Urgensi Literasi Digital
Munculnya tantangan dan peluang dari perkembangan digital ini setiap individu perlu memahami bahwa literasi digital adalah hal yang penting dan dibutuhkan sebagai kecakapan hidup. Literasi digital menurut (Gilster,1997) adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari berbagai sumber yang disajikan melalui komputer. Konsep literasi digital tidak hanya sekedar bisa membaca, tetapi kemampuan untuk membaca dengan makna dan untuk memahaminya. Literasi digital sangat penting terutama pada dunia pendidikan. Literasi digital tidak hanya sekedar mempelajari dan menguasai penggunaan komputer atau bagaimana melakukannya secara online tetapi, bagaimana menjadi "melek" teknologi perlu mengevaluasi dan menggunakan informasi secara lebih kritis jika ingin mengubahnya menjadi pengetahuan.
Dalam memahami literasi digital berarti seseorang dapat memproses berbagai informasi, menilai kredibilitas isi serta sumber literasi berbasis digital, memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk termasuk menciptakan, mengolaborasi, mengkomunikasikan, memahami bagaimana teknologi digunakan dengan efektif untuk mencapai suatu tujuan, serta memiliki kesadaran dan berpikir kritis terhadap dampak positif ataupun negatif yang mungkin terjadi akibat penggunaan teknologi di dalam kehidupan sehari-hari (Nasrullah, 2017). Kemampuan literasi digital mampu memberdayakan individu agar dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dan meningkatkan produktivitas jika disertai dengan keterampilan serta kemampuan yang sama. Untuk membangun kesadaran literasi digital perlu melibatkan masyarakat agar terlibat secara aktif bersama-sama.
Menurut (Elpira, 2018:16) dengan penerapan literasi digital di sekolah menjadikan siswa mampu memperoleh berbagai informasi dalam lingkup yang lebih luas serta mendalam, sehingga wawasan siswa akan meningkat dan membantu siswa dalam menyelesaikan tugas mereka dalam menemukan informasi dari konten digital secara lebih tepat, akurat, kredibel dan dengan waktu yang relatif singkat. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah untuk mewujudkan lingkungan yang menunjang pembentukan literasi digital yaitu dengan membuat kebijakan dan mengembangkannya dalam jangka panjang yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, tujuan yang ingin dicapai serta melihat kondisi untuk melaksanakannya.
Tantangan dan Peluang
Saat ini perkembangan dunia digital bagaikan dua sisi mata uang yang berlawanan yang mempunyai tantangan serta peluang. Salah satu yang menjadi kekhawatiran dari perkembangan digital ini adalah besarnya jumlah generasi muda yang mengakses internet. Mereka mampu menghabiskan waktu mereka per harinya untuk berselancar di internet, baik itu menggunakan komputer, laptop, ataupun smartphone. Berbagai hal menjadi tantangan yang meresahkan bagi generasi muda adalah banyak dan mudahnya pengguna internet mengakses konten berbau pornografi, menyebarnya berita atau informasi palsu (hoax), ujaran kebencian, intoleransi di sosial media, penipuan dan sebagainya. Konten atau hal-hal negatif ini dapat merusak ekosistem digital saat ini dan hanya bisa dicegah dengan membangun kesadaran bagi setiap individu. Namun, di sisi lain perkembangan digital memberikan peluang yaitu meningkatnya peluang bisnis di e-commerce yang dapat dipasarkan secara global, hadirnya lapangan kerja baru yang berbasis media digital seperti adanya ojek atau taxi online, pengembangan literasi tanpa menghasilkan teks berbasis cetak atau fisik, tersedianya informasi secara menyeluruh di internet sepanjang waktu, munculnya media hiburan seperti layanan streaming video digital (Netflix, Viu, Iflix, WeTV, Iqiyi, dan lain-lain) atau layanan streaming audio/musik digital (Spotify, Joox, dan sebagainya), serta masih banyak lainnya.
Habitus, Ranah, dan Modal
Menurut perspektif Pierre Bourdieu ia mengenal adanya habitus, ranah, dan modal. Habitus adalah suatu sistem yang melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah berfungsi untuk basis generatif bagi praktik yang terstruktur serta terpadu secara objektif (Siregar, 2016:79). Habitus adalah produk sejarah yang tercipta setelah manusia lahir serta berinteraksi dengan anggota masyarakat lain dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus terbentuk melalui proses yang panjang dari pengalaman individu ketika berinteraksi di dunia sosial. Sehingga, habitus seseorang akan berbeda dengan yang lainnya tergantung dari wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial atau dengan kata lain setiap orang tidak memiliki kebiasaan yang sama.
Berdasarkan konsep habitus dari Bourdieu dalam upaya menghadapi era revolusi industri 4.0 adanya kesenjangan digital yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengembangkan kemampuan literasi digital memerlukan keterlibatan keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat. Dengan keterlibatan tiga pihak ini dalam meningkatkan kemampuan literasi digital seseorang diharapkan juga memiliki gaya hidup digital sehingga setiap aktivitas kesehariannya tidak terlepas dari pola pikir serta perilaku masyarakat digital yang serba efektif dan efisien. Dan juga diharapkan lebih bijak dalam mengonsumsi informasi yang didapatkan dari internet serta mampu membedakan berita yang faktual atau palsu (hoax).
Lalu ranah (field) dalam perspektif Bourdieu melihat bahwa agen-agen sosial tidak bertindak dalam ruang yang hampa, tetapi dalam situasi sosial konkret yang diatur oleh seperangkat relasi sosial objektif. Ranah (field) disini adalah medan atau arena yang menjadi ruang sebagai tempat para aktor/agen sosial saling bersaing dengan tujuan agar mendapatkan berbagai sumber daya material atau kekuatan simbolis. Tujuan dari persaingan di dalam ranah ini adalah untuk memastikan bahwa perbedaan dan status aktor sosial digunakan sebagai sumber kekuatan simbolis.
Menurut Bourdieu ranah hanya dapat dipahami sepenuhnya apabila kita memperlakukannya sebagai ruang atau tempat untuk memperebutkan monopoli pemakaian legitim kekerasan simbolis. Struktur sosial yang ada di dalam masyarakat selanjutnya diinternalisasikan oleh aktor-aktor sosial sehingga dapat berfungsi secara efektif. Internalisasi ini dapat berlangsung melalui pengasuhan, aktivitas bermain, dan pendidikan yang ada di dalam masyarakat secara sadar ataupun tidak sadar.
Lembaga atau institusi pendidikan dan lembaga sosial kemasyarakatan dan lainnya dapat dikatakan sebagai ranah (field) dimana terjadi interaksi antara para aktor serta terjadi banyak persaingan para aktor. Bourdieu melihat bahwa keterampilan dan kemampuan literasi digital dapat dipengaruhi oleh orang-orang disekitar kita, seperti teman, guru, dan keluarga. Mengingat infrastruktur di Indonesia yang belum merata, sehingga banyak muncul kesenjangan terkait akses dan penggunaan perangkat elektronik untuk mendukung kemampuan literasi digital masyarakat. Kesenjangan digital yang terdapat di dalam masyarakat dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi yang menyebabkan perbedaan nilai-nilai budaya seseorang. Persaingan yang terjadi disuatu ranah dipengaruhi oleh kemampuan literasi digital seseorang dalam membangun pengetahuan mereka untuk menghasilkan, mengakses serta memahami konten digital. Kemampuan literasi digital seseorang juga melihat kekuatan legitimasi menjadi "melek" digital di lingkungan sosial mereka. Sehingga, mereka yang memiliki kemampuan literasi digital dapat bersaing ditengah perkembangan teknologi digital ini.
Selanjutnya, modal dalam pengertian Bourdieu sangatlah luas karena mencakup modal ekonomi yang meliputi alat produksi, materi, dan uang; modal kultural/budaya meliputi pengetahuan dan pendidikan; modal sosial meliputi relasi atau koneksi; dan modal simbolik meliputi nilai-nilai yang berbentuk prestise, status dan otoritas. Modal-modal ini harus ada dalam setiap ranah, agar ranah tersebut memiliki arti atau makna. Legitimasi aktor dalam tindakan sosial ini dipengaruhi oleh kepemilikan modal. Modal juga dapat dipertukarkan dengan modal yang lainnya, serta juga dapat diakumulasikan antara modal satu dengan yang lainnya.
Di era yang serba digital ini menjadikan kemampuan literasi digital sebagai kebutuhan bagi semua orang untuk dapat bertahan di era disrupsi. Salah satu penyebab Indonesia belum bisa menyentuh era revolusi industri 5.0 adalah karena Indonesia belum selesai dengan era revolusi industri 4.0. jauh dari itu, masih banyak individu yang belum merasakan dampak positif digital dalam proses pengembangannya. Kesenjangan digital sering kali dikaitkan dengan aspek ekonomi politik yaitu dengan kepemilikan modal yang tidak merata dari pemangku kepentingan yang mengontrol informasi serta kebijakan dalam menggunakan internet. Ketidakmerataan modal yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat menjadikan kurangnya kemampuan literasi bagi sebagian masyarakat. Hal ini bisa disebabkan karena adanya keterbatasan dalam mengakses modal untuk mengembangkan dan memperkuat kemampuan literasi digital seseorang. Akhirnya kemampuan dan keterampilan literasi digital hanya didominasi atau dikuasai oleh sekelompok orang yang memiliki modal dalam mengakses konten digital untuk mengembangkan kemampuan literasi digital mereka.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kemampuan literasi digital sangatlah dibutuhkan untuk setiap individu yang mengonsumsi informasi melalui konten digital agar bisa menjadi pengguna teknologi digital yang bijak. Dan dalam hal ini juga dapat dilihat bahwa habitus dalam pengembangan kemampuan literasi digital individu menurut Bourdieu merupakan cara bagaimana individu membentuk pemikirannya yang dapat mempengaruhi modal yang dimiliki dan karenanya berdampak pada ranah (field) tempat mereka tinggal serta saling terkait satu sama lain.
(Shafira Miftahul J., Mahasiswi Pendidikan Sosiologi FIS UNJ)
Referensi
Baron, R. J. (2019). Digital Literacy. The International Encyclopedia of Media Literacy, 1--6. https://doi.org/10.1002/9781118978238.ieml0053
Elpira, B. (2018). Pengaruh penerapan literasi digital terhadap peningkatan pembelajaran siswa di SMP Negeri 6 Banda Aceh (Doctoral dissertation, UIN Ar-Raniry Banda Aceh).
Felix, S. (2021). Setahun Belajar dari Rumah dalam Perspektif Bourdieu. Diakses pada 18 Desember 2021 pukul 21.00. (https://www.kompasiana.com/sadanafelix3981/60e8175f06310e521744c733/setahun-belajar-dari-rumah-dalam-perspektif-bourdieu?page=all#sectionall)
Krisdinanto, N. (2014). Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai. KANAL: Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.2. No.2. 189-206.
Kuputri, N. M. (2020). Digital Divide: A Critical Approach to Digital Literacy in 'Making Indonesia 4.0'. In The 2nd Tarumanagara International Conference on the Applications of Social Sciences and Humanities (TICASH 2020) (pp. 1-6). Atlantis Press.
Mewangi, A. B. (2019). Pengaruh Literasi Digital Terhadap Keterampilan Sosial Dalam Pembelajaran IPS Pada Peserta Didik Kelas IX SMP Islam Al Azhar 29 Semarang (Doctoral dissertation, UNNES).
Nasrullah, Rullie, dkk. (2017). MATERI PENDUKUNG LITERASI DIGITAL. Jakarta:Sekretariat Tim GLN Kemendikbud.
Rinaldi, K. (2014). Digital literacy: A sociological analysis. IJLCLE, 3, 75-94.
Safri'Ah, A. A. (2020). Kajian Sosiologis Pandemi COVID-19. Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol.15. No.1. 213-223.
Siregar, M. (2016). Teori "Gado-Gado" Pierre-Felix Bourdieu. Jurnal Studi Kultural. Vol. I No.2: 79-82.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H