Mohon tunggu...
Shafiyyah Qanita
Shafiyyah Qanita Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Blogger, Podcaster, Novelis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Sistem Pemerintahan Orde Baru (Studi Kasus Peristiwa Santa Cruz: Intervensi Indonesia atas Timor Timur)

11 Maret 2023   16:58 Diperbarui: 11 Maret 2023   17:01 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Soeharto, presiden kedua Indonesia, berkuasa di masa sulit dan pertumpahan darah. Ia menduduki bangku presiden sejak tanggal 27 Maret  1968 kemudian menjabat berangsur-angsur hingga tiba tanggal lengsernya di bulan Mei pada tahun 1998. Pendahulunya Sukarno, menciptakan formasi pemerintah yang berlawanan yang sangat berbahaya, terdiri dari faksi-faksi nasionalis, komunis dan agama yang saling curiga. Pihak lain yang ingin memiliki kekuatan politik adalah militer, yang dapat memperoleh pengaruh lebih besar dalam politik Indonesia pada tahun 1950-an ketika harus menekan beberapa pemberontakan yang mengancam persatuan Indonesia.

Pada tanggal 11 Maret 1966, Indonesia masih merasakan gejolak dalam pemerintahan. Hari itu, Presiden Sukarno terpaksa menandatangani perintah yang memberi wewenang kepada Jenderal Suharto untuk mengambil langkah-langkah untuk menjaga keamanan, perdamaian, dan stabilitas negara. Di kemudian hari, Perintah ini dikenal sebagai Super Semar (Surat Perintah 11 Maret) dan berfungsi sebagai alat untuk mentransfer kekuasaan administratif dari Sukarno ke Suharto. Suharto segera melarang semua kegiatan PKI, mulai menhilangkan Gerakan garis keras yang dianggapnya radikal dan membahayakan pemerintahan dari militer, kemudian mulai memperkuat peran politik militer dalam masyarakat Indonesia.

Walaupun kekuasaan Sukarno masih bersifat presidensial, namun kekuasaannya berangsur-angsur berkurang hingga Soeharto secara resmi dinyatakan sebagai pelaksana tugas presiden pada tahun 1967 dan dilantik sebagai presiden kedua Indonesia pada tahun 1968. Hal ini menandai dimulainya era baru yang dikenal dengan sebutan "Orde Baru" dengan gaya pemerintahan yang cenderung tegas dan mendominasi (“Orde Baru Suharto _ Indonesia Investments,” n.d.). Pemerintahan Suharto berfokus pada pembangunan ekonomi. Hubungan dengan Barat, yang dihancurkan oleh Sukarno, dipulihkan, memungkinkan bantuan asing yang sangat dibutuhkan mengalir ke Indonesia. Para teknokrat memulai administrasi pajak dengan hati-hati, dan konflik berbahaya dan mahal dengan Malaysia pun berakhir.

Langkah Suharto selanjutnya adalah mendepolitisasi Indonesia. Menteri tidak boleh membuat kebijakan sendiri. Sebaliknya, mereka harus menerapkan kebijakan yang ditetapkan oleh manajer mereka (Presiden). Golkar (kependekan dari Golongan Karya atau kelompok fungsional) digunakan sebagai alat parlementer Suharto yang kuat. Golkar ini mencakup beberapa ratus kelompok fungsional yang lebih kecil (seperti buruh, petani, dan pengusaha) yang memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak dapat lagi dimobilisasi oleh partai-partai politik.

Menilik dari ketegasan Suharto dalam membuat keputusan, tidak heran bahwa era pemerintahan ini menorehkan banyak sejarah kelam dalam catatan negara. Salah satunya adalah pembunuhan oknum-oknum yang dianggap terlibat dalam komunisme secara massal. Belum lagi penembakan misterius atau yang dikenal dengan petrus. Jangan lupakan tentang control pemerintah yang keta tatas pers. Disebutkan, bahwa masa itu adalah masa paling buruk yang pernah dialami oleh pers Indonesia sejak hari kemerdekaan (Subarkah Eddyono, 2021).

Sedangkan, masyarakat Indonesia dewasa ini kurang peduli dengan apa yang telah terjadi di masa lalu. Anak muda bangsa juga memilih untuk tidak peduli dengan alur kebijakan politik di Indonesia. Menyebabkan berkurangnya tingkat kesadaran politik di Indonesia secara drastis (Belakang, n.d.). Padahal, kesadaran politik merupakan urgensi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia merupakan negara demokrasi yang kekuasan pemimpin nya ditentukan oleh rakyat melalui pemilihan (Fatwa, 2016). Maka dari itu, tulisan ini merupakan hal yang patut untuk dipelajari. Masyarakat harus mengetahui bagaimana sebuah pemerintahan membuat kebijakan dan menjalankan pemerintahannya. Terutama era Orde Baru yang terbilang sangat lama dan dengan kisah yang berlika-liku.

Hasil Temuan Dan Pembahasan

1. Dilematika Pemerintahan Orde Baru

     Dari permulaan Orde Baru, nomor -nomor pertumbuhan makroekonomi sangat mengesankan (penerangan lebih mendetail terdapat pada bagian 'Keajaiban Orde Baru'). Namun, kebijkan-kebijakan ini juga mengakibatkan ketidakpuasan pada warga Indonesia lantaran pemerintah dipercaya terlalu terfokus dalam menarik investor asing (TRANSNASIONAL.VOL5_.2-2010, n.d.). Sementara kesempatan-kesempatan investasi yang terbilang besar hanya diberikan pada orang Indonesia yang umumnya adalah perwira militer atau kelompok minoritas rakyat keturunan Tionghoa yang nyatanya sempat mendominasi perekonomian).

     Muak menggunakan korupsi, kongkalikong & nepotisme (KKN), ribuan orang melakukan demonstrasi pada tahun 1974 ketika Perdana Menteri Jepang melakukan kunjungan ke Jakarta. Demonstrasi ini berubah sebagai kerusuhan luar biasa yang disebut 'Kerusuhan Malari'. Hal ini tercatat sebagai pengalaman yang mengerikan bagi pemerintahan dengan umur yang masih terbilang muda. Seakan-akan, kejadian ini memberitahukan bahwa Pemerintah NKRI belum mampu menguasai massa. Gelisah bahwa suatu hari mungkin akan terdapat perlawanan berdasarkan jutaan penduduk miskin pada perkotaan & pedesaan, kebijakan-kebijakan baru dengan sifat yang lebih menekan akhirnya dilaksanakan oleh Pemerintah. Dua belas surat warta ditutup & para jurnalis ditahan tanpa persidangan. Hal ini mendorong media melakukan sensor sendiri. Semua ketidakpuasan yg diekspresikan pada publik (misalnya demonstrasi) segera ditekan. Selain itu, sisi ekonomi yang didukung masyarakat berdasarkan perubahan kebijakan ini yakni merupakan dimulainya bisnis-bisnis membatasi investasi asing & kebijakan-kebijakan yang menaruh perlakuan spesifik bagi para pengusaha pribumi.

      Dalam politik nasional, Suharto berhasil semakin memperkuat posisinya dalam tahun 1970an. Produksi minyak domestik yg memuncak memastikan bahwa pendapatan negara berlimpah. Pendapatan ini dipakai buat membiayai pembangunan infrastruktur & acara-acara pengentasan kemiskinan. Namun, secara global internasional, gambaran dunia akan Indonesia memburuk lantaran aneksasi Indonesia atas Timor Timur. Setelah berhentinya masa penjajahan Portugal dan kemerdekaan Indonesia, militer Indonesia menggunakan cepat menginvasi negara ini; sebuah pencaplokan yg diiringi kekerasan.

     Hingga pada tahun 1984, semua organisasi sosial-politik harus mendeklarasikan Pancasila (lima prinsip dasar negara Indonesia yang diperkenalkan oleh Sukarno pada tahun 1940-an) sebagai satu-satunya ideologi mereka. Soeharto kemudian menggunakan Pancasila sebagai alat represi. Karena dikhawatirkan semua ormas akan mengutuk tindakan anti-Pancasila.

     Suharto berada di puncak kekuasaannya pada tahun 1980-an. Setiap pemilihan bisa dimenangkan dengan mudah. Dia juga berhasil melumpuhkan tentara. Seperti halnya partai dan pejabat politik, militer juga bekerja semata-mata untuk menegakkan kebijakan Suharto. Namun, depolitisasi masyarakat Indonesia ini memiliki efek samping yang penting bagi kebangkitan kesadaran Islam, khususnya di kalangan pemuda Indonesia. Karena arena politik adalah ranah tertutup, umat Islam melihat agama Islam sebagai alternatif yang aman. Perbedaan pendapat dan keluhan tentang pemerintah kemudian dibahas di masjid dan di dalam khotbah (jika tidak, mereka akan dihentikan) karena terlalu berbahaya untuk berbicara di demonstrasi. Pada awal 1990-an, kebangkitan Islam membawa perubahan politik baru.

2. Latar Belakang Peristiwa Santa Cruz

      Tiga bulan menjelang Natal 1991 keterangan tersebar pada Timor Timur: sebuah delegasi parlemen berdasarkan Portugal berniat mengunjungi wilayah itu. Rencananya, kedatangan mereka akan diikuti 12 jurnalis internasional. Siapapun tidak menyangka hal ini akan memicu insiden yg akan diingat orang menjadi catatan spesifik pada sejarah kekerasan militer Indonesia pada bumi Lorosae. Belakangan niatan Portugal ini ditolak pemerintah Soeharto. Indonesia keberatan jika kunjungan itu disertai para jurnalis sementara dalam negera sendiri, mulut media terpaksa dibungkam.

     Jakarta Seno Gumira Ajidarma, “jurnalisme dibungkam & wajib memakai sastra buat sanggup berbicara.” Jauh-jauh hari para pemuda Timor Leste yg melakukan perlawanan bawah tanah telah kadung menyiapkan sambutan atas kunjungan Portugal itu. Tetapi gerakan klandestin mereka ternyata diketahui intelijen Indonesia. Mereka yang menciptakan spanduk-spanduk penyambutan delegasi Portugal pada gereja Motael Dili diawasi terus gerak-geriknya oleh TNI. Hingga dalam malam 27 Oktober 1991, sekelompok provokator yang bekerja untuk intelejen Indonesia mengejek para aktivis pro-kemerdekaan & memancing mereka buat ribut. Anak-anak belia Timor Leste terpancing & perkelahian berlangsung pada malam itu juga. Pagi hari 28 Oktober 1991, jasad aktivis belia pro-kemerdekaan, Sebastiao Gomez, ditemukan tergeletak pada dekat gereja Moteal.

    Dua minggu kemudian, Pastor Alberto Ricardo memimpin Misa memperingati kematian Gomez di Gereja Motel di Dili. Ribuan umat Katolik dari Timor Timur mengikuti Misa. Saat kebaktian berakhir pukul 07.00 waktu setempat, sekitar lima ratus orang meninggalkan gereja dan membentangkan spanduk bergambar Xanana Gusmao, pemimpin gerakan kemerdekaan Timor Timur. Sambil berbaris, mereka berteriak: "Timor Timur! Timor Timur! Timor Timur!" Konvoi pengunjuk rasa berbaris sekitar 4 kilometer ke Pemakaman Santa Cruz tempat Gomez dimakamkan. Menurut Paul R. Bartrop dan Steven Leonard Jacobs dalam Modern Genocide (2014), tentara Indonesia telah bersiaga setibanya di Pemakaman Santa Cruz, terdiri dari prajurit Kompi A Brimob 5485, Kompi A dan Kompi D Batalyon 303., dan Kompi D. mencampur perusahaan - dengan pakaian sipil, dibentuk pada malam sebelumnya. Personel Batalyon 744 dan Kodim 1627 juga hadir.

Kemudian segalanya menjadi kacau, Videonya diabadikan oleh jurnalis Inggris Max Stahl. Sirene dan tembakan memekakkan telinga. Para demonstran lari kebingungan. Yang lain mencoba bersembunyi di makam Santa Cruz (Jerry Indrawan, 2004). Menurut kesaksian Paul R. Bartrop, tentara Indonesia melepaskan tembakan ke arah massa secara membabi-buta, disusul rentetan senapan otomatis selama beberapa menit. Militer Indonesia menembak ke arah massa dan menembak para aktivis kemerdekaan dari belakang ketika mereka mencoba melarikan diri. Tentara lainnya menendang dan menikam korban yang terluka dan beberapa orang yang bersembunyi di kuburan. Dalam buku karya Hukman Reni Eurico Guterres I Am Nobody (2015) menyatakan: “Sebuah laporan Dewan Kehormatan Militer menemukan bahwa 50 warga sipil Timor-Leste tewas dalam insiden 12 November. Namun, laporan lain menyebutkan ratusan orang luka-luka dan puluhan lainnya tewas akibat peluru yang ditembakkan tentara Indonesia. Investigasi terperinci tentang perlawanan bawah tanah di Timor Timur menemukan hingga 273 orang tewas."

Berdasarkan video Max Stahl setidaknya mata dunia terbuka. Amnesty International dengan dingin menghadiahkan video dalam kasus Dili. Pembantaian Timor Timur dianugerahi Video Terbaik dalam kategori Hak Asasi Manusia pada tahun 1992. Pada saat yang sama, para aktivis Timor Lorosa'e di luar negeri, yang sebelumnya diabaikan, mendapatkan kembali simpati. Rosihan Anwar, dalam bukunya Petite Histoire of Indonesia (2004), menjelaskan bahwa pembantaian di Dili telah menempatkan persoalan Timor Timur dalam agenda HAM internasional. "Aktivis Timor Leste di luar negeri, khususnya Ramos Horta, mendapat perhatian lebih internasional," katanya. Roshan Anwar benar. Pakar politik Australia Rebecca Strating on Social Democracy in East Timor (2015) mencatat bahwa setelah insiden Dili, para senator AS ingin membantu Presiden George Bush Sr. Timor Leste dalam proses penentuan nasib sendiri dengan menempatkan masalah ini dalam agenda Majelis Umum PBB. resolusi menempatkan Jakarta bereaksi terhadap tekanan internasional, khususnya Amerika, terhadap Timor Timur dengan mengubah struktur kepemimpinan militer Timor Timur.

Awal tahun 1992, Staf Angkatan Darat melalui Dewan Kehormatan Militer (DKM) memberhentikan Pangdam IX Udayana, Mayjen Sintong Panjaitan, Pangkalakop Timor dan seluruh wakil Pangkolakops, Danrem 164/Wira Dharma, Danrem 164/Wira Dharma. Dalam buku “Sintong Panjaitan, Perjalanan Prajurit Komando” karya Hendra Subroto (2009), Sintong mengklaim ada kemungkinan pihak ketiga terlibat dalam peristiwa 12 November di Dili. Menurut Sintong, pihak ketiga itu berada di balik sabotase yang menyebabkan kekerasan militer di Santa Cruz. Namun, Sintong tidak menyebutkan secara jelas siapa yang ketiga. Sementara itu, Prabowo Subianto, mantan Panglima Kopassus yang bertugas di Timor Timur, menyebut penyerangan Santa Cruz bukan taktik militer.

3. Analisis Peristiwa Santa Cruz

Awal Terjadinya insiden santa cruz pada tanggal 12 November 1991 untuk membantu timor timur dalam menyelesaikan isolasi internasionalnya. Beberapa pemuda yang jumlahnya mendekati ratusan berkumpul untuk menghadiri misa almarhum Sebastiano di gereja. Para pemerotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes,yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan  sebelumnya.

Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi atau perwakilan parlemen dari Portugal yang masih diakui oleh PBB secara resmi dan legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta merasa keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.

 Beberapa aktor yang secara jelas berkontribusi dalam kasus ini adalah antara lain pemerintah Indonesia dengan masyarakat Timor-timur yang mengaharapkan kemerdekaannya(Jerry Indrawan 2004). Dua aktor tersebut dijadikan sebagai aktor utama yang secara jelas dapat dilihat sedang mengalami kontra. Sedangkan aktor sekunder atau  actor secara tidak langsung adalah Australia yang awalnya berperan sebagai mediator, tetapi ternyata seiring perjalanannya, malah menjadi provokator dan ikut-ikutan secara tidak langsung membantu pihak Timor-timur untuk mendapat kemerdekaanya (securitizing actor).

Securitizing actor adalah pihak yang seharusnya berada di luar pihak yang berkonflik (third party), akan tetapi mengunakan pengaruhnya untuk memprovokasi salah satu pihak yang berkonflik, dan membuat konflik yang terjadi mengalami eskalasi.

4. Tindakan Pemerintah Indonesia Atas Timor Timur

Pemberian otonomi atau kekuasaan yang luas menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu bentuk penyelesaian akhir yang adil, menyeluruh, serta dapat diterima secara internasional. Cara ini menurut Presiden B.J.Habibie merupakan suatu cara penyelesaian yang setidaknya realistis,dan mungkin akan  terlaksanakan, dan dianggap paling bersifat damai, sekaligus merupakan suatu kompromi yang seimbang antara integrasi penuh dan aspirasi kemerdekaan. Tawaran dari pemerintah berupa Otonomi luas tersebut memberi kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk dapat memilih Kepala Daerahnya sendiri, menentukan kebijakan didaerahnya sendiri, dan dapat mengurus otonomi daerahnya sendiri. Keputusan untuk mengeluarkan Opsi mengenai otonomi luas di Timur Timur diambil oleh Presiden B.J.Habibie karena integrasi wilayah itu ke Indonesia selama hampir 23 tahun belum mendapat pengakuan dari PBB (Lavianus D Melsasail, 2016).

keputusan keluarnya Opsi lainnya juga didasari oleh sikap Presiden B.J. Habibie yang menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dan memberikan kebebasan di atas prinsip kemerdekaan kepada setiap rakyat Indonesia.Pengambilan keputusan terhadap penyelesaian persoalan Timor Timur menurut beberapa pakar dan pengamat politik Indonesia dianggap sebagai suatu tindakan yang gegabah. Hal itu dilandasi dengan alasan bahwa keadaan situasi di dalam negeri Indonesia sedang mengalami masa-masa sulit terbukti dengan adanya pertama, krisis ekonomi-moneter yang sedang dialami oleh negara Indonesia sejak tahun 1997 dan berdampak terhadap politik Indonesia sehingga menimbulkan krisis multidimensional yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto.

 pada saat Presiden B.J Habibie mengumumkan keikutsertaan Pemerintah Republik Indonesia yaitu pada tanggal 9 Juni 1998 untuk memberikan “ status khusus dengan Otonomi luas”. Pemberian status ini dianggap sebagai rancangan dan usaha untuk mencapai penyelesaian politik dalam masalah Timor Timur. Akan tetapi pada tanggal 27 Januari 1999 Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengumumkan keputusan dalam Sidang Kabinet Paripurna di bidang Politik dan Keamanan mengenai pemberian “Opsi II” yang berkaitan dengan pemberian tanggapan atas otonomi luas apabila pemberian status khusus itu ditolak oleh mayoritas masyarakat Timor Timur maka solusi yang akan diambil selanjutnya.dengan pemerintah Indonesia yang akan mengajukan usulan kepada  sidang umum MPR yang baru dilantik supaya timor-timur terpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara baik,damai,terhormat dan konstitusional.

6. Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia

Hak Manusia merupakan hal yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia. Kelompok atau pihak manapun sama sekali tidak mempunyai hak untuk menghilangkan hak-hak asasi tersebut dari manusia. Kemudian, hal yang paling dasar daripada hak itu sendiri adalah hak untuk hidup. Otomatis, jika seseorang kehilangan hak untuk hidup, maka secara otomatis hak hak lain yang dimilikinya akan menghilang.

Melalui Piagam PBB tahun 1945, tertulislah hukum yang berisikan bahwa Hak-hak asasi manusia tidak dapat dilanggar oleh siapapun. Ini menjadi focus penting pengadilan pelaku peperangan, baik itu yang berbuat kejahatan terhadap manusia maupun genosida. Tujuannya tentulah untuk memberikan perlindungan bagi ummat manusia. Kemudian di tahun 1948, disepakati lah Deklarasi Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Isinya membahas berbagai pelanggaran yang dilakukan terhadap hak-hak asasi manusia. Karena Pelanggaran HAM adalah kejahatan dunia Bersama.

Dengan adanya Deklarasi ini, diharapkan pelanggaran HAM akan berkurang. Namun di Indonesia, banyak pelanggaran yang terjadi. Salah satunya di Timor-Timur. Atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di peristiwa Timor Timor di tahun 1999, Presiden akhirnya menetapkan (UU no.39 tahun 1999) tentang HAM, guna mengadili pelanggaran atas hak asasi manusia di Indonesia.

Dikarenakan pembantaian ini pula, banyak rakyat Timor-Timur yang lebih memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia. Eurico Guternes yang merupakan seorang pro-milisi Indonesia atau bisa disebut juga anti kemerdekaan Timor Timur dituduh mengambil peran dalam beberapa pembantaian di Timor Timur. Selain dari itu, ternyata ia menjadi pimpinan milisi yang utama pada pembantaian pasca referendum di tahun 1999 juga turut mengambil andil dalam penghancuran Ibu kota Dili.

Tidak hanya itu, peristiwa ini juga berperan dalam kerengganan hubungan antara Indonesia dan Australia. Apalagi Ketika Timor Timur Bersatu dengan Indonesia. Namun nyatanya, fakta bahwa 200.000 orang meninggal di antara tahun 1975-1999 tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini dilakukan oleh Indonesia (Fabiana Meijon Fadul, 1991). Fakta mengenai kebenaran ini juga disembunyikan, mengingat jurnalis tidak hidup kecuali dengan sastra.

Lolosnya video yang diseludupkan oleh dua jurnalis Amerika melalui seorang Wanita Belanda di Australia, muncullah tekanan dari masyarakat internasional yang mengkritisi kasus tersebut. Dalam perjalanannya, tekanan ini memaksa pemerintah Indonesia untuk memahas masalah ini sampai pada tingkat lanjutan. Akhirnya, status khusus berupa otonomi luas di berikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Timor-Timur di tahun 1998. Sebagai tindak lanjutannya, terbentuklah segitiga konferensi antara Indonesia, Portugal dan PBB.

Lepas dari pembicaraan ini, Timor-Timor mengadakan jejak pendapat yang hasil akhirnay dimenangkan oleh pihak kemerdekaan Timor-Timur. Selama ini, Timor-Timur begitu mengejar kedaulatan negara. Peristiwa Santa Cruz membuktikan bahwa Indonesia melakukan pelanggaran HAM dan hal ini dijadikan batu loncatan untuk merebut kembali kedaulatan mereka.

Kesimpulan

   Adapun Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi bukan semata-mata masalah hukum bahkan lebih dari itu, pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dinilai  sangat sensitive dengan cakupan politis dan melibatkan banyak hal, dan yang tak kalah pentingnya lagi adalah bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia bukan merupakan kejahatan biasa.Penyelesaian perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat pun tidak hanya berdasarkan hukum semata, karena apabila penyelesaiannya berdasarkan hukum semata maka pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat pun tidak ada bedantya  seperti halnya pidana biasa.

Selain itu hubungan antara permasalahan politik yang melibatkan banyak pihak yang memiliki kepentingan-kepentingan dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, juga memiliki karakteristik tersendiri. Salah satu dampak adanya arus globalisasi yang ditandai dengan era perkembangan informasi, kebebasan pers dan semakin majunya sistem informasi, membuat kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya pada kasus-kasus pelanggaran berat, menjadi perhatian publik nasional maupun internasional. Sehingga diperlukan kewaspadaan dalam menyelidiki, menyidik dan kemudian mengadili para tersangka kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Kemudian daripada itu, dapat diambil dua kesimpulan:

1) Bahwa keinginan suatu negara  untuk membebaskan diri menjadi Negara yang merdeka merupakan suatu hak mutlak apabila sudah diadakan suatu referendum. sehingga pembantaian tersebut seharusnya tidak boleh terjadi karena apabila tidak setuju harus diselesaikan secara musyawarah dan dibawah ketentuan yang ada.agar kejadian yang seperti ini tidak terulang dinegara lain.

2) Setuju dengan penerapan hukum yang didakwakan kepada Euric Gutteres sudah tepat karena dia sebagai Wakil Panglima dari kedua kelompok tersebut yang harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya.

3) tentang penarikan senjata tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan karena merupakan tindak pidana baru yang dapat mengundang hal yang lebih sensitive.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun