Mohon tunggu...
Shahnaz Subekhan
Shahnaz Subekhan Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Pancasakti Tegal

Writings.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Maslahat Manusia 4.0

26 November 2020   13:07 Diperbarui: 26 November 2020   13:08 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia ialah makhluk yang paling gagah sekaligus paling misterius. Bisa dipastikan, jagad raya ini akan menjadi sangat "sepi" jika Tuhan tidak menciptakan manusia. Manusia yang dalam dirinya menyimpan banyak unsur --- setidaknya jasmani dan rohani --- telah menjadi sebuah "kerajaan besar" yang menyimpan jutaan misteri. Unsur-unsur di dalam diri manusia berjalin-kasih antara yang satu dengan yang lain sehingga menciptakan suatu kesatuan yang padu.

Krisis kemanusiaan dewasa saat ini telah mengarah pada kemerosotan harapan dan gagasan Pencerahan dengan bantuan-bantuan yang darinya kemajuan politik dan ekonomi kita telah mulai. Gagasan kemajuan yang semacam itu disebut sebagai ilusi "realisme", yang kekekanak-kanakan, sebuah kata baru yang sama sekali kekurangan keyakinan atas manusia, dikhobatkan sebagai penggantinya.

Ide perihal kejujuran dan kekuasaan manusia, yang memberi manusia keperkasaan dan keberanian untuk meraih pencapaian-pencapaian yang sangat luar biasa pada beberapa abad belakangan ini ditentang oleh dorongan bahwa kita harus kembali kepada penerimaan puncak atas ketidakberdayaan dan ketidak berartian manusia.

Manusia 4.0 seringkali merasa gelisah dan gamang. Ia bekerja dan berjuang namun secara samar-samar sadar akan rasa sia-sia atas segenap aktivitasnya. Sementara kekuasaannya mengatasi persoalan telah tumbuh, dia merasa tak berdaya dalam kehidupan individual dan masyarakat. Selagi membuat cara-cara baru dan yang lebih baik untuk menguasai alam, dia telah terjerat dalam jaringan cara-cara itu dan kehilangan visi tujuan yang memberi signifikasi terhadap cara-cara tersebut.

Kondisi-kondisi ini telah mewarnai semua hubungan manusia. Ketika diri individual gelisah, maka hubungan antara orang-orang pasti merupakan kebutuhan yang dangkal, sebab bukan diri mereka sendiri melainkan komoditas yang dapat dipertukarkan itu yang dihubungkan. Orang-orang tidak dapat dan tidak mampu berhubungan dengan apa yang unik dan istimewa pada masing-masing lainnya.


Aku manusia.

Ini Kubagikan kepada manusia lain.

Aku melihat dan mendengar

dan aku makan dan minum

adalah apa yang juga dilakukan semua binatang.

Tapi aku adalah aku hanyalah milikku

dan kepunyaanku

bukan milik siapapun;

bukan milik orang lain

bukan milik malaikat dan juga bukan milik Tuhan

Kecuali lantaran

aku adalah satu dengan-Nya.

-Master Eckart, Fragments

Sepanjang manusia 4.0 mengalami dirinya sebagai penjual sekaligus sebagai barang dagangan untuk dijual di pasar, maka penghargaan dirinya bergantung pada kondisi di luar kendalinya. seandainya dia "berhasil", maka dia bernilai, seandainya tidak, maka dia dianggap tidak memiliki nilai. Seandainya orang merasa bahwa nilainya sendiri tidak dikonstitusikan terutama oleh kualitas kemanusiaan yang dimilikinya, namun oleh keberhasilannya di sebuah pasar yang bertentangan dengan kondisi yang senantiasa berubah, maka penghargaan dirinya pasti goyah dan terus menerus berada dalam kebutuhan atas penegasan oleh orang lain. Alhasil, orang didorong untuk berjuang dengan keras demi meraup kesuksesan dan suatu kemunduran merupakan ancaman nyata bagi penghargaan dirinya, hasilnya adalah ketidakberdayaan, ketidakamanan dan rasa rendah diri.

Yang menjadi persoalan sebenarnya bukan melulu evaluasi diri dan penghargaan diri, melainkan pengalaman orang mengenai dirinya sebagai satu entitas yang mandiri, mengenai identitas dengan dirinya. Individu yang matang dan produktif beroleh perasaan identitasnya dari pengalaman tentang dirinya sebagai agen yang menyatu dengan kekuatan-kekuatannya, perasaan tentang diri ini secara singkat bisa diungkapkan dengan "aku adalah apa yang ku perbuat".

Dalam orientasi pasar, manusia mengalami kekuatan-kekuatannya sendiri sebagai komoditas yang teralienasi darinya. Dia tidak menyatu dengan komoditas itu, namun komoditas tersebut disembunyikan dari dirinya, sebab yang menjadi persoalan bukanlah realisasi diri dalam proses memanfaatkan komoditas tersebut, melainkan keberhasilan dalam menjualnya. Selama manusia hidup, dalam orientasi pasar, beroleh pendirian identitas bukan dari dalam dirinya atas apa kekuatannya melainkan dalam berbagai pendapat orang atas dirinya.

Apakah eksistensi manusia hanya sekedar untuk pemenuhan komoditas saja? Apakah ini berarti manusia bebas meski dia dilahirkan dalam pembelengguan orientasi pasar? Manusia sanggup mengetahui kebenaran dan dia sanggup melakukan sesuatu, namun jika dia dibuat diberdaya dan hidup mengikuti arus, maka jalan pikiran dan kebahagiaannya akan lumpuh menuruti pasar.

Eksistensi manusia 4.0 yang paling "pasar oriented" adalah seseorang tampil berwibawa dengan embel-embel "sederhana" dan "merakyat" sehingga semua orang menaruh rasa kagum dan hormat pada dirinya, padahal sebaliknya perilakunya bertabrakan dengan apa yang selalu dislogani orang-orang pada umumnya. inilah wujud dan gambaran eksistensial manusia yang terlalu keblabasan, padahal eksistensi semacam itu hanya bersifat sementara, temporal dan tidak dapat bertahan lama. sebab yang menjadikan dia sebagai manusia adalah pendapat orang-orang, bukan dari dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun