Mohon tunggu...
SHAKILA ANATASYA
SHAKILA ANATASYA Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

MAHASISWA UNIVERSITAS PRIMA NUSANTARA BUKITTINGGI

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Analisis Yuridis dan Implikasinya Terhadap Perlindungan Anak dari Kekerasan Seksual

30 Januari 2025   01:40 Diperbarui: 30 Januari 2025   01:37 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ABSTARAK

   Kekerasan seksual terhadap anak merupakan salah satu masalah yang sangat serius di Indonesia.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hukum perlindungan anak di Indonesia dan implikasinya terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak.Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum perlindungan anak di Indonesia masih belum afektif dalam mencegah kasus kekerasan seksual terhadap anak.

PENDAHULUAN

   Kejahatan kekerasan seksual terhadap anak merupakan isu serius yang sangat memprihatinkan di Indonesia dan di seluruh dunia.Anak-anak,sebagai kelompok yang rentan,sering kali menjadi sasaran kekerasan seksual,yang berdampak pada kesehatan fisik dan psikologis mereka.Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya.Meskipun berbagai upaya hukum telah dilakukan ,termasuk penguatan peraturan perundang-undangan,perlindungan bagi anak-anak dari kekerasan seksual masih sering kali belum efektif.

PENJELASAN 

   Peningkatan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak pada Tahun 2024

Berdasarkan laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2024. Dalam laporan tahunan KPAI, tercatat sebanyak 4.500 kasus kekerasan seksual terhadap anak, meningkat dari 3.900 kasus pada tahun 2023. Kenaikan sebesar 15% ini mengindikasikan bahwa meskipun berbagai undang-undang dan program pencegahan telah diimplementasikan, insiden kekerasan seksual terhadap anak tetap menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian lebih lanjut.

Analisis data menunjukkan bahwa peningkatan kasus ini tidak hanya terbatas pada daerah perkotaan, tetapi juga terjadi di daerah pedesaan, yang mencerminkan masalah yang meluas dan merata di seluruh wilayah. Selain itu, beberapa faktor seperti kemajuan teknologi dan akses internet yang semakin luas turut memperburuk situasi dengan meningkatnya kasus eksploitasi seksual anak secara online. Penetrasi internet yang semakin tinggi di berbagai daerah menyebabkan anak-anak lebih rentan terhadap predator seksual di dunia maya.

Laporan KPAI juga mencatat bahwa sebagian besar korban adalah anak perempuan, meskipun jumlah kasus yang melibatkan anak laki-laki juga menunjukkan peningkatan. Sebagian besar pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah orang yang dikenal oleh korban, termasuk anggota keluarga, teman, dan tetangga. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan terdekat anak belum menjadi tempat yang sepenuhnya aman. 

Tindakan pencegahan yang ada saat ini masih belum cukup efektif dalam menanggulangi peningkatan jumlah kasus. Pendidikan dan kampanye kesadaran tentang kekerasan seksual, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat umum, perlu ditingkatkan. Penegakan hukum juga harus diperkuat, termasuk memberikan pelatihan khusus bagi penegak hukum untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan lebih sensitif dan efektif.  

Di samping itu, dukungan psikologis dan rehabilitasi bagi korban harus menjadi prioritas. Banyak korban kekerasan seksual yang mengalami trauma jangka panjang yang mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka. Lembaga-lembaga non-pemerintah (LSM) telah memberikan kontribusi signifikan dalam menyediakan layanan pendampingan dan rehabilitasi, namun masih memerlukan dukungan lebih besar dari pemerintah dan masyarakat.

 Secara keseluruhan, peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak pada tahun 2024 menuntut tindakan yang lebih tegas dan terkoordinasi dari semua pihak terkait. Penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan diperlukan untuk mengatasi masalah ini dan melindungi masa depan anak-anak Indonesia.

  Implementasi Perlindungan Hukum Korban Kekerasan Seksual di Indonesia  

Hasil penelitian pada tahun 2024 menunjukkan bahwa implementasi Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih menghadapi berbagai kendala signifikan. Kendala-kendala tersebut meliputi kurangnya sumber daya manusia yang terlatih, terbatasnya anggaran, serta lemahnya koordinasi antar lembaga yang bertanggung jawab dalam perlindungan anak. Berikut ini adalah penjelasan lebih rinci berdasarkan data terbaru:

1. Kurangnya Sumber Daya Manusia yang Terlatih 

    Banyak penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim, belum mendapatkan pelatihan khusus dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pelatihan yang tersedia sering kali tidak memadai untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam menangani kasus-kasus sensitif ini. Akibatnya, proses hukum sering kali tidak sensitif terhadap kebutuhan korban, yang dapat mengakibatkan trauma lebih lanjut bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual.  

2. Terbatasnya Anggaran 

     Anggaran yang dialokasikan untuk implementasi undang-undang perlindungan anak masih sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kurangnya fasilitas dan layanan yang tersedia bagi korban kekerasan seksual, seperti pusat krisis, layanan psikologis, dan dukungan rehabilitasi. Selain itu, keterbatasan anggaran juga mempengaruhi kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelatihan yang memadai bagi penegak hukum dan petugas layanan sosial. 

3. Lemahnya Koordinasi Antar Lembaga 

     Koordinasi antara berbagai lembaga yang bertanggung jawab dalam perlindungan anak, termasuk KPAI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kepolisian, dan lembaga non-pemerintah, masih belum optimal. Sering kali terjadi tumpang tindih tugas dan tanggung jawab serta kurangnya komunikasi yang efektif antara lembaga-lembaga tersebut. Hal ini menyebabkan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak berjalan secara terpadu dan efisien. 

4. Kesenjangan dalam Penegakan Hukum 

     Penegakan hukum yang tidak merata di berbagai daerah juga menjadi kendala. Beberapa daerah memiliki sumber daya dan fasilitas yang lebih baik dibandingkan daerah lain, sehingga penegakan hukum di daerah yang kurang berkembang sering kali lemah. Hal ini menyebabkan ketidakadilan dalam perlindungan hukum bagi anak-anak di seluruh Indonesia.

5. Kultur dan Stigma Sosial

     Faktor budaya dan stigma sosial terhadap korban kekerasan seksual juga menjadi penghambat dalam implementasi undang-undang. Banyak korban yang enggan melaporkan kejadian kekerasan seksual karena takut akan balas dendam dari pelaku atau karena khawatir akan stigma negatif dari masyarakat. Hal ini menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tidak terungkap dan tidak ditangani secara hokum.  

Peran Masyarakat dan Lembaga Non-Pemerintah dalam Perlindungan Anak

Perlindungan anak merupakan tanggung jawab bersama yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga non-pemerintah. Partisipasi masyarakat dan lembaga non-pemerintah sangat penting dalam upaya perlindungan anak karena mereka dapat memberikan dukungan langsung dan melengkapi peran yang dimainkan oleh pemerintah.

 Masyarakat memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak. Masyarakat berfungsi sebagai pengawas dan pelapor bagi penegak hukum, dengan melaporkan kasus kekerasan atau pelanggaran hak anak. 

Kesadaran dan keberanian untuk melaporkan dapat mencegah kekerasan lebih lanjut dan memastikan bahwa pelaku kekerasan mendapatkan hukuman yang setimpal. Melalui pendidikan dan kampanye kesadaran, masyarakat dapat membantu mencegah kekerasan terhadap anak. Kampanye kesadaran dan penyuluhan tentang hak-hak anak dan pentingnya perlindungan anak dapat dilakukan melalui sekolah, tempat ibadah, dan komunitas lokal. 

Masyarakat dapat mengadakan kegiatan edukatif seperti seminar, lokakarya, dan kampanye yang meningkatkan kesadaran tentang hak-hak anak dan isu-isu perlindungan anak. Ini membantu mengubah pola pikir dan sikap yang mungkin mendukung atau mengabaikan kekerasan terhadap anak. Pendidikan orang tua juga penting dalam memberikan pengetahuan tentang cara mendidik anak dengan cara yang positif dan bebas dari kekerasan. Ini mencakup pelatihan parenting yang dapat membantu orang tua mengelola stres dan mendisiplinkan anak tanpa menggunakan kekerasan. Masyarakat juga dapat memberikan dukungan emosional dan psikologis kepada anak-anak yang menjadi korban kekerasan melalui kelompok dukungan, konseling, dan intervensi yang berfokus pada pemulihan korban.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan analisis terhadap perlindungan hukum anak terhadap kejahatan kekerasan seksual di Indonesia tahun 2024, dapat disimpulkan bahwa meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang dirancang untuk melindungi anak-anak, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meskipun telah memberikan landasan hukum yang kuat, belum sepenuhnya efektif dalam mengatasi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang signifikan. Tantangan utama dalam implementasi meliputi kurangnya sumber daya manusia yang terlatih, terbatasnya anggaran, koordinasi antar lembaga yang lemah, serta stigma sosial yang menghalangi korban untuk melaporkan kasus kekerasan seksual.

Dukungan psikososial bagi korban kekerasan seksual sangat penting untuk proses pemulihan mereka. Pendekatan yang holistik, mencakup terapi psikologis, dukungan medis, serta rehabilitasi sosial, berperan penting dalam membantu korban mengatasi dampak trauma dan membangun kembali kehidupan mereka. Keterlibatan masyarakat dan lembaga non-pemerintah dalam memberikan dukungan praktis, edukasi, dan pelatihan juga berkontribusi pada efektivitas perlindungan anak.

Sebagai saran, penting bagi pemerintah untuk memperkuat implementasi undang-undang dengan meningkatkan pelatihan bagi penegak hukum, memperluas anggaran untuk layanan perlindungan anak, dan memperbaiki koordinasi antar lembaga terkait. Masyarakat juga perlu diberdayakan melalui kampanye kesadaran dan pendidikan tentang hak anak serta pentingnya melaporkan kekerasan. Lembaga non-pemerintah sebaiknya terus memperluas jangkauan dukungan mereka, baik dalam bentuk layanan langsung kepada korban maupun advokasi kebijakan. Selain itu, upaya untuk mengatasi stigma sosial yang menghalangi korban untuk melaporkan kekerasan harus menjadi bagian dari strategi pencegahan.

 Dengan langkah-langkah ini, diharapkan perlindungan hukum bagi anak-anak dapat menjadi lebih efektif, sehingga setiap anak dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang. 

DAFTAR PUSTAKA 

Ahmad, J. (2021). Legal protection of child victims of sexual violence: Perlindungan hukum anak

                   korban kekerasan seksual. Universitas Islam Nusantara.  

Andhini, A. S. D., & Arifin, R. (2019). Analisis perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan

                   pada anak di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, 3(1). 

Capah, R., & Fikri, R. A. (2023). Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual.

                   Inovatif: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial, 3(4), 9432--9444. 

Dania, I. A. (2020). Kekerasan seksual pada anak. Ibnu Sina: Jurnal Kedokteran Dan

                  Kesehatan-Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, 19(1), 46--52. 

Darmakanti, N. M., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2022). Implementasi 

                  perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual di kota Singaraja. Jurnal

                  Komunitas Keadilan, 5(2), 1--17. 

Kurnia, I. P. S., Lisnawati, N. F., Veryudha, E. P., Nikmatul, K., Maidaliza, M., & Desi, S. 

                  (2022). Kekerasan seksual. [Details missing]. 

Lewoleba, K. K., & Fahrozi, M. H. (2020). Studi faktor-faktor terjadinya tindak

                  kekerasan seksual pada anak-anak. Jurnal Esensi Hukum, 2(1), 27--48. 

Mahayanti, N. M. A. D., & Landra, P. T. C. (2019). Perlindungan hukum terhadap anak sebagai

                  pelaku pelecehan seksual. Bahasa Pidato, 8(2), 1--16.

  

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun