Mohon tunggu...
Shafira MeiriskaPutri
Shafira MeiriskaPutri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

she has a deep concern in social issue and stuffs

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Standar Kecantikan yang Dibentuk oleh Iklan Produk Indonesia

25 Desember 2020   16:46 Diperbarui: 25 Desember 2020   17:04 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setiap perempuan pasti ingin dikatakan cantik oleh semua orang. Namun, definisi cantik seperti apakah yang dimaksud? Apakah harus memiliki warna kulit yang putih? Apakah harus memiliki rambut panjang berwarna hitam? Apakah harus memiliki tubuh langsing yang nantinya disebut ideal? 

Beberapa hal memang mendorong perempuan untuk percaya dengan mitos-mitos tersebut hanya karena trik marketing yang dijalankan oleh iklan-iklan di televisi. Salah satu penyebab maraknya standar kecantikan yang semu ini adalah pengaruh dari persuasi iklan yang menayangkan produk-produk kecantikan yang menggiring opini penonton.

Bermula dari iklan sabun Lux di Indonesia pada sekitar tahun 1992-an yang mematokkan standar kecantikan dengan cantik harus seperti bintang film. Dibuktikan dengan pernyataan “Sabun Wangi LUX membikin koelit haloes seperti bloedroe, maka itoe ini saboen dipakai oleh 9 dari 10 bintang film” yang berhasil menggiring opini penonton bahwa cantik ialah yang seperti bintang film. Hal ini membuktikan bahwa media promosi atau iklan berpengaruh besar terhadap opini penonton dan pemikiran penonton.

Tak hanya iklan sabun saja, pada tahun 1996 iklan lotion merk Citra ini juga mematok standar kecantikan dengan berkulit putih. Pada iklan Citra, digambarkan ada sepasang perempuan kembar yang satunya memiliki kulit yang lebih gelap dari yang satunya. Perempuan yang memiliki kulit yang lebih gelap ini ditampilkan sebagai diri yang tidak percaya diri ditunjukkan dengan baju yang lebih tertutup dan rambut yang dikedepankan seakan-akan menutupi kulitnya yang lebih gelap. 

Kemudian, setelah mengonsumsi lotion Citra, perempuan yang tadinya berkulit gelap ini menjadi sama putihnya dengan kembarannya. Lalu, pada akhir iklan ditunjukkan kedua perempuan tersebut memakai pakaian putih yang sama dengan rambutyang diikat ke atas dengan senyum yang sama-sama ceria. Ini menunjukkan bahwa apabila memiliki kulit gelap, maka tidak perlu diperlihatkan karena terkesan seperti aib. Iklan ini juga menggiring opini bahwa dengan memiliki kulit yang putih akan meningkatkan kepercayaan diri.

Dengan munculnya iklan-iklan produk kecantikan yang menggambarkan bahwa kulit putih dinilai sebagai representasi cantik, secara tidak langsung mengonstruksi standar kecantikan yang berpatok pada warna kulit putih. Perempuan berlomba-lomba untuk memutihkan warna kulitnya agar dianggap sebagai perempuan yang cantik dimata standar kecantikan yang ini. 

Dampak dari munculnya konstruksi ini ialah terus bertambahnya produk-produk yang memunculkan inovasi untuk memutihkan warna kulit. Seperti yang dilakukan oleh Pond’s yang pada tahun 2013 lalu meluncurkan produk bertajuk Pond’s White Beauty yang bertemakan “Menjadi Cantik Putih Besih Seperti Korea”. 

Selain berdampak pada maraknya standar kecantikan yang fana, terdapat pula konflik budaya yang ditimbulkan. Indonesia sebenarnya berasal dari ras Melayu yang ciri-cirinya ialah salah satunya memiliki warna kulit coklat. Ini tentu saja menjadi rancu karena secara genetika pun orang-orang Indonesia tidak bisa memaksakan untuk berkulit putih apabila secara genetik memanglah berkulit coklat. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan yang mengatakan bahwa cantik adalah berkulit putih inilah mengakibatkan produk-produk tersebut laku di pasaran.

Menurut Berger (2005), marketing dibuat untuk menjadikan orang termotivasi membeli atau mengonsumsi barang yang ditawarkan. Supaya hal tersebut dapat diwujudkan, maka orang-orang harus dibuat cemas dan tidak puas dengan apa yang mereka miliki sehingga dengan persuasi-persuasi yang diciptakan, orang-orang akan lebih mudah untuk mengonsumsi barang tersebut. 

Hal ini terbukti dengan banyaknya iklan-iklan produk kecantikan yang membuat perempuan Indonesia mempertanyakan kembali kecantikan dirinya dengan memantaskan dirinya sesuai iklan yang beredar di media massa. 

Perempuan Indonesia dibuat tidak puas dengan apa yang mereka punya sehingga terus mencari cara untuk mendapat apa yang mereka tidak punya meskipun harus bertentangan dengan genetik yang dimiliki dan terdapat konflik budaya di dalamnya.

Namun, dengan seiringnya perkembangan zaman, standar kecantikan yang telah terkonstruksi oleh sosial ini sendiri mulai bergeser. Dewasa ini sudah mulai banyak iklan-iklan produk kecantikan yang menyatakan bahwa cantik tidak perlu berkulit putih. 

Salah satu contohnya ialah produk Clean & Clear versi 1000 Suku Indonesia, Warna Kulit Berbeda yang diluncurkan pada tahun 2017. Iklan berdurasi 50 detik ini memunculkan beberapa perempuan yang memiliki warna kulit yang berbeda-beda dan rambut yang berbeda-beda. Mulai dari berkulit putih, kuning langsat, sawo matang hingga gelap. 

Model-model iklannya pun memiliki rambut beragam pula, rambut pendek dan panjang berjenis ikal, keriting, lurus, dan warnanya pun tidak selalu hitam. Iklan ini juga mengajak para penonton untuk menghapus stigma bahwa perempuan cantik harus putih. Secara eksplisit juga iklan ini menunjukkan bahwa kecantikan perempuan akan terpancar apabila perempuan tersebut merasa percaya diri dengan apa yang dimiliki. Semua warna kulit, warna rambut, ukuran rambut berhak menjadi cantik.

Selain produk untuk wajah, iklan produk kecantikan untuk rambut juga turut menggeser konsep kecantikan Indonesia yang selama ini western-minded. Contohnya, yaitu iklan Dove yang menjalankan gerakan dengan tema “Rambut Aku Kata Aku”. 

Pada iklan berdurasi satu menit 35 menit ini ditunjukkan adanya enam perempuan dengan gaya rambut yang berbeda. Ada yang berambut keriting, ikal, pendek, botak, berwarna ungu, dan menutupi rambutnya dengan hijab. Perbedaan ini disatukan dengan kata-kata bahwa rambut yang dimilikinya ialah hak mereka sendiri. Orang lain tidak berhak untuk menyuruh meluruskan rambut, memanjangkan rambut, dan yang lainnya. Iklan ini menunjukkan bahwa cantik itu beragam dan tidak perlu memedulikan perkataan orang lain tentang diri kita.

Maraknya pergeseran standar kecantikan di Indonesia ini berdampak pada perempuan-perempuan yang tadinya selalu tidak percaya diri dan khawatir apabila tidak memiliki apa yang seharusnya dimiliki perempuan ‘cantik’ ini menjadi kembali percaya diri karena standar kecantikan ialah sebenarnya tidak bisa direpresentasikan dalam satu konsep saja. Ditambah lagi dengan beragamnya suku dan ras yang dimiliki oleh Indonesia sehingga genetik dari orang Indonesia sangat berbeda dengan orang-orang Barat.

Pada uraian ini media massa atau iklan yang ditampilkan sangatlah berpengaruh pada pemikiran masyarakat. Apa yang ditanamkan oleh media massa seolah-olah menjadi yang paling benar sehingga semua berjalan sesuai dinamikanya. 

Sekarang-sekarang ini sudah mulai bermunculan brand-brand kecantikan yang menunjukkan bahwa cantik itu beragam. Jadi, tidak ada lagi satu standar kecantikan karena setiap orang memiliki karakter dan keunikannya sendiri-sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun