Mohon tunggu...
shafwan dzaky
shafwan dzaky Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

futsal,main game

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Berpikir Serius

31 Oktober 2023   19:10 Diperbarui: 31 Oktober 2023   19:35 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Orang yang berpikir ingin menjadi hakim tetapi tidak berusaha mewujudkannya dan hanya berupaya sekadar untuk menjadi karyawan di kantor pengadilan juga tidak bisa dipandang sebagai orang yang berpikir serius ingin menjadi hakim, tetapi hanya mungkin dianggap serius berpikir untuk menjadi seorang karyawan. Demikian pula seseorang yang berpikir agar bisa memberi makan keluarganya tetapi malah bermain-main dan berkeliling di pasar tanpa usaha. Pada saat demikian, ia pun tidak dianggap sebagai orang yang serius dalam memikirkan nafkah keluarganya. 

Demikianlah seterusnya. Walhasil, berpikir serius meniscayakan adanya usaha untuk merealisasikan apa yang dipikirkan, dan usaha tersebut harus setarap dengan tujuannya. Jika seseorang tidak berusaha untuk merealisasikan tujuan dalam berpikirnya-meskipun sampai pada tarap pemikiran tertentu-atau berusaha mewujudkannya tetapi tidak setarap dengan apa yang dipikirkannya, maka ia tidak dianggap serius dalam berpikir.

Klaim seseorang bahwa ia serius dalam berpikir tidaklah cukup untuk membuktikan keseriusannya. Begitu juga usahanya untuk menciptakan berbagai kondisi, fenomena, atau gerakan tertentu; baik berupa gagasan ataupun gerakan fisik; tidak cukup untuk menunjukan bahwa ia berpikir serius. Akan tetapi, yang menunjukkan seseorang serius dalam berpikir adalah upaya realnya untuk melaksanakan berbagai aktivitas fisik yang setarap dengan apa yang dia pikirkan. Dengan demikian, upaya real untuk melaksanakan sejumlah aktivitas fisik yang setarap dengan apa yang dipikirkan merupakan hal yang harus ada demi terwujudkan keseriusan dalam berpikir atau menjadi dalil bahwa seseorang berpikir serius.

Berbagai umat dan bangsa yang terpuruk, individu-individu yang malas, orang-orang yang tidak mau menanggung berbagai risiko, orang-orang yang didominasi rasa malu; rasa takut, atau ketergantungan kepada yang lain biasanya tidak pernah serius dalam apa yang mereka pikirkan. Alasannya, keterpurukan biasanya akan mendorong seseorang untuk senantiasa menginginkan yang mudah-mudah, sehingga dia enggan menyibukan dirinya untuk mengupayakan hal-hal yang lebih sulit dan berisiko; kemalasan bertentangan dengan keseriusan; ketidakmauan menanggung risiko akan memalingkan seseorang dari keseriusan; sementara rasa malu, takut, dan ketergantungan kepada yang lain juga akan menghalangi seseorang dari keseriusan.

Oleh karena itu, upaya mengangkat taraf berpikir, menghilangkan kemalasan, menghapus keengganan untuk menanggung risiko, membedakan antara rasa malu yang wajib dimiliki karena sesuatu dan keberanian, serta senantiasa bergantung pada diri sendiri (mandiri) merupakan beberapa hal yang harus dimiliki. Dengan begitu, akan terwujud keseriusan dalam berpikir pada setiap individu, bangsa, dan umat.

Sebab, keseriusan dalam berpikir tidak akan terwujud secara spontan, tetapi harus selalu diupayakan secara serius untuk diwujudkan.

Harus dipahami bahwa, urgensi atau keharusan dari adanya keseriusan dalam berpikir bukanlah tujuan dari berpikir itu sendiri, atau bukan demi mewujudkan pemikiran itu sendiri (sekadar demi kepuasan intelektual). Akan tetapi, yang betul, berpikir harus dilakukan semata-mata demi meraih suatu manfaat, bagaimanapun wujudnya. Lebih dari itu, berpikir harus dilakukan dalam rangka direalisasikan. Artinya, berbagai pemikiran yang dihasilkan oleh para ulama dan cendekiawan ataupun berbagai pengetahuan yang telah mereka capai sejatinya bukanlah ditujukan demi kepuasan, kesenangan, atau kenikmatan intelektual semata. 

Akan tetapi, semua itu dimaksudkan untuk dimanfaatkan atau direalisasikan dalam kehidupan. Oleh karena itu, salah besar jika ada orang mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan dicari semata-mata demi ilmu itu sendiri. Oleh karena itu pula, filsafat Yunani, misalnya, tidak bernilai sedikitpun, karena hanya merupakan sekumpulan pemikiran untuk dinikmati semata. Demikian pula seluruh ilmu pengetahuan yang tidak ada bisa dimanfaatkan.

Sebab, ilmu pengetahuan sejatinya tidak dicari untuk dinikmati, tetapi untuk direalisasikan atau dimanfaatakan dalam kehidupan.

Oleh karena itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa para filosof Yunani dan pengikutnya adalah orang-orang yang serius dalam berpikir. Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa para ulama modern di kalangan kaum Muslim yang memperlakukan ilmu balghah layaknya filsafat seperti berbagai komentar sa`ad dalam ilmu balghah adalah orang-orang yang berpikir serius. Sebab, pemikiran-pemikiran semacam itu tidak bisa diambil manfaatnya sedikit pun di dalam kehidupan. Di dalamnya hanya ada unsur kenikmatan dalam pengkajian ataupun pembahasan semata.

Memang benar, dilihat dari sisi amal praktis, pemikiran para ahli syair dan sastrawan tidak bisa dimanfaatkan di dalam kehidupan. Akan tetapi, dilihat dari sisi lain, kadang bisa memberikan manfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun