilih, apalagi jika diukur minimal 75 persen dari partisipasi pemilih dalam pemilihan tersebut. Tentunya dasar hukum penetapan pemenang tersebut sudah diatur tegas dalam UU Pilkada dan PKPU. "Kita berharap dalam forum diskusi ini, bisa nantinya mensosialisasikan pemahaman yang benar terkait penetapan pemenang untuk paslon tunggal pilkada ke daerah," kata Evi Novida Ginting Manik.

Dijelaskan Evi, bila kita melihat pada perhelatan Pilkada 2015, 2017, 2018 dan 2020, peserta satu pasangan calon pilkada terus menunjukkan grafik peningkatan. Pada Pilkada 2015 terdapat tiga daerah yang hanya diikuti satu pasangan calon peserta pilkada, lalu 2018 (9 daerah), 2018 (16 daerah) dan 2020 (25 daerah). "Dari 53 daerah yang diikuti hanya satu pasangan calon peserta Pilkada, ternyata 52 daerah paslon yang berhasil memenangkan pertarungan melawan kotak kosong, hanya 1 daerah (Kota Makassar) yang memenangkan kotak kosong," katanya.

grafis tren peningkatan calon tunggal pilkada di Indonesia. f: dokpri.
grafis tren peningkatan calon tunggal pilkada di Indonesia. f: dokpri.

Meningkatnya peserta calon tunggal disetiap perhelatan pilkada, mendapat kritikan dari Evi Novida Ginting Manik, menurutnya, secara prinsip pemilihan dengan mekanisme pasangan calon tunggal melawan kotak kosong dikritik karena tidak menyediakan kompetisi politik di level daerah, menyelenggarakan pemilihan calon tunggal dengan kotak kosong berarti menghilangkan fitur krusial dari demokrasi, yakni; hilangnya kemungkinan representasi warga dalam menentukan pilihan berdasarkan nilai yang sama, dan pilkada yang seharusnya berfungsi untuk mengontestasikan berbagai macam tawaran ide dari masing-masing calon pemimpin tidak akan terjadi apabila pemilihan tersebut dilangsungkan hanya dengan satu pasangan calon.

Buruk Untuk Demokrasi.

Calon tunggal peserta pilkada yang harus melawan kotak kotak, menurut Evi Novida Ginting Manik, dinilai dapat memperburuk perkembangan demokrasi di Indonesia, diantaranya; mengurangi pilihan untuk pemilih, kurangnya kompetisi, berpotensi menurunkan partisipasi pemilih, peluang untuk terjadinya praktik korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, kurangnya akuntabilitas, dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat dan merusak asas keterwakilan.

Alternatif Kebijakan.

Dalam rangka mengevaluasi prinsip demokrasi dari sisi regulasi untuk memperbaiki sistim kepemiluan yang akan datang, kebijakan ini menawarkan beberapa opsi kebijakan untuk memenuhi asas keadilan bagi kontestasi politik pasangan calon tunggal melawan kotak kosong, yakni; mempermudah proses pendaftaran melalui pengurangan ambang batas pencalonan, mempermudah proses pendaftaran melalui jalur independen dan membuat sebuah konstruksi hukum yang berisi aturan menyeluruh kepada kotak kosong jika kontestasi pasangan calon tunggal tetap dipertahankan.

Karena itu, kata Evi Novida Ginting Manik, bahwa untuk kontestasi pilkada pasangan calon tunggal melawan kotak kosong adalah mengaplifikasi realitas politik yang ada, tetapi dengan menambahkan regulasi-regulasi menyeluruh dengan kerangka asas keadilan, yakni; pendukung kotak kosong memiliki aturan main yang sama dengan pendukung pasangan calon, seperti; terutama mengenai aturan-aturan main kampanye dan masa tenang, mendorong untuk judicial review (JR) bagi UU Pilkada terkait pengaturan yang memberi peluang calon tunggal dan merumuskan regulasi yang mengatur implikasi politis ketika kotak kosong memenangkan kontestasi. (*)

(*Penulis adalah Muhammad Aris, SH/Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kabupaten Batang Hari, JaDi Kabupaten Batang Hari  Lembaga Terakreditasi Pemantau Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Batang Hari 2024/Komisioner KPU Kabupaten Batang Hari 2008-2013/Advokat berdomisili di Kabupaten Batang Hari, Jambi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun