Mohon tunggu...
Shafa Varera
Shafa Varera Mohon Tunggu... Freelancer - Be better everytime

bercerita untuk berbagi dan bermanfaat. mom's of two child and a wife, blogger and listener

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harapan Baik di Tempat Baik

31 Desember 2020   03:56 Diperbarui: 31 Desember 2020   04:01 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Istirahat siang ini, aku berniat tiduran sebentar di mushollah. Musholla selalu jadi tempat favorit saat istirahat karena dingin full AC. Kami sering rebahan sejenak meluruskan punggung yag pegal seharian duduk di depan komputer. Seperti biasa, aku memilih istirahat kedua, kupersilakan partnerku untuk istirahat terlebih dahulu karena aku tidak makan siang.

Puasa saat bekerja lebih nyaman bagiku daripada puasa saat libur karena mamak akan masak dan membutku tidak kuat iman. Jadilah, aku rajin puasa saat kuliah dan kerja, tapi akan luntur saat liburan. Apalagi bekerja di ruangan ber AC yang tidak terasa panas, puasa jadi terasa lebih ringan. Hanya saja, hrus kuat menahan emosi saat pekerjaan menumpuk, nasabah ngeyel atau deadline yang super singkat.

Bekerja di sebuah Bank BUMN, meski hanya menjadi frontliner, tapi tekanan itu sangat terasa ketika berada di kantor cabang. Atmosfernya sangat berbeda dengan berada di unit yang tidak terlalu banyak orang dan lebih kekeluargaan. Pembagian divisi dan terlalu banyak orang membuat di cabang terasa lebih tertekan. Meski bukan masalah yang besar, tekanan cukup menguras pikiran karena kami harus menyelesaikan banyak deadline dalam waktu yang singat dan secara tidak langsung menjadi sorotan banyak mata karena berada di kantor utama.

Sudah menjadi rahasia umum juga kalau di cabang, banyak gosip tersebar sangat cepat dan cabang tahu segalanya. Bagian SDM ada di cabang, banyak orang berhubungan dengan orang di unit dan akhirnya semua menyebar dengan sangat cepat. Soal ini, saya memilih tidak terlalu mau tahu. Meski saya tahu secara tidak sengaja, tapi saya tak pernah mengindahkannya. Saya masih berkutat dengan mimpi dan hati ketika itu.

Siang ini begitu terik, langkahku gontai menuju musholla. Setelah menaruh tas di dalam musholla, aku berjalan ke tempat wudhlu dengan lebih cepat. Segar sepertinya wudhu di tengah teriknya matahari siang ini. Sudah terbayang bagaiaman air menyentuh muka menyegarkan dahaga. Ada seorang sahabat dari unit yang sedang berada di musholla dan beberapa pengunjung yang sedang menunaikan sholat dzuhur.

Segera kuambil mukenah lalu sholat. Selesai sholat, aku memilih berdiam sambil rebahan karena sedang tidak makan siang. Meluruskan punggung sambil sedikit geli melihat seorang senior laki-laki bertubuh gempal sedang duduk sambil tertidur di pojok ruangan.  Tidak ada sekat di musholla yang kecil itu sehingga kami bisa melihatnya tertidur di bagian belakang batas sajadah laki-laki dan perempuan.

Seseorang masuk lalu menciumku di pipi. Sudah bisa kuduga, staff SDM yang hobi naik gunung dan tomboi itu pasti, Marisya. Dia nyengir saat aku menoleh. Dia nyengir melanjutkan sholat. Sengaja membuat pipiku basah lalu tidak bertanggung jawab.

Selesai sholat, dia pun ikut rebahan.

"Eh iya itu undangan buat cs masih di aku dari Sesepuh kantor," kata Tami membuka pembicaraan. Aku tidak benar-benar bisa tidur/

"Tinggal siapa berarti ya yang belum nikah sesepuh itu?"

"Katanya Bli Made membuka jalan, yang lain juga menyusul Mas Irfan sama Mas Iqbal." Tami lebih tahu karena berada di bagian SDM.

"Syukur deh biar mereka nggak betah di kantor. Duo itu betah banget di kantor sampe malem, aku yang lihat kasihan. Padahal kadang udah selesai kerjaan."

"Apa kabar kita ya? Umur udah cukup nih buat dilamar," kata Tami sambil menerawang.

"Masak nggak ada yang mau lamar? Pacarmu mana?"

"Nggak ada, pokoknya ya siapapun yang datang ngelamar tahun depan nih, aku terima aja," katanya sambil tertawa.

"Wah, ide bagus nih. Daripada nunggu yang nggak pasti ya?" sambutku yang sedang menunggu dalam ketidakpastian. Bahkan untuk bertemu bapak saja dia tidak berani. Kini, aku berada di saat yang sudah tak ingin banyak berharap.

"Itu dah, pokok kalau ada yang mau, Sikaat..." katanya dengan gaya khasnya yang santai dan slengeekan.

Aku beranjak setelah melihat jam tangan sudah hampir jam 2. Sepertinya baru rebahan udah mau sejam saja. "Aku mau ngajuin cuti. Minta form nya ya?"

"Mau ngapain?"

"Ke Bromo," jawabku asal. Padahal nggak juga, aku hanya ingin ke Surabaya bersama Bapak.

"Ikuuuuut...." dengan gaya anak kecil merengek memegang kakiku saat aku sudah beranjak merapikan kerudung akan kembali ke meja kerja.

"Ayo kita cuti barengan. Nanti bapakku anter ke Malang," kataku santai.

Agak sulit satu kantor bisa cuti bersamaan, tapi kami berada di divisi yang berbeda, jadi masih mungkin bisa.

Datanglah Zulfa dengan ceria dan cueknya.

"Ngapain kamu?" melihat Tami memeluk kakiku.

"Ikut ke Bromo?"

"Kapan??"

"Bulan depan ambil cuti."

"Weee laguk uang cutiku udah kupake beli hape kemarin. Hapeku rusak."

"Kedul. Ayok dah nanti kita patungan bayarin tiket pulang, ada uang buat beli tiket pergi nggak?"

"Ada sih."

"Gimana Bang?" tanya Tami ke aku yang sudah siap pergi.

"Oke sudah. Deal ini? jadi?"

"jadi sudah."

"Okedeh, atur sudah. Aku mau ambil 5 hari ya, yang di tanggal kejepit itu. Mau ke surabaya dulu sebelum pulang. bikinin sekalian ya." Kataku sambil ngeloyor pergi takut terlambat.

Aku tak bisa lagi kembali ke meja Customer Service tanpa touch up karena sudah beberapa kali kena tegur. Hanya aku diantara semua frontliner dengan dandanan yang biasa saja dan tidak touch up. Meski performa kerjaku baik, tapi sebagai frontlner kami dituntut untuk selalu fresh dengan riasan yang sama dari pagi hingga selesai pelayanan.

Dasar aku yang entah kenapa nggak bisa dandan, selalu ribet apalagi bikin alis. Meski beberapa kali datang beauty class dari kantor wilayah untuk frontliner, aku masih tidak tertarik dan tidak bisa. Kami diberikan standar warma untuk eye liner, lipstik dan blush on. Aku duduk di belakang ketika semua asik memperhatikan. Padahal, aku berada di cabang, tempat yang seharusnya menjadi percontohan untuk teman-teman di unit dan tentu menjadi sorotan.

Semua teller perempuan dan semua pandai berdandan. Customer service hanya ada dua orang, aku dan Dedi. Diantara semua yang ada di cabang, bisa dibilang akulah yang paling cuek dengan dandanan dan tidak pandai berdandan. Sampai supervisorku bilang kalau akulah yang paling malas berdandan.

"Besok lagi kalau masuk setelah istirahat, harus lapor saya dulu. Saya lihat siapa yang nggak dandan, saya dandanin."

Pak Supervisor melirik ke arahku. Aku hanya nyengir tanpa merasa bersalah, nyatanya pekerjaanku beres. Aku berharap bisa dipindah ke back office, tapi sepertinya sia-sia karena nyatanya masih sering diajak bertemu dengan nasabah besar. Aku memang suka bekerja, tapi aku tidak suka berdandan. Pada dasarnya, aku sedikit cuek dengan penampilan. Aku tidak suka terlalu terlihat menonjol dalam hal penampilan, tapi aku lebih suka dikenal dengan prestasi.

+++++

Satu persatu cerita di Musholla itu terwujud. Kami berhasil mengambil cuti bersama untuk naik ke Bromo. Dijemput Bapak di Bandara kemudian diantar ke Malang. Kami menginap di sepupu Marisya yang mengontrak sebuah rumah bersama teman-temannya dari Lombok. Marisya punya teman yang membantu kami menyewa mobil dengan harga yang cukup terjangkau.

Perjalanan Bromo menjadi perjalana perpisahan kami sebagai sama-sama karyawan di Bank. Setelah itu, aku dan Marisya memilih tidak melanjutkan kontrak sedangkan Zulfa masih beberapa bulan setelah kami memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak setelah menikah.

Sepulang dari Bromo, saat kembali bekerja, secara mengejutkan Marisya menceritakan sosok yang pernah bertemu dengannya saat Naik Gunung Rinjani. Hanya beberapa kali bertemu dan ngobrol santai, ternyata pemuda asal Jakarta itu memendam rasa pada gadis asli sasak ini.

Sosok pengusaha muda yang tak pernah pacaran sebelumnya ini akhirnya memberanikan diri melamar si gadis yang cukup membuatku baper. Saat itu, aku bahkan belum menemukan titik terang pada sosok yang kutunggu. Sosok yang kuharapkan melamarku, tapi bahkan tak ada kata keluar darinya tentang komitmen yang kuharapkan.

Sosok yang sedang dekat di kantor, yang sebenarnya aku tak pernah menyukainya pun seperti sedang mempermainkanku. Mendekatiku, mendekati beberapa orang teman wanita yang juga single dan ternyata dia pun sempat mendekati Marisya yang sudah mantab menerima pinangan sosok yang sekaarang menjadi suaminya. Aku pun tak pernah menyesal dengan semua cerita itu, paling tidak aku sudah ditunjukkan yang terbaik untukku.

Marisya memilh resign karena akan menikah dan diboyong ke Jakarta sedang aku memutuskan resign untuk mengejar mimpi dan meninggalkan asa yang membuat hatiku tak menentu. Aku sudah mengtarakan niatku untuk kuliah lagi sambil bekerja. Sementara belum ada pekerjaan yang jelas di Jawa, aku bernecana melamar di proyek Bapak yang kebtulan sekretarisnya baru saja off.

Namun, rencana manusia akan tetap tak bisa berjalan ketika ketetapan Allah sudah menjadi takdirnya. Aku pun akhirnya bertemu dengan seseorang yang ternyata tak butuh waktu lama untuk melamarku.

Benar kalau jodoh itu datang dari arah yang tak pernah disangka dengan cara yang indah. Berawal dari melihat pertemanan di facebook yang belum ku approve, aku sedikit bingung dengan sosok yang tak pernah kukenal meminta berteman di jejaring sosialku. Aku bukan tipe orang yang suka berteman dengan orang baru. Biasanya aku akan menerima pertemanan saat aku mengenalnya.

Setelah kuingat kembali, ternyata dia adalah karyawan Bank BUMN tempatku mengganti ATM beberapa bulan yang lalu. Aku punya ATM bank lain yang kugunakan saat masih duduk di bangku kuliah. Kugunakan untuk menyisihkan uang tabungan agar tidak mudah tercampur dengan uang yang akan kupakai. Ternyata pertemuan itulah yang menjadi titik awal cerita panjangku.

Dia ternyata sudah menanyakanku pada beberapa orang yang akhirnya kami pun bertemu dengan cara yang tak terduga. Bertemu tanpa direncanakan hingga akhirnya ngobrol lebih intens. Meski katanya sempat tak berharap, tapi Allah mempertemuakn kami dengan cara yang unik. Dia punn menceritakan padaku kalau membaca blogku, dia merasa mengenalku lebih dekat.

Kebetulan kenal dengan salah seorang teman di kantor cabang lain yang dikira mengenalku, dia pun tahu banyak tentangku justru dari cerita sahabat temannya itu. Sahabat temannya yang juga sahabatku, dia tahu banyak tentangku. Kami pernah sama-sama berharap dengan orang yang membuat kami berharap, tapi harus kami pupuskan. Aku tak pernah tahu tentang ini sebelum kami menikah. Dia meceritakannya setelah kami benar-benar menikah.

Qodarullah, banyak yang terjadi dari percakapan kami di Musholla. Aku dan Marisya menikah di tahun depannya dengan orang yang baru kami kenal dan tanpa pacaran. Bukan hanya orang lain yang melihat yang tekejut, kami pun terkejut dengan kejutan Allah pada kami yang tak pernah kami sangka .

Kami menikah di bulan yang berbeda, tapi tidak lama. Rasanya masih amazing saja dengan yang terjadi pada kami. inilah yang mungkin disebut dengan niat baik yang disampaikan di tempat yang baik maka menjadi nyata.

Tidak perlu galau, jombloers, semua sudah ditetapkan olehNya. Jalani saja dengan iklas, jalani dengan niat baik maka akan mendapatkan hasil yang baik. Yakin saja...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun