Dikarenakan pembantaian ini pula, banyak rakyat Timor-Timur yang lebih memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia. Eurico Guternes yang merupakan seorang pro-milisi Indonesia atau bisa disebut juga anti kemerdekaan Timor Timur dituduh mengambil peran dalam beberapa pembantaian di Timor Timur. Selain dari itu, ternyata ia menjadi pimpinan milisi yang utama pada pembantaian pasca referendum di tahun 1999 juga turut mengambil andil dalam penghancuran Ibu kota Dili.
Tidak hanya itu, peristiwa ini juga berperan dalam kerengganan hubungan antara Indonesia dan Australia. Apalagi Ketika Timor Timur Bersatu dengan Indonesia. Namun nyatanya, fakta bahwa 200.000 orang meninggal di antara tahun 1975-1999 tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini dilakukan oleh Indonesia (Fabiana Meijon Fadul, 1991). Fakta mengenai kebenaran ini juga disembunyikan, mengingat jurnalis tidak hidup kecuali dengan sastra.
Lolosnya video yang diseludupkan oleh dua jurnalis Amerika melalui seorang Wanita Belanda di Australia, muncullah tekanan dari masyarakat internasional yang mengkritisi kasus tersebut. Dalam perjalanannya, tekanan ini memaksa pemerintah Indonesia untuk memahas masalah ini sampai pada tingkat lanjutan. Akhirnya, status khusus berupa otonomi luas di berikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Timor-Timur di tahun 1998. Sebagai tindak lanjutannya, terbentuklah segitiga konferensi antara Indonesia, Portugal dan PBB.
Lepas dari pembicaraan ini, Timor-Timor mengadakan jejak pendapat yang hasil akhirnay dimenangkan oleh pihak kemerdekaan Timor-Timur. Selama ini, Timor-Timur begitu mengejar kedaulatan negara. Peristiwa Santa Cruz membuktikan bahwa Indonesia melakukan pelanggaran HAM dan hal ini dijadikan batu loncatan untuk merebut kembali kedaulatan mereka.
Kesimpulan
  Adapun Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi bukan semata-mata masalah hukum bahkan lebih dari itu, pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dinilai  sangat sensitive dengan cakupan politis dan melibatkan banyak hal, dan yang tak kalah pentingnya lagi adalah bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia bukan merupakan kejahatan biasa.Penyelesaian perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat pun tidak hanya berdasarkan hukum semata, karena apabila penyelesaiannya berdasarkan hukum semata maka pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat pun tidak ada bedantya  seperti halnya pidana biasa.
Selain itu hubungan antara permasalahan politik yang melibatkan banyak pihak yang memiliki kepentingan-kepentingan dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, juga memiliki karakteristik tersendiri. Salah satu dampak adanya arus globalisasi yang ditandai dengan era perkembangan informasi, kebebasan pers dan semakin majunya sistem informasi, membuat kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya pada kasus-kasus pelanggaran berat, menjadi perhatian publik nasional maupun internasional. Sehingga diperlukan kewaspadaan dalam menyelidiki, menyidik dan kemudian mengadili para tersangka kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Kemudian daripada itu, dapat diambil dua kesimpulan:
1) Bahwa keinginan suatu negara  untuk membebaskan diri menjadi Negara yang merdeka merupakan suatu hak mutlak apabila sudah diadakan suatu referendum. sehingga pembantaian tersebut seharusnya tidak boleh terjadi karena apabila tidak setuju harus diselesaikan secara musyawarah dan dibawah ketentuan yang ada.agar kejadian yang seperti ini tidak terulang dinegara lain.
2) Setuju dengan penerapan hukum yang didakwakan kepada Euric Gutteres sudah tepat karena dia sebagai Wakil Panglima dari kedua kelompok tersebut yang harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya.
3) tentang penarikan senjata tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan karena merupakan tindak pidana baru yang dapat mengundang hal yang lebih sensitive.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H