Disamping itu, kata Titi Anggraini, bahwa pada Pilkada 2024, paslon tunggal pilkada berpotensi kuat akan meningkat akibat calon tunggal menjanjikan kemenangan (52 dari 53 daerah calon tunggal atau 98,11 persen menang), dominasi sentralisasi pencalonan dan otoritas penuh pada Ketua Umum Partai untuk membuat keputusan, upaya duplikasi koalisi pencalonan pilpres sebagai koalisi pencalonan pilkada (misalnya Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk pilkada), kondisi partai politik belum pulih dari sisi solidaritas internal, keuangan dan pemenangan pasca pemilu Serentak 2024, tukar guling koalisi pencalonan antara satu daerah dengan daerah lainnya, melepas satu daerah untuk mendapatkan dukungan pencalonan di daerah lain.
Gayung bersambut, hal senada juga disampaikan, Evi Novida Ginting Manik, Komisioner KPU RI periode 2017-2022 yang juga menjadi narasumber pada forum diskusi webinar tersebut. Menurut Evi, bahwa apa yang telah disampaikan oleh Titi Anggraini benar adanya dan sudah tepat berkaitan dengan penetapan pemenang pada Pemilihan satu pasangan calon adalah jika meraih suara lebih dari 50 persen dari suara sah, bukan berdasarkan partisipasi pemilih, apalagi jika diukur minimal 75 persen dari partisipasi pemilih dalam pemilihan tersebut. Tentunya dasar hukum penetapan pemenang tersebut sudah diatur tegas dalam UU Pilkada dan PKPU. "Kita berharap dalam forum diskusi ini, bisa nantinya mensosialisasikan pemahaman yang benar terkait penetapan pemenang untuk paslon tunggal pilkada ke daerah," kata Evi Novida Ginting Manik.
Dijelaskan Evi, bila kita melihat pada perhelatan Pilkada 2015, 2017, 2018 dan 2020, peserta satu pasangan calon pilkada terus menunjukkan grafik peningkatan. Pada Pilkada 2015 terdapat tiga daerah yang hanya diikuti satu pasangan calon peserta pilkada, lalu 2018 (9 daerah), 2018 (16 daerah) dan 2020 (25 daerah). "Dari 53 daerah yang diikuti hanya satu pasangan calon peserta Pilkada, ternyata 52 daerah paslon yang berhasil memenangkan pertarungan melawan kotak kosong, hanya 1 daerah (Kota Makassar) yang memenangkan kotak kosong," katanya.
Meningkatnya peserta calon tunggal disetiap perhelatan pilkada, mendapat kritikan dari Evi Novida Ginting Manik, menurutnya, secara prinsip pemilihan dengan mekanisme pasangan calon tunggal melawan kotak kosong dikritik karena tidak menyediakan kompetisi politik di level daerah, menyelenggarakan pemilihan calon tunggal dengan kotak kosong berarti menghilangkan fitur krusial dari demokrasi, yakni; hilangnya kemungkinan representasi warga dalam menentukan pilihan berdasarkan nilai yang sama, dan pilkada yang seharusnya berfungsi untuk mengontestasikan berbagai macam tawaran ide dari masing-masing calon pemimpin tidak akan terjadi apabila pemilihan tersebut dilangsungkan hanya dengan satu pasangan calon.
Buruk Untuk Demokrasi.
Calon tunggal peserta pilkada yang harus melawan kotak kotak, menurut Evi Novida Ginting Manik, dinilai dapat memperburuk perkembangan demokrasi di Indonesia, diantaranya; mengurangi pilihan untuk pemilih, kurangnya kompetisi, berpotensi menurunkan partisipasi pemilih, peluang untuk terjadinya praktik korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, kurangnya akuntabilitas, dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat dan merusak asas keterwakilan.
Alternatif Kebijakan.
Dalam rangka mengevaluasi prinsip demokrasi dari sisi regulasi untuk memperbaiki sistim kepemiluan yang akan datang, kebijakan ini menawarkan beberapa opsi kebijakan untuk memenuhi asas keadilan bagi kontestasi politik pasangan calon tunggal melawan kotak kosong, yakni; mempermudah proses pendaftaran melalui pengurangan ambang batas pencalonan, mempermudah proses pendaftaran melalui jalur independen dan membuat sebuah konstruksi hukum yang berisi aturan menyeluruh kepada kotak kosong jika kontestasi pasangan calon tunggal tetap dipertahankan.
Karena itu, kata Evi Novida Ginting Manik, bahwa untuk kontestasi pilkada pasangan calon tunggal melawan kotak kosong adalah mengaplifikasi realitas politik yang ada, tetapi dengan menambahkan regulasi-regulasi menyeluruh dengan kerangka asas keadilan, yakni; pendukung kotak kosong memiliki aturan main yang sama dengan pendukung pasangan calon, seperti; terutama mengenai aturan-aturan main kampanye dan masa tenang, mendorong untuk judicial review (JR) bagi UU Pilkada terkait pengaturan yang memberi peluang calon tunggal dan merumuskan regulasi yang mengatur implikasi politis ketika kotak kosong memenangkan kontestasi. (*)
(*Penulis adalah Muhammad Aris, SH/Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kabupaten Batang Hari, JaDi Kabupaten Batang Hari Lembaga Terakreditasi Pemantau Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Batang Hari 2024/Komisioner KPU Kabupaten Batang Hari 2008-2013/Advokat berdomisili di Kabupaten Batang Hari, Jambi).