Mohon tunggu...
shaffah azzahra
shaffah azzahra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

mahasiswa UNJ pendidikan sosiologi 2018

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reproduksi Kesenjangan Sosial-Ekonomi akibat Belajar Online di Masa Pandemi Covid-19

10 Januari 2021   18:23 Diperbarui: 10 Januari 2021   18:30 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Shaffah Azzahra Windriyana

Pandemi covid-19 memberikan banyak dampak pada berbagai sector di Indonesia salah satunya pada bidang pendidikan ialah adanya alternative pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ)/ program belajar dari rumah sebagai upaya pencegahan virus covid-19. Dengan ditetapkannya PSBB oleh pemerintah, menambah jangka waktu dan usia panjang pelaksanaan PJJ yang menimbulkan dampak dari segi positif maupun negatif dari berbagai pihak sekolah seperti para guru, para orang tua murid maupun para peserta didik. 

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta kecanggihan internet memang sangat memberikan manfaat untuk kita agar tetap beraktivitas dikala pandemic covid-19 berlangsung, namun terlepas dari dampak positifnya, dalam ranah pendidikan kebijakan peralihan media pembelajaran pada proses kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara online ini tampaknya melahirkan berbagai macam problematika baru yang dirasakan di dunia pendidikan, salah satunya ialah terjadinya kesenjangan/ketimpangan social ekonomi yang dirasakan dari pihak siswa, orang tua siswa, maupun para guru yang mengajar selama penerapan PJJ.

Dampak Negatif Pembelajaran Daring di Masa Pandemi
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 24 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pendidikan jarak jauh pada pendidikan tinggi, Pasal 1 menyebutkan bahwa 'Pendidikan jarak jauh yang selanjutnya disebut PJJ adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi informasi dan komunikasi, dan media lain'. Dampak yang dirasakan dari adanya PJJ sangat beragam, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut ialah sebagai upaya untuk mencegah penularan virus covid-19, namun segala kebijakan memang tidak bisa terlepas dari adanya permasalahan baru yang sebenarnya adalah sebuah resiko dari kebijakan itu sendiri.

Salah satu dampak negatif dari keberlangsungan PJJ ialah semakin terlihatnya kesenjangan atau ketimpangan dalam hal sosial ekonomi peserta didik, yang menjadi syarat-syarat pokok dari pelaksanaan PJJ ialah diantaranya harus mempunyai alat elektronik (HP, Laptop dan atau Tablet), kuota internet yang memadai, dan melek teknologi, komponen tersebut merupakan hal dasar yang wajib dimiliki baik oleh guru, orangtua maupun peserta didik. Namun, apakah semua subjek bisa sama rata memiliki komponen tersebut? Kenyataannya adalah tidak, sebelum diadakannya PJJ saja dunia pendidikan di Indonesia telah mengalami kesenjangan dari segi social ekonomi yang didasarkan pada perbedaan pendidikan di kota dan di desa, pelaksanaan PJJ di masa pandemic ini semakin memperburuk situasi ketimpangan yang terjadi di dunia pendidikan.

Dilansir oleh Alinea.id menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan "PJJ telah membuka tabir kesenjangan antara anak keluarga kaya dengan anak keluarga miskin. Disparitas ini sudah lama terpendam dan dibiarkan negara. 

Bagi siswa dari keluarga kelas menengah dan kelas atas, komputer, pulsa dan kuota internet jelas bukan masalah. Tetapi, bagi mayoritas siswa dari keluarga kelas bawah, apalagi pelosok, teknologi jelas masih merupakan barang mewah yang sulit dijangkau," ucapnya, dalam keterangan tertulis, Selasa (5/5/20). 

Minimnya kepemikikan atas handphone, laptop atau tablet, kurangnya adaptasi dengan teknologi digital, hingga banyaknya daerah yang kurang bisa terakses jaringan internet menjadi kendala pembelajaran daring di rumah peserta didik yang wilayahnya terpelosok, seperti di pedesaan wilayah Papua ataupun Timur Indonesia.

Potret Kesenjangan Dunia Pendidikan melalui Kacamata Pemikiran Pierre Bourdieu


Pierre Felix Bourdieu  lahir pada tanggal 1 Agustus 1930 di Denguin dan meninggal pada 23 Januari 2002 di Paris, Ia merupakan salah satu tokoh postmodern dan sosiologi kultural yang juga mendalami pemikirannya dalam bidang pendidikan dengan bertumpu pada pengalaman hidupnya yang tumbuh menjadi bagian dari kelompok social yang terdominasi di Prancis. Salah satu karya Bourdieu yang terkenal ialah Reproduction in Education, Society and Culture yang ditulis bersama Jean-Claude Passeron. 

Menurut (Hidayat:2011:133) Buku tersebut merupakan buku yang berpengaruh dalam kajian Sosiologi Pendidikan yang secara khusus menjadikan Bourdieu sebagai sosiolog pendidikan berpengaruh di Prancis. Konsep pemikiran Bourdieu yang penting dalam teori praktiknya ialah mengenai habitus, arena/ranah (field), modal(capital), kekerasan simbolik (symbolic violence) , kekuasaan dan kelompok dominasi. 

Habitus ialah semacam pemikiran atau kebiasaan dari tindakan actor yang dibentuk, dipelihara, dan dipersepsikan di sepanjang waktu tertentu yang kemudian menciptakan produksi social dalam masyarakat, dan membentuk kolektivitas kelompok yang membedakan ciri/karakteristiknya yang sesuai dengan kelas social actor dalam suatu masyarakat, singkatnya konsep habitus ialah tentang kebiasaan seseorang yang berbeda-beda disetiap actor. Konsep habitus erat kaitannya dengan ranah/field hubungan dialektis ini terjadi karena habitus berada/beroperasi dalam sebuah ranah atau secara sederhananya arena/ranah ialah lingkungan/dunia sang actor.

Selanjutnya, ialah modal(capital), dalam konsep Bourdieu modal tidak hanya bersumber dari ekonomi namun modal juga bersumber dan terbagi menjadi 4 hal yaitu modal ekonomi, modal social, modal budaya dan modal simbolik. Modal adalah penentu posisi individu di suatu ranah dengan jumlah modal yang sudah diakumulasi oleh individu tersebut, 

Modal ekonomi berupa harta kekayaan material, modal budaya ialah berupa modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan terutama berasal dari pendidikan, modal simbolik (prestise dan gengsi social), dan modal social yaitu hubungan social atau koneksi. Menurut (Damsar: 2011:199), dengan adanya pembedaan kapital tersebut, seseorang dapat dikategorikan pada empat jenis kelompok sosial, yaitu : 1) tinggi baik modal kapital maupun budaya, 

2) tinggi modal ekonomi namun rendah modal budaya, 3) rendah modal ekonomi namun tinggi modal budaya, 4) rendah modal ekonomi maupun modal budaya.Menurut Bourdieu lingkup kekuasaan kelas dominan menyebabkan terjadinya kekerasan yang tak kasat mata atau tidak terlihat, kekerasan ini dimunculkan oleh kelas dominan/agen yang mempunyai suatu modal seperti yang telah disebutkan pada paragraph sebelumnya, dan mendominasi kelompok yang kurang bisa mengakumulasikan modal-modal tersebut, salah satunya ialah melalui modal simbolik, ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuasaanya maka terjadilah kekerasan simbolik, tidak banyak kelompok/individu yang menyadari bahwa mereka telah mengalami suatu kekerasan simbolik.

Reproduksi kesenjangan social ekonomi dalam dunia pendidikan semakin terlihat terutama selepas munculnya wabah virus covid-19 yang mewajibkan para siswa maupun mahasiswa untuk melakukan KBM di dalam rumah, pembelajaran jarak jauh (PJJ) semakin mempertunjukkan banyaknya perbedaan antara golongan kelas dominan atau pemilik modal dengan golongan kelas terdominasi atau yang kurang memiliki modal. 

Kesenjangan social ekonomi baik dari sisi siswa, orangtua siswa maupun guru saat melaksanakan PJJ ini bila diimplikasikan melalui pemikiran Bourdieu ialah dimulai dari kesenjangan dari pihak siswa dan orang tua siswa, dimana mereka sulit untuk memiliki modal ekonomi/ materi untuk menunjang fasilitas belajar seperti handphone, laptop ataupun kuota internet, karena status social ekonomi nya yang rendah, kemudian karena kurang tersedianya modal ekonomi membuat siswa dan orangtua nya sulit untuk meraih modal-modal lain seperti modal budaya atau contohnya akses untuk mendapatkan pengetahuan atau intelektual yang dibutuhkan selama proses PJJ berlangsung. 

Dibandingkan dengan siswa yang memang memiliki modal ekonomi yang tersedia, mereka bisa mengakumulasikan modal-modal lain yang dibutuhkan sehingga proses PJJ berlangsung efektif dan efisien bagi siswa yang berasal dari kelas atas tersebut.

Tidak hanya mempengaruhi modal budaya, namun juga mempengaruhi modal simbolik dimana antara siswa satu dengan yang lain memiliki prestise atau gengsi untuk memiliki alat teknologi yang terkini, contohnya seperti siswa dari kelas atas yang memiliki materi untuk membeli handphone terbaru dari merek terkenal, berbeda dengan siswa dari kelas bawah yang pada kenyataannya terkadang harus berganti-ganti untuk memakai handphone dengan anggota keluarganya yang lain, 

hal ini menimbulkan kekerasan simbolik yang hanya bisa dikuasai oleh kelas dominan. Selanjutnya modal sosial yaitu koneksi atau jaringan dimana terkadang modal sosial ini hanya bisa didapatkan oleh siswa yang berasal dari golongan atas yang memiliki materi untuk membuat jaringan social baik pada siswa lain maupun pada gurunya, untuk membantu keberlangsungan proses PJJ. Para guru juga turut mengalami kesenjangan namun kesenjangan dalam hal pengetahuan akan penggunaan media digital, yang terjadi diantara guru yang berusia muda dan guru yang berusia tua, guru yang berusia tua sulit untuk mempelajari aplikasi pendukung proses PJJ seperti ZOOM, Google Classroom, maupun Meet. Berbeda dengan guru muda yang lebih mudah untuk mempelajari dan menguasai hal tersebut.

Kesimpulan dan Saran
Pelaksanaan PJJ menjadi peluang sekaligus tantangan yang signifikan di masa pandemic covid-19, peluang dari adanya pelaksanaan PJJ ini ialah walaupun wabah virus corona merebak ke berbagai daerah di Indonesia, namun hal itu tidak menjadi halangan bagi aspek pendidikan untuk tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara online dari rumah dengan memanfaatkan perkembangan media digital dan teknologi yang semakin canggih di era globalisasi. 

Namun, PJJ juga menjadi suatu tantangan tersendiri bagi keberlangsungan kegiatan belajar mengajar terutama dari pihak siswa terutama problematika tentang terulangnya kembali kesenjangan social dan ekonomi yang dapat dianalisis oleh konsep pemikiran Pierre Bourdieu seorang tokoh sosiologi yang pemikirannya sangat berpengaruh bagi dunia pendidikan. 

Ketidakmerataan siswa dan orangtua siswa dalam mengakumulasi modal-modal yang dicetuskan oleh Bourdieu menjadi penghalang bagi siswa dalam melaksanakan PJJ di rumah, banyak siswa yang berasal dari keluarga yang memiliki perekonomian rendah tidak mempunyai modal ekonomi atau materi yang digunakan sebagai penunjang fasilitas pembelajaran yaitu handphone atau laptop, yang kemudian juga akan mempengaruhi ketiga modal lainnya, berbeda dengan siswa yang berasal dari perekonomian atas yang mampu mengakumulasi modal setidaknya modal ekonomi yang tercukupi.

Seharusnya pemerintah pusat maupun daerah setempat mempertimbangkan kembali pelaksanaan PJJ di perkotaan maupun daerah dan memberikan bantuan yang didistribusikan secara merata baik dari bantuan kuota internet ataupun bantuan beasiswa untuk siswa yang mengalami kesulitan keuangan. Guru juga seharusnya lebih berinovasi untuk menciptakan model pembelajaran yang fleksibel yang juga mempertimbangkan kondisi siswa yang kurang bisa mengikuti KBM karena kendala kurngnya fasilitas sumber belajar maupun penunjang belajar.

Daftar Pustaka

Buku:
*Bordieu, Pierre and Passeron, Jean-Claude. (1990). Reproduction in Education, Societyand Culture. London: SAGE Publications.
*Damsar. Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2011.
*Hidayat, Rakhmat. (2011). Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
*Martono, Nanang. (2012). Kekerasan Simbolik di Sekolah (Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bordieu): Dominasi Kelas dan Kapitalisasi Gaya Baru Melalui Buku Pelajaran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Jurnal:
*Dan O'Hara., Capitalism and Culture: Bourdieu's Field Theory., Vol. 45, No. 1, Chaos/Control: Complexity (2000), pp. 43-53.
*Martono, Nanang. (2014). Dominasi Kekuasaan Dalam Pendidikan: Tesis Bordieu dan Foucault tentang Pendidikan. Jurnal Interaksi. 8 (1), 28 - 39.
*Siregar, Mangihut. 2016. Teori Gado-gadoPierre Felix Bourdieu. Universitas Udayana: Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.2: 79-82

Internet:
*Azria, Zahra. (23 Desember 2020) Bappenas siapkan strategi penanganan anak tidak sekolah. https://www.alinea.id/nasional/bappenas-siapkan-strategi-penanganan-anak-tidak-sekolah-b1ZYB9z8k (diakses 7 Januari 2021)

*Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 24 tahun 2012 (http://ngada.org/bn433-2012.htm) diakess 9 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun