Ketika membahas kepribadian, sering kali dihubungkan dengan penampilan fisik seseorang, seperti bagaimana cara berjalan seseorang, bagaimana gaya dia dalam berpakaian, bagaimana cara makan. Dan bahkan di Indonesia sedang marak diadakan sekolah-sekolah kepribadian seperti sekolah kepribadian John Robert Power.Â
Jadi sering kali apabila orang yang menggunakan pakaian bagus, mahal dan elegant, itulah orang yang berkepribadian tinggi, meskipun dia jauh dari ketaqwaan terhadap Allah. Dan sebaliknya orang yang pakainnya biasa saja, bahkan bisa dikatakan kumuh, namun masjid merupakan rumah utama dia, dan Allahlah menjadi pelindungnya, dia disebut orang yang kepribadian rendah, bahkan bisa disebut orang yang tidak berkepribadian.Â
Setiap manusia memiliki dua hal yang nampak pada dirinya yang pertama, berkaitan dengan penampilan fisiknya, seperti bentuk tubuh, wajah dan pakaian. Kedua, berkaitan dengan aktivitas dan gerak-gerik manusia. Bagian manakah yang menentukan kepribadian seseorang, sehingga bisa disebut orang yang mempunyai kepribadian luhur atau orang yang memiliki kepribadian binatang. Apakah penampilannya seperti pendapat orang kebanyakan saat ini? atau apakah aktivitasnya?Â
* Kepribadian Islam.
Kalau kita perhatikan lebih jeli tentang apa yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah perbuatannya. Kita sering kali mengidentikan sifat seseorang dengan perbuatannya. Misalkan kita sering menyebut Pak Ahmad yang dermawan, Pak Cholil yang pemarah, bahkan dijaman Rosulullah SAW dan sahabat sering kali orang dipanggil sesuai dengan perbuatannya misalkan Musailamah al Khazab. Jarang sekali kita mengidentikkan seseorang dengan penampilan fisiknya, karena yang paling menonjol dari seseorang itu memanglah perbuatannya. Dan perbuatan inilah yang membedakan antara mansia yang satu dengan manusia yang lainnya.Â
Kumpulan dari perbuatan yang merupakan gambaran dari tingkah laku (suluk) itulah yang menentukan tinggi rendahnya kepribadian seseorang. Sedangkan tingkah laku (suluk) seseorang sangat ditentukan oleh mafhumnya, sehingga tingkah laku itu pastinya tidak akan pernah terpisah dengan mafhum seseorang. Misalkan seseorang yang mempunyai pemahaman bahwasannya Jihad itu wajib maka meskipun dia diancam atau diberi imbalan yang sangat besar agar meninggalkan Jihad ketika ada panggilan untuk berjihad, maka secara tegas dan teguh dia akan menolak untuk meninggalkannya, apalagi dia tahu bagaimana besar pahala orang yang berjihad dijalan Allah.
Tingkah laku adalah aktifitas yang di lakukan dalam rangka memenuhi gharizah (naluri) atau kebutuhan jasmaninya. Tidak satupun perbuatan manusia dilakukan untuk memenuhi kepentingan yang lain, selain memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri tersebut.Â
Meskipun yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan adalah kebutuhan jasmani dan naluri, namun tidak secara langsung dorongan tersebut akan dipenuhi oleh manusia. Sebab, yang menentukan apakah dorongan tersebut dipenuhi atau tidak adalah kecenderungan (muyul) dan mafhum orang tersebut. Oleh karena itu yang yang membentuk kepribadian seseorang itu sesungguhnya adalah pemahamannya terhadap sesuatu serta kecenderungannya pada realita tersebut. Atau dengan istilah lain kepribadian manusia itu merupakan akumulasi daripada aqliyah dan nafsiyahnya. Inilah yang digambarkan oleh Rosulullah SAW dalam sebuah hadist riwayat Muslim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah:
Sesungguhnya Allah tidak akan menilai atas rupa kamu serta harta kekayaan kamu, akan tetapi Dia hanya menilai hati dan amal perbuatan kamu[HR Muslim dan Ibnu Majah]
Unsur kepribadian manusia yang pertama adalah Aqliyah. Kata Aqliyah berasalah daripada bahasa Arab, yaitu dari kata aqal. Sedangkan pengertian aqal adalah kemampuan untuk memutuskan realita tertentu, baik yang berkenaan dengan perbuatan maupun benda, yang didasarkan pada pandangan hidup tertentu.
Sehingga makna aqliyah didefinisikan sebagai cara yang digunakan untuk memahami atau mengambil kesimpulan tentang suatu realita atau fakta tertentu. Sehingga perbedaan aqidah seseorang maka akan terjadi pula perbedaan aqliyah. Apabila aqidah seseorang adalah Islam maka aqliyahnya-pun merupakan aqliyah Islam. Namun itupun dengan ketentuan bahwasannya aqidah tersebut dijadikan sebagai asas berfikirnya. Sebab, adakalanya seseorang secara zahir beraqidah Islam, tetapi aqidah tersebut tidak digunakan sebagai asas berfikirnya, maka aqliyah orang tersebut bukan aqliyah Islam.