Tapi aku adalah aku hanyalah milikku
dan kepunyaanku
bukan milik siapapun;
bukan milik orang lain
bukan milik malaikat dan juga bukan milik Tuhan
Kecuali lantaran
aku adalah satu dengan-Nya.
-Master Eckart, Fragments
Sepanjang manusia 4.0 mengalami dirinya sebagai penjual sekaligus sebagai barang dagangan untuk dijual di pasar, maka penghargaan dirinya bergantung pada kondisi di luar kendalinya. seandainya dia "berhasil", maka dia bernilai, seandainya tidak, maka dia dianggap tidak memiliki nilai. Seandainya orang merasa bahwa nilainya sendiri tidak dikonstitusikan terutama oleh kualitas kemanusiaan yang dimilikinya, namun oleh keberhasilannya di sebuah pasar yang bertentangan dengan kondisi yang senantiasa berubah, maka penghargaan dirinya pasti goyah dan terus menerus berada dalam kebutuhan atas penegasan oleh orang lain. Alhasil, orang didorong untuk berjuang dengan keras demi meraup kesuksesan dan suatu kemunduran merupakan ancaman nyata bagi penghargaan dirinya, hasilnya adalah ketidakberdayaan, ketidakamanan dan rasa rendah diri.
Yang menjadi persoalan sebenarnya bukan melulu evaluasi diri dan penghargaan diri, melainkan pengalaman orang mengenai dirinya sebagai satu entitas yang mandiri, mengenai identitas dengan dirinya. Individu yang matang dan produktif beroleh perasaan identitasnya dari pengalaman tentang dirinya sebagai agen yang menyatu dengan kekuatan-kekuatannya, perasaan tentang diri ini secara singkat bisa diungkapkan dengan "aku adalah apa yang ku perbuat".
Dalam orientasi pasar, manusia mengalami kekuatan-kekuatannya sendiri sebagai komoditas yang teralienasi darinya. Dia tidak menyatu dengan komoditas itu, namun komoditas tersebut disembunyikan dari dirinya, sebab yang menjadi persoalan bukanlah realisasi diri dalam proses memanfaatkan komoditas tersebut, melainkan keberhasilan dalam menjualnya. Selama manusia hidup, dalam orientasi pasar, beroleh pendirian identitas bukan dari dalam dirinya atas apa kekuatannya melainkan dalam berbagai pendapat orang atas dirinya.