Suku Yamato: Menelisik Keberagaman Suku Bangsa di Jepang
Oleh: Shafira Noor Malita (@shafira.noor.malita-2020@fisip.unair.ac.id)
Jepang merupakan negara besar yang mendapat julukan sebagai "Macan Asia" dan merupakan salah satu negara maju dalam berbagai aspek. Namun, artikel kali ini tidak akan membahas mengenai kapabilitas Jepang sebagai negara maju, tetapi kita akan menelisik sedikit mengenai keberagaman suku yang ada di Jepang.Â
Pada tahun 2020, Jepang tercatat memiliki jumlah jiwa sekitar 126.167.000. Sekitar 90% lebih populasi jiwa di Jepang merupakan Suku Yamato.Â
Meninjau pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa Suku Yamato merupakan suku mayoritas di Jepang dengan homogenitas Jepang lainnya, seperti Suku Ainu, maupun Suku Ryukyu. Layaknya negara multi etnis lainnya, setiap suku memiliki kebudayaan, kebiasaan, dan kepercayaan masing-masing.Â
Negara yang terkenal sebagai negeri sakura ini berupaya untuk menjaga budaya aslinya agar tidak terkikis oleh zaman dan era modern yang menjadi tantangan tersendiri. Maka dari itu, kita perlu mengenal suku mayoritas dari salah satu negara "Macan Asia" ini, yakni Suku Yamato.
Suku Yamato merupakan keturunan langsung dari Yayoi kuno yang bercampur dengan suku Jomon. Istilah Yamato digunakan sejak akhir abad ke-19 dengan tujuan membedakan antara penduduk asli Jepang dengan etnis lain. Istilah Yamato digunakan untuk memberikan identitas asli penduduk Jepang dengan orang-orang wilayah Asia Timur lainnya.Â
Pada awalnya, nama Yamato diambil dari nama Tahta Yamato yang merupakan daerah asli tempat orang-orang asli Jepang yang menetap di Prefektur Nara sejak abad ke-4. Suku Yamato meluaskan pengaruhnya dengan membuat bahasa yang biasanya digunakan untuk menggeser bahasa Jepang kuno yang secara umum digunakan.Â
Dinasti Yamato didirikan oleh salah satu penguasa suku bangsa Tungus dari daratan Asia yang mengembara dengan menunggang kuda. Titik awal kelahiran dinasti Yamato diawali pada abad ke-5 dengan kelompok penunggang kuda yang melintasi Selat Tsushima untuk mengambil dan menduduki wilayah Kyushu.
Pada zaman Yamato dipimpin oleh seorang kaisar, namun yang memegang kendali pemerintahannya adalah kepala para klan (gozoku) yang merupakan pembantu kaisar. Suku Yamato berdasarkan pada jejak historisnya pada zaman Yamato memiliki mata pencaharian, diantaranya adalah tukang kayu, perajin tembikar, tukang besi, perajin pemintal kain, dan utamanya adalah petani.Â
Dengan cara bertani inilah yang menjadikan suku Yamato mulai berdinamika lebih maju menuju ke tingkat peradaban yang lebih baik. Mengenai struktur masyarakatnya, terdapat kelas-kelas dalam masyarakat yang dapat dilihat dari keturunan Tenno yang memegang kelas tertinggi, sedangkan gozoku dan masyarakat biasa berada di kelas bawah.Â
Dapat diilustrasikan bahwa Tenno merupakan pemilik tanah, gozoku merupakan atasan, dan masyarakat biasa sebagai pekerja.
Masyarakat yang memiliki kelas terbawah berkewajiban mengelola tanah dan memenuhi perlengkapan yang dibutuhkan oleh pihak istana.Â
Kepercayaan masyarakat Jepang pada zaman Yamato terbentuk dari kepercayaan religius sebagai unsur-unsur agama Shinto. Shinto merupakan agama asli Jepang yang memiliki simbol, ritual, dan perayaan keagamaan yang sering dilakukan di dalam kuil-kuil yang sarat dengan mistik.Â
Awal periode zaman Yamato, kepercayaan masyarakat sebagian besar bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Agama Shinto berpusat pada pemujaan animistik gejala-gejala alam, gunung-gunung, air, dan seluruh proses penguburan dijadikan objek pemujaan yang percaya bahwa suatu binatang atau benda yang mempunyai hubungan darah sebagai keluarga atau suatu kelompok sosial tertentu.
Dari sedikit pengenalan mengenai Suku Yamato di atas, membuka cakrawala baru dari sisi pengetahuan akan keberagaman suku bangsa di seluruh dunia dengan keunikan dan ciri khasnya tersendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H