"MENJADI SEORANG PEMIMPIN TIDAK HARUS LAKI-LAKI"
Oleh: kelompok 1
1. Eri Safaun Naja (2020310112)
2. Mohammad Shafii (2450220098)
3. Marcella Dinda Ramadhani (2450220099)
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang kesetaraan gender, dimana kesetaraan gender merupakan hal yang paling sering di temui di kehidupan sehari-hari. Kesetaraan gender tidak hanya dalam hal pekerjaan melainkan bisa saja didalam organisasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Kesetaraan gender tidak berarti menyamakan semua peran laki-laki dan perempuan, melainkan memastikan bahwa keduanya memiliki akses yang adil untuk mencapai potensi mereka tanpa diskriminasi berbasis gender.
 Kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan merupakan sebuah prinsip bahwa kedua gender tersebut memiliki hal, tanggung jawab dan kesempatan yang setara dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan, pekerjaan, keluarga, politik dan sosial. Penelitian menunjukan bahwa perempuan dan laki laki dan perempuan memiliki kemampuan kognitif dan emosional yang setara. Kesetaraan gender merupakan salah satu isu yang menarik yang tidak ada habisnya untak diperbincang kan dan masih diperjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif.  (Muhammad Taufik et al., 2022)
Permasalahan kesetaraan gender biasanya banyak ditemukan di dalam bab tentang kepemimpinan. Menurut penulis, yang menjadi seorang pemimpin tidak harus seorang laki laki melainkan perempuan juga bisa dijadikan sebagai seorang pemimpin. Pemimpin yang baik adalah seorang yang memiliki visi, integrasi, kemampuan mengambil keputusan, dan ketrampilan komunikasi yang baik. Kualitas yang dimaksud disini tidak bergantung pada jenis kelamin.
Kepemimpinan sering kali diasosiasikan dengan figur laki-laki, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Namun, pandangan ini perlu ditinjau kembali. Menjadi pemimpin bukanlah soal jenis kelamin, melainkan soal kemampuan, integritas, dan visi yang dimiliki oleh seseorang. Perempuan juga memiliki hak dan potensi yang sama untuk menjadi seorang pemimpin, baik di ranah keluarga, negara, maupun organisasi. Kemampuan kepemimpinan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh kualitas yang dimiliki setiap individu seperti kecerdasan emosional, keterampilan komunikasi, dan kemampuan mengambil keputusan. Banyak perempuan yang telah membuktikan bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi seorang pemimpin yang dapat memimpin dengan baik. Salah satu contohnya adalah pengalaman dari Ibu Megawati Soekarno Putri yang menjadi presiden pertama di Indonesia.
Kita bisa ambil contoh dari kejadian dimana ibu Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai presiden kelima yang dapat memimpin sebagai seorang presiden walaupun terdapat banyak pro dan kontra dalam kebijakan maupun gaya kepimimpinannya tetapi beliau dapat menjabat sebagai seorang presiden itu udah termasuk sebuah pencapaian yang sangat luar biasa dan membanggakan. Beliau mampu menjaga stabilitas politik dan ekonomi Indonesia, membuktikan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan untuk mengatasi tantangan besar dalam kepemimpinan nasional. Keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa perempuan mampu memikul tanggung jawab besar dan memberikan kontribusi signifikan. Hal tersebut dapat dijadikan pandangan bahwa menjadi pemimpin tidak harus seorang laki-laki.
Peran wanita dalam kehidupan bermasyarakat dalam pembangunan bukan hanya sebagai proses pembangunan, tetapi juga sebagai fondasi yang berstruktur kuat. Perjuangan R.A. Kartini dapat dirasakan dengan adanya pergerakan emansipasi wanita. Keberadaan peran wanita sebagai pemimpin kini mulai dihargai dan disetarakan. Wanita dapat menjadi pemimpin dan makin banyak wanita yang bekerja dibidang laki-laki. Mereka tidak saja bisa bertahan, namun mereka juga bisa sukses menjadi pemimpin.
Dalam banyak kasus, perempuan bahkan menunjukan empati dan kemampuan multitasking yang baik, hal tersebut merupakan hal yang terpenting dalam kepemimpinan. Banyak perempuan telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang tangguh, adil, dan efektif, bahkan ditengah yang didominasi laki-laki. Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin jika mereka memnuhi syarat.Â
Dengan tugas yang Allah SWT bebankan kepada manusia, menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan untuk menjalankan misi kepemimpinan di bumi sebagai wujud amanah dan Tuhan Yang Maha Menciptakan. Dalam ranah kehidupan sosial, masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kepemimpinan(Suhada, 2019). Menentukan pemimpin berdasarkan gender merupakan diskriminatif dan melanggar prinsip keadilan. Di beberapa negara, perempuan telah menjadi kepala negara atau pemerintahan, menunjukkan bahwa mereka mampu memimpin dengan baik. Pandangan bahwa hanya laki-laki yang pantas menjadi pemimpin adalah warisan budaya patriaki yang sudah tidak sesuai dengan dunia modern, dunia saat ini menuntut pemimpin yang adaptif, bukan hanya berdasarkan stereotip gender.
Pemimpin perempuan seringkali membawa perspektif berbeda yang bermanfaat bagi organisasi atau masyarakat yang mereka pimpin. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung lebih inklusif, mendukung kerja tim, dan memiliki kemampuan mendengar yang cukup baik. Dalam dunia yang semakin kompleks, diversitas dalam kepemimpinan adalah kunci untuk menghadapi tantangan secara efektif.
Selanjutnya, kembali pada posisi perempuan dalam konteks islam. Islam datang dan berperan besar dalam mengangkat hak dan martabat perempuan. Hal ini tercermin dari banyaknya ayat Al-Qur'an yang menyatakan dan menegaskan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam kapasitas sebagai hamba Allah, maupun sebagai wakil Allah di muka bumi (khalifah), seperti pada Qs. An-Nisa: 32 dan Qs. Al-Hujurat: 13 serta ada juga ayat yang menyebutkan bahwa tingginya derajat manusia bukanlah dinilai dari jenis kelaminnya yakni pada Qs. Al-Isra': 70.4Â
Selain itu, dalam ranah kepemimpinan perempuan, juga selalu menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan, Sebagian orang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan kurang akalnya sehingga dianggap tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin. Tetapi dalam Al-Qur'an juga dijelaskan secara eksplisit dan tidak ada perbedaan gender pada Qs. At-Taubah: 71
Artinya: Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (Qs. At-Taubah: 71)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai peran yang sama dalam bidang sosial, khususnya bidang kepemimpinan. Karena memang, dalam Al-Qur'an terkadang perempuan dibahas dalam konteks sebagai sifat naluri seorang. Perempuan seperti haid, mengandung, melahirkan dan menyusui, tetapi di lain ayat Al-Qur'an juga membahas perempuan sebagai manusia yang sama dengan laki-laki seperti dalam hal amar ma'ruf nahi munkar, tentang kewajiban beribadah seperti sholat, haji, zakat, tentang perintah berakhlak mulia dan lain sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa perempuan juga berhak dan mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin.Â
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Taufik, Suhartina, S., & Hasnani, H. (2022). Persepsi Masyarakat Terhadap Kesetaraan Gender dalam Keluarga. SOSIOLOGIA: Jurnal Agama Dan Masyarakat, 1(1), 51--66. https://doi.org/10.35905/sosiologia.v1i1.3396
Suhada, S. (2019). Kesetaraan Gender: Posisi Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam. Mumtaz: Jurnal Studi Al-Qur'an Dan Keislaman, 3(2), 169--190. https://doi.org/10.36671/mumtaz.v3i2.39
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H