Setiap perempuan pasti ingin dikatakan cantik oleh semua orang. Namun, definisi cantik seperti apakah yang dimaksud? Apakah harus memiliki warna kulit yang putih? Apakah harus memiliki rambut panjang berwarna hitam? Apakah harus memiliki tubuh langsing yang nantinya disebut ideal?
Beberapa hal memang mendorong perempuan untuk percaya dengan mitos-mitos tersebut hanya karena trik marketing yang dijalankan oleh iklan-iklan di televisi. Salah satu penyebab maraknya standar kecantikan yang semu ini adalah pengaruh dari persuasi iklan yang menayangkan produk-produk kecantikan yang menggiring opini penonton.
Bermula dari iklan sabun Lux di Indonesia pada sekitar tahun 1992-an yang mematokkan standar kecantikan dengan cantik harus seperti bintang film. Dibuktikan dengan pernyataan “Sabun Wangi LUX membikin koelit haloes seperti bloedroe, maka itoe ini saboen dipakai oleh 9 dari 10 bintang film” yang berhasil menggiring opini penonton bahwa cantik ialah yang seperti bintang film. Hal ini membuktikan bahwa media promosi atau iklan berpengaruh besar terhadap opini penonton dan pemikiran penonton.
Tak hanya iklan sabun saja, pada tahun 1996 iklan lotion merk Citra ini juga mematok standar kecantikan dengan berkulit putih. Pada iklan Citra, digambarkan ada sepasang perempuan kembar yang satunya memiliki kulit yang lebih gelap dari yang satunya. Perempuan yang memiliki kulit yang lebih gelap ini ditampilkan sebagai diri yang tidak percaya diri ditunjukkan dengan baju yang lebih tertutup dan rambut yang dikedepankan seakan-akan menutupi kulitnya yang lebih gelap.
Kemudian, setelah mengonsumsi lotion Citra, perempuan yang tadinya berkulit gelap ini menjadi sama putihnya dengan kembarannya. Lalu, pada akhir iklan ditunjukkan kedua perempuan tersebut memakai pakaian putih yang sama dengan rambutyang diikat ke atas dengan senyum yang sama-sama ceria. Ini menunjukkan bahwa apabila memiliki kulit gelap, maka tidak perlu diperlihatkan karena terkesan seperti aib. Iklan ini juga menggiring opini bahwa dengan memiliki kulit yang putih akan meningkatkan kepercayaan diri.
Dengan munculnya iklan-iklan produk kecantikan yang menggambarkan bahwa kulit putih dinilai sebagai representasi cantik, secara tidak langsung mengonstruksi standar kecantikan yang berpatok pada warna kulit putih. Perempuan berlomba-lomba untuk memutihkan warna kulitnya agar dianggap sebagai perempuan yang cantik dimata standar kecantikan yang ini.
Dampak dari munculnya konstruksi ini ialah terus bertambahnya produk-produk yang memunculkan inovasi untuk memutihkan warna kulit. Seperti yang dilakukan oleh Pond’s yang pada tahun 2013 lalu meluncurkan produk bertajuk Pond’s White Beauty yang bertemakan “Menjadi Cantik Putih Besih Seperti Korea”.
Selain berdampak pada maraknya standar kecantikan yang fana, terdapat pula konflik budaya yang ditimbulkan. Indonesia sebenarnya berasal dari ras Melayu yang ciri-cirinya ialah salah satunya memiliki warna kulit coklat. Ini tentu saja menjadi rancu karena secara genetika pun orang-orang Indonesia tidak bisa memaksakan untuk berkulit putih apabila secara genetik memanglah berkulit coklat. Oleh karena itu, pernyataan-pernyataan yang mengatakan bahwa cantik adalah berkulit putih inilah mengakibatkan produk-produk tersebut laku di pasaran.
Menurut Berger (2005), marketing dibuat untuk menjadikan orang termotivasi membeli atau mengonsumsi barang yang ditawarkan. Supaya hal tersebut dapat diwujudkan, maka orang-orang harus dibuat cemas dan tidak puas dengan apa yang mereka miliki sehingga dengan persuasi-persuasi yang diciptakan, orang-orang akan lebih mudah untuk mengonsumsi barang tersebut.
Hal ini terbukti dengan banyaknya iklan-iklan produk kecantikan yang membuat perempuan Indonesia mempertanyakan kembali kecantikan dirinya dengan memantaskan dirinya sesuai iklan yang beredar di media massa.
Perempuan Indonesia dibuat tidak puas dengan apa yang mereka punya sehingga terus mencari cara untuk mendapat apa yang mereka tidak punya meskipun harus bertentangan dengan genetik yang dimiliki dan terdapat konflik budaya di dalamnya.